Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 Teduh ke sekian kalinya
Maya masih terpaku dalam diam, ada rasa marah,kesal juga sedikit rasa bangga. Entahlah ia tidak terlalu mengerti.
Rara kembali membuka suara, kedua tangannya masih sibuk memungut telur-telur. Ia tak sadar akan perubahan wajah Maya."Pokoknya dia itu baik banget lah May, soalnya kadang pemerintah tuh suka tutup mata sama pesantren ini, apalagi karna kita kan di pelosok banget, jadi ya kita bersyukur banget ada pak Arman."
Maya membuang wajah,"Itu karna kalian gak tau gimana sifat aslinya aja."
Rara menghentikan kegiatannya, lalu menatap Maya dengan tatapan penuh tanya. " Kok gitu May, emangnya kamu kenal pak Arman itu?."
"Lebih dari sekedar kenal, gue bahkan satu rumah sama dia," Maya mencebik kesal.
Rara melotot tak percaya, "Astaga May, kamu sugar baby nya pak Arman ya, kayak yang di film-film itu."
"Heh , kutu kupret! sembarangan tuh mulut, iya kali gue mau sama aki-aki modelan dia, bisa-bisa selera gue dipertanyakan sedunia lagi," Maya menggeleng keras, matanya ikut melotot terkejut.
"Terus kalau bukan, jadi kamu siapa nya pak Arman May? Istri? simpanan? atau rekan nongkrong, ahhh aku ga kuat ngebayanginnya," Rara memekik sambil memegangi kepalanya.
Maya menarik bahu Rara, lalu berbisik pelan "Arman Wicaksono itu.....," Maya menghentikan suaranya membuat Rara penasaran setengah mati.
"Siapanya kamu May, ayo jujur ke aku, aku gak akan ember kok," ucap Rara tak sabar.
"bokap gue," Maya langsung menutupi telinga dengan kedua jarinya.
Rara ternganga, rahangnya nyaris jatuh ke tanah. Kedua tangannya yang masih belepotan pecahan cangkang telur ikut terangkat ke udara.
“Ayah kamu?!” teriaknya kencang, sampai ayam-ayam yang tadinya tenang langsung berkotek panik berhamburan.
Maya buru-buru menutup mulut Rara dengan telapak tangannya. “Sssttt!!! Mau bikin gue jadi headline gosip pesantren apa gimana sih?! ‘Breaking News: Miss Internasional ternyata anaknya donatur pesantren!’ Hah? Mau lo begitu?”
Rara mengerjap-ngerjap, masih belum percaya. Suaranya mengecil, “Ya Allah, May… seriusan? Pak Arman yang itu? Yang tiap bulan suka ngasih bantuan beras? Yang kata ustadzah pernah nolongin bayar listrik masjid? Itu… ayah kamu?, "
Maya mendengus kasar, lalu menjatuhkan diri duduk di lantai kandang ayam. “Ya ampun Ra, lo kira gue ngibul apa? Itu beneran bokap gue. Bokap paling nyebelin sedunia.”
Rara ikut duduk di sebelahnya, masih dengan ekspresi sok dramatis ala sinetron. “Pantesan kamu tadi kayak lihat pocong di siang bolong pas denger namanya. Tapi… kok kamu kayaknya nggak bangga gitu, May? Padahal orang lain tuh nganggep dia pahlawan banget, loh.”
Maya mendongak, menatap langit-langit kandang yang penuh jaring laba-laba. Senyum miris terbentuk di bibirnya. “Bangga? Ra, gue bahkan nggak tau harus bangga atau muak. Buat orang lain, dia pahlawan. Buat gue, dia diktator. Semua yang gue lakuin salah di matanya. Hidup gue tuh kayak film horror yang disutradarai dia.”
Rara menggigit bibir, wajahnya berubah iba. “Tapi May… pasti dia punya alesan sendiri kan kenapa maksa kamu untuk masuk ke sini?”
Maya mendengus, matanya menajam. “Alesan? Ha! Jangan harap ada kata demokrasi di rumah gue, Ra. Bokap gue tuh tipe yang kalo ngomong harus A, ya A. Gue mau nolak dikit aja, langsung dianggap durhaka. Jadi ya… jadilah gue ‘dijeblosin’ ke pesantren kayak narapidana.”
Rara terdiam, tangannya memainkan pecahan cangkang telur di pangkuannya. “Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin dia pengen kamu jadi lebih baik, May. Siapa tau biar kamu punya bekal ilmu agama?”
Maya menoleh cepat, alisnya terangkat tinggi. “Ra, lo liat gue sekarang? Gue bukan jadi lebih baik, tapi jadi kayak ayam-ayam ini. Terjebak di kandang, dikasih makan secukupnya, terus disuruh produksi telur alias ‘prestasi’. Bedanya cuma satu, ayam-ayam ini nggak disuruh ikut setoran hafalan.”
Rara hampir tertawa mendengar analogi konyol itu, tapi langsung menutup mulutnya rapat-rapat begitu melihat tatapan Maya yang serius. “Tapi May, jujur deh… di antara semua omelan kamu, aku liat kamu juga kadang seneng kan di sini? Kayak waktu kemarin kamu ketawa gara-gara Zahra keseleo pas senam. Atau pas kita makan bareng, kamu sampai rebutan kerupuk. Atau pas momen sama Ustadz Azzam barangkali. Itu kan bukti kamu nggak se-nggak betah itu.”
Maya tercekat. Ada rasa aneh menggelitik dadanya. Dia ingin membantah, tapi kalimat Rara menohok titik yang ia sendiri tak mau akui. Ia menunduk, menarik napas panjang, lalu berbisik lirih.
“Gue… nggak ngerti, Ra. Kadang gue benci banget sama bokap karena maksa gue masuk sini. Tapi di sisi lain, ada bagian kecil dari diri gue yang… ngerasa ini rumah kedua. Gue marah, tapi gue juga… nyaman. Gue muak, tapi gue juga… bangga.”
Rara menatapnya lekat-lekat, kemudian tersenyum tipis. “Mungkin itu tandanya hati kamu mulai luluh, May. Bukan karena bokap kamu, tapi karena kamu sendiri udah nemuin sesuatu di sini yang nggak bisa kamu dapet di luar.”
Maya terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi bibirnya hanya mampu bergumam pelan.
“Entahlah, Ra… entahlah.”
Rara terdiam, menatap Maya lama. Lalu tiba-tiba ia nyengir nakal. “Tapi tetep aja sih… gila, aku nggak nyangka kamu itu anaknya donatur top level pesantren. Wajar aja kamu kelihatan kayak artis K-Pop nyasar di kandang ayam. Aura sultan kamu nggak bisa bohong, May.”
Maya mencubit lengan Rara. “Dih! Sultan dari Hongkong! Kalau bener gue anak sultan, masa iya masih disuruh ngangkut telur ayam beginian. Hadeuh, hidup gue tuh bener-bener parody, Ra.”
Mereka berdua akhirnya tertawa kecil, meski dalam hati Maya, luka lama kembali terbuka.
.......
Dari balik tiang kayu kandang, sesosok tinggi, wajah tampan dengan sorban sederhana tampak berdiri. Ustadz Azzam sejak tadi sengaja mengawasi jalannya kerja bakti, tapi telinganya malah menangkap hampir seluruh percakapan Maya dan Rara. Ia tidak bergerak, hanya tersenyum tipis,senyum yang jarang sekali terlihat.
Saat itu juga, Maya menoleh ke belakang, dan matanya langsung membelalak.
“ASTAGA! RA—!!” teriaknya panik, menunjuk Azzam yang berdiri datar dengan tangan terlipat di dada.
Rara ikut menoleh, lalu buru-buru menutup mulutnya. “Innalillahi… ketauan kita, May.”
Maya buru-buru berdiri, wajahnya merah padam. “Heh, Ustadz! Nguping ya?! Ih dasar tukang kepo, mana boleh ustadz nguping rahasia santriwati!”
Azzam mengangkat alis, suaranya tenang, dingin, tapi entah kenapa justru menenangkan. “Saya tidak menguping. Saya hanya kebetulan lewat. Dan kebetulan telinga saya masih berfungsi dengan baik.”
Maya melotot. “Alasan klasik! Harusnya ustadz bilang ‘maaf nggak sengaja’, bukannya malah sok cool gitu.”
Rara yang masih duduk hampir meledak ketawa, tapi ditahan keras-keras.
“Sudah. Lanjutkan kerja kalian. Kalau tidak, telur-telur itu bisa pecah keburu panas,” ucap Azzam singkat, hendak berbalik pergi.
Namun Maya, dengan gaya dramatisnya, menepuk tangan. “Eh, nggak bisa gitu aja! Ustadz udah melanggar privasi saya, harus ada hukuman!”
Azzam menghentikan langkahnya. Menoleh pelan, tatapannya datar tapi menusuk. “Hukuman?”
“Betul sekali.” Maya menyilangkan tangan di dada, pura-pura garang. “Saya sebagai korban perbuatan ‘ilegal’ ustadz, berhak menuntut keadilan. Hukuman untuk ustadz adalah…”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, kaki Maya malah menginjak sisa jerami basah yang licin.
“WAHHHH!!”
Bruakk! Tubuhnya kehilangan keseimbangan, keranjang telur di sampingnya ikut bergoyang hebat. Wajah Maya panik, ia sudah membayangkan dirinya akan jatuh terkapar bersama puluhan telur pecah berhamburan.
Rara menjerit, “MAYAAAAA!!”
Semua terasa melambat. Maya meraih udara, tangannya kosong, hingga—
Srak! Sebuah tangan kuat menahan lengannya tepat sebelum ia terjatuh. Tubuh Maya berhenti hanya sejengkal dari lantai kandang.
Deg.
Maya menoleh dengan jantung berdegup gila-gilaan, mendapati wajah Ustadz Azzam begitu dekat. Tatapannya datar, tapi ada sinar halus yang membuat Maya makin salah tingkah. Nafasnya tercekat, seakan dunia mendadak hening kecuali suara jantungnya sendiri.
“Kalau semua hukuman berujung begini…” suara Azzam lirih, nyaris berbisik. “…sepertinya saya harus siap jadi korban setiap hari.”
Maya terpaku. Pipi dan telinganya langsung panas. Ia buru-buru berdiri tegak, melepaskan pegangan tangan Azzam, lalu merapikan kerudungnya yang berantakan.
“Eh… eh, nggak usah sok pahlawan deh, Ustadz!” katanya gugup, suaranya melengking aneh. “Saya tadi cuma… ya… pura-pura jatuh aja. Testing refleks Ustadz gitu loh!”
Rara sudah nggak tahan lagi. Tertawanya pecah meledak-ledak. “HAHAHA! May, ekspresi kamu tadi… astagaaa, sumpah kayak sinetron jam tujuh! Aduh, perutku sakit!”
Azzam hanya menghela napas, wajahnya kembali datar. “Sudah. Selesaikan kerja kalian. Jangan banyak bicara.”
Ia pun berbalik, melangkah tenang meninggalkan mereka.
Maya memandangi punggungnya sampai hilang dari pandangan, lalu menepuk pipinya sendiri pelan. Napasnya masih tidak teratur.
“Ya Allah, Ra…” bisiknya gemetar. “Itu tatapannya kayak AC 2 PK, dingin banget. Tapi kok… bikin hati gue anget, ya?”
Rara makin tertawa kencang, hampir terguling di lantai. “Udah, May… fix, kamu harus istighfar sekarang juga!”
.
.
✨️ Bersambung ✨️