Nania, seorang wanita pekerja kantoran yang tengah merantau di Kota B, tinggal sendirian di sebuah apartemen. Meski berasal dari keluarga berada di sebuah desa di S, ia memilih hidup mandiri. Namun, kemandirian itu tak menutupi sisi lugu dan cerobohnya.
Suatu pagi, saat bersiap menuju kantor, mood Nania langsung terganggu oleh suara musik metal yang keras dari apartemen sebelah. Kesal, ia memutuskan mengetuk pintu untuk menegur tetangganya. Tapi alih-alih menemukan seseorang yang sopan, yang muncul di depannya,muncul seorang lelaki dengan telanjang dada dan hanya mengenakan boxer membuka pintu dan memandangnya dengan acuh tak acuh.
Akankah pertemuan pertama yang tak terduga ini justru menjadi awal dari sesuatu yang manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Messan Reinafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan diri
Sebuah sedan hitam melaju kencang membelah jalanan yang ramai. Kecepatannya hampir 100km memasuki area jalan tol kota. Di kemudi seorang pria paruh baya dengan wajah panik mencoba tetap fokus melihat kedepan. ia merogoh kantong celana kiri depan, notif panggilan dari Abimanyu anak sulungnya berdering berkali-kali. Membuatnya semakin kalut. Tombol nonaktif ia tekan lama berharap bunyi panggilan itu tidak membuatnya mudah terlacak.
"Dasar sial! hancur semuanya! hancur!" ia membanting stir. Matanya mulai berkaca-kaca dicampur kemarahan yang memuncak. Gerahamnya mengetat mengingat wajah pria yang baru saja dia tembak. ia membayangkan wajah Amira dan kedua anaknya, pasti mereka sangat jijik melihatku, pikirnya
Gerard Kusuma! tersangka malam itu. Seluruh sorot dunia sekarang sedang tertuju padanya. Semua orang sudah tahu rahasia kelam nya. Ia mengambil jalan tercepat agar segera tiba di hotel yang ingin dia tuju.
Sesampai di lobi hotel ia mengambil ancang-ancang melihat ke kanan dan kekiri. Tidak terlalu banyak orang, mungkin berita belum menyebar, pikirnya,
dengan berlari kecil menuju lantai 5, pandnagannya lurus kedepan. langkahnya ringan dengan nafas yang tertahan. Ia membuka pintu hotel yang terkunci dengan kartu hotel yang ia genggam sedari tadi.
Kliik..
Dua orang pria bertubuh besar terlihat duduk santai di sofa kamar bermain kartu. Mereka terkejut melihat kedatangan bosnya yang tiba-tiba, apalagi dengan wajah panik.
"B-bos?"
Gerard tidak peduli, matanya langsung teralihkan pada wanita yang sedang tertidur di atas ranjang hotel menutup seluruh badannya.
"Hanny!? bangun Hanny!" suaranya bergetar.
Hanny terbangun menyipitkan matanya.
"Akhirnya pria tua ini datang juga" ucapnya mengejek sembari mengucek kedua matanya.
"Ayo kita pergi sekarang!"
"Ha..? Pergi?! kemana lagi aku akan kau bawa?!" tanyanya mendengus kesal.
"cepatlah!"
"Baron! , siapkan mobilmu , antar kami ke bandara! dan Edgar, kau bawa mobilku nanti akan aku kabari lagi apa tugas kalian selanjutnya" Gerard memberi kan perintah kepada dua orang bodyguardnya.
"Ba...baik bos" jawab mereka serempak. Lalu melangkah keluar kamar.
"Bandara? kita kemana Gerard?" tanya Hanny penasaran.
"Diamlah!, dan ikuti saja perintahku" sorot mata Gerard mulai tajam. Ada kemarahan, dendam dan kecemasan yang bertarung.
Sudah hancur, hancur saja sekalian gumamnya dalam hati.
Hanny yang kebingungan menuruti perkataan Gerard meski beribu pertanyaan di kepalanya. Ia merapikan kembali dress yang dipakainya dari kemarin dan tas sandang nya.
"Setidaknya kau belikan aku pakaian pengganti" dengusnya kesal.
Gerard bergeming pura-pura tidak mendengar karena untuk sekarang bukan itu prioritasnya.
kriingg...kriing...
Gerard meraih ponsel kecil dari kantong dalam jasnya yang memang dikhususkan untuk menghubungi anak buahnya dan komunikasi terselubung.
"Sudah siap? Ok?!"
"Hanny ayo berangkat?!" Gerard menarik tangan Hanny, cepat-cepat menuju lobi Hotel. Pandangannya lurus kedepan dengan langkah mantap, dan Hanny yang mengiringinya di belakang.
Gerard memperhatikan sekitar menundukkan sedikit kepalanya agar seseorang tidak mengenali wajahnya yang sudah berseliweran di media. Hanny menurut mengikuti.
"Kenapa lagi Gerard?!" dengus Hanny menghempaskan punggungnya ke kursi belakang mobil.
"Kita akan ke negara S, bukankah itu yang kau mau?" ujarnya dengan wajah datar ke depan.
Baron melajukan mobilnya tenang.
Mata Hanny terbelalak tidak percaya,
"Apa yang membuatmu berubah pikiran" ujarnya tergelak dengan wajah mengejek.
"Oh tidak, bagaimana dengan anak kita?" tanya nya kemudian.
"Untuk sementara biarkan Harvan merawatnya, dia pasti akan mendapatkan kehidupan yang baik"
Emang bapak ga bertanggung jawab si Gerard!🙄
Hanny mengernyitkan dahinya memandang Gerard dengan tatapan menjijikkan.
"Aku akan hubungi Daddy, sini ponselku!"
Gerard menatapnya tajam, pandangannya dingin menatap Hanny.
"Setidaknya aku mau kasih tau Daddy, kalau aku baik-baik saja, kau tidak percaya padaku sayang?" Hanny tersenyum mendekatkan wajahnya ke wajah Gerard yang dingin, ia berbisik lembut di telinga pria itu menghela nafasnya berat.
Ehem.. Gerard berdehem memberi isyarat kepada Hanny agar menjaga sikapnya, karena masih ada bodyguard nya yang menyetir didepan.
Baron bergeming pura-pura tidak tahu, pandangannya fokus kedepan.
Hanny memalingkan wajah menurunkan sudut bibirnya karena umpannya pada Gerard tidak berpengaruh.
"Kamu tenang saja, aku sudah mengatakan pada Harvan kamu baik-baik saja" ucap Gerard datar.
malam itu mereka tiba di bandara tengah malam mengambil penerbangan ke negara S pergi meninggalkan kota itu menjadi seorang buronan.
...****************...
Sementara di rumah sakit.
"Bagaimana kondisi Kai dokter?" Nania berlari menuju dokter yang baru keluar dari ruang operasi.
"Pasien berhasil melewati masa kritis, namun masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sebaiknya kita tunggu semoga ada kemajuan"
Tangis Nania kembali pecah. ia terduduk di kursi tunggu rumah sakit yang dingin.
Semilir angin tengah malam semakin menambah dingin tubuhnya yang lemah. Gaun pesta yang ia kenakan sejak tadi sore masih melekat tidak lagi ia pedulikan.
Anggara membuka Jas nya meninggalkan kemeja putih yang melekat ditubuhnya. lalu ia mengenakannya pada Nania yang terduduk lemah
"Kita pulang dulu ya Na!?"
Nania menggeleng "Kamu aja Anggara, aku disini saja" suaranya merendah.
"Na, nanti kamu yang sakit. Kamu juga harus pikirin diri kamu Na!" Anggara memegang bahu Nania lembut bersimpuh di menghadap Nania. Nania memandang wajah Anggara yang lesu menatapnya dalam.
"Terima kasih Anggara, tapi sebaiknya kamu pulang duluan" ia menggenggam tangan Anggara tersenyum getir.
Anggara terdiam memandangi mata Nania yang sudah membengkak karena tidak berhenti menangis.
Ia bangkit dan duduk disamping Nania. mendorong tubuh Nania kedadanya.