Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STRATEGI LAGI
Kos-kosan itu terasa lebih pengap dari biasanya. Udara malam seharusnya membawa hawa sejuk, tapi bagi Maya, yang ia rasakan hanyalah sesak dan berat di dada. Lampu neon kecil di langit-langit berdesir pelan, memantulkan cahaya pucat ke dinding yang kusam.
Maya duduk di tepi ranjang, masih mengenakan seragam kerja yang beraroma minyak goreng bercampur wangi menyengat parfum wanita itu—istri kedua Reza. Parfum yang masih melekat seperti ejekan tak kasat mata.
Tasnya tergeletak di lantai, isinya berserakan. Di sebelah bantal, Nayla tertidur pulas, wajahnya bersih dan tenang di bawah cahaya lampu tidur yang redup. Nafas kecilnya teratur, seperti sama sekali tak sadar badai besar sedang berkumpul di sekitar hidupnya.
Maya mengusap kepala anak itu pelan. “Tidurlah, Sayang… Mama di sini,” bisiknya. Tapi suara itu justru membuat matanya panas. Ia menelan gumpalan di tenggorokan, mencoba menahan air mata yang sudah lama menekan dari balik kelopak.
Pikirannya kembali pada siang tadi—tatapan dingin Reza, senyum tipis perempuan itu, kalimat yang menusuk lebih tajam dari pisau: “Kami menikah beberapa tahun lalu.”
Kalimat itu menggemakan satu hal yang Maya tahu benar—selama ini, ia masih istri sahnya. Dan sekarang, ia baru tahu bahwa Reza sudah menikah lagi… di belakangnya.
Tangannya gemetar saat meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Jemarinya melayang ragu sebelum mengetuk nama Adrian Lesmana.
Nada sambung hanya dua kali.
“Ya, Maya,” suara berat itu langsung terdengar.
“Aku… butuh bicara,” suaranya serak.
“Singkatkan.”
Maya menarik napas panjang, mencoba mengendalikan getaran di suaranya. “Reza datang ke restoran. Dia bawa… perempuan. Katanya mereka sudah menikah. Dia bilang perempuan itu nggak bisa punya anak, dan mereka mau ambil Nayla.”
Jeda singkat di seberang. Lalu Adrian bertanya tanpa nada terkejut, “Jadi kamu baru tahu dia menikah lagi?”
“Iya,” jawab Maya pelan. “Dan aku baru sadar… itu semua dia lakukan diam-diam. Padahal aku masih sah jadi istrinya.”
“Aku mengerti,” kata Adrian datar. “Secara hukum, pernikahan kedua itu tidak sah. Kita bisa gunakan fakta itu untuk serangan balik di pengadilan. Tapi kamu harus tetap tenang. Jangan beri mereka celah.”
Maya menelan ludah. “Mereka nggak akan berhenti, Adrian. Aku lihat di matanya. Dia… dia serius mau ambil Nayla.”
“Aku tahu. Karena itu, mulai sekarang setiap pertemuan dengan mereka kamu rekam, catat waktu dan tempatnya. Besok pagi kita bertemu di kantorku, kita susun strategi.”
“Oke,” bisiknya. “Terima kasih.”
“Aku di sini bukan untuk ucapan terima kasih. Aku di sini untuk menang.”
Lalu telepon terputus, menyisakan keheningan yang mencekam.
Maya menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum mengembuskan napas panjang. Pandangannya teralihkan pada sebuah kotak kayu di sudut lemari. Kotak itu sudah lama tidak ia sentuh—hanya dibuka saat ia benar-benar merasa tak sanggup lagi.
Dengan langkah pelan, ia mengambilnya. Kotak itu berat, bukan karena isinya, tapi karena beban kenangan yang terkunci di dalamnya.
Tutupnya terbuka, dan di dalamnya… foto-foto lama menatap balik padanya.
Foto pernikahan mereka—Maya bergaun putih sederhana, tersenyum lebar di samping Reza yang saat itu menatapnya penuh bangga. Matanya memanas. Senyum di foto itu terasa seperti milik orang asing sekarang.
Ia meraih foto lain—Nayla kecil, baru berumur beberapa bulan, dibedong rapat dengan pipi bulat kemerahan. Maya ingat jelas malam-malam tanpa tidur, menggendong bayi itu sambil bernyanyi pelan, merasa dunia hanya berisi mereka berdua.
Tiba-tiba dadanya terasa diremas. Ia memeluk foto itu ke dada, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. “Kalian nggak akan ambil dia dariku…” bisiknya, hampir seperti janji atau doa.
Kotak itu masih terbuka, foto-foto bertebaran di lantai. Maya membiarkan air matanya jatuh, tidak berusaha menghapusnya. Karena malam ini, ia tahu, satu-satunya cara bertahan adalah membiarkan rasa sakit itu mengalir, lalu mengeras menjadi tekad.
Ia menoleh pada Nayla yang tidur nyenyak. “Mama janji, Sayang. Kita nggak akan kalah. Apa pun yang terjadi.”
Dan di luar, angin malam berhembus pelan, seakan mengamini janji itu.
kamu harus jujur maya sama adrian.