Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Kelas Rasa Cabai
Aku memutuskan untuk menunggu Deco masuk ke rumah memeriksa tugas ini karena malas saja rasanya mengganggu orang yang sedang asyik berpacaran. Lumayan di sini juga ditemani beberapa camilan yang diberikan oleh ibunya Deco, biskuit cokelat memang mantap.
Setelah lebih dari lima belas menit menunggu, Deco dan Frisly masuk kembali ke dalam rumah. Deco segera memeriksa hasil tugas yang diberikan dan ternyata hasilnya sempurna, berhasil. Tidak menyangka bisa menyelesaikan semuanya.
Keesokan harinya, aku pergi ke lapangan Oka dekat rumah. Tepatnya di perumahan tetangga, karena perumahan Oka berseberangan dengan perumahan tempat tinggalku. Di lapangan ini, tempat kami biasa bermain, terutama saat masih ada Rey.
Teringat dia lagi, sudah berapa lama kami tidak bermain bersama? Tidak lama aku lihat Dera jalan dengan teman-temannya. Mereka tidak sadar jika di lapangan ada aku yang sedang duduk di bangku dekat pohon, pohon terbesar di lapangan itu. Tidak sengaja menguping pembicaraan Dera dengan teman-temannya. Jangan ditiru, bagaimanapun menguping itu tidak baik bagi jiwa dan pikiran.
“Dera, bagaimana pacarmu?”
“Iya masih kok, kamu sudah lihat, ‘kan?”
“Iya tampan dan pintar ya sepertinya, cocok sekali denganmu!”
“Sudah jangan memuji seperti itu.”
“Tapi memang pacarmu itu sempurna, ‘kan?”
Sungguh inginnya mampir di lapangan ini bisa dapat ketenangan, ternyata malah bikin galau dan hati makin panas. Bergegaslah beranjak dari sana, tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Hidup masih panjang, galau nanti dulu.
Supaya lekas tidak terdengar suara mereka, aku berlari. Dera melihat, dia memanggil, aku tersenyum. Sudah ya, Cantik. Kau sudah punya pacar. Jangan mengejar, aku juga sudah punya pacar, dia bernama: kesepian. Kesepian itu manis, selalu menemani, membuat diri ini selalu ingin berbaring bersama.
Sesampainya di rumah dimulailah permainan yang bernama menyendiri. Merebahkan diri di kasur seakan-akan seperti sedang di padang rumput hijau yang amat luas. Setelah puas, mencoba duduk di kasur.
Tidak sengaja melihat sebuah buku yang tergeletak di meja belajar. Buku itu bernama Buku Pintar. Penasaran dibukalah buku itu, sekadar ingin menguji seberapa pintar buku tersebut?
Pada beberapa halaman belakang, ditemukan ada salah satu bab tentang nama orang yang umum beserta artinya. Mencoba membaca sejenak. Tepat di bagian lima huruf, ketemulah namaku “Avery”.
Masa iya? Yang benar saja! Pada buku ini tertulis, Avery dalam bahasa Anglo Saxon berarti penguasa bidadari. Sejenak berpikir, jika memang penguasa bidadari seharusnya tidak mengalami kesulitan dalam hal perempuan atau percintaan.
Ada-ada saja, kalau benar begitu, harusnya sekarang sudah dikelilingi banyak perempuan. Deco mungkin lebih cocok untuk julukan penguasa bidadari. Aneh.
Kembali membanting tubuh ke kasur, mencoba menutup mata. Saat membuka mata, barulah tersadar kalau diri ini bablas ketiduran. Jendela rumah yang tadinya membiaskan cahaya, sekarang redup.
Sudah jam 9 malam, tertidur selama kurang lebih empat jam. Magrib dan Isya lewat, kepala pusing. Sempurna pokoknya, resep untuk membuat diri ini cepat mati. Segera sudah mencuci muka dan merapikan buku untuk besok, salat, dan kembali tidur.
Keesokan harinya, masih saja terpikir tentang arti nama ini. Avery, apa benar penguasa bidadari? Jangan-jangan bidadari pria? Aku masih normal.
Sesampainya di kelas, sendirian, duduk merenung, dengan tenang berkhayal. Berkhayal mendapat perempuan idaman.
Seperti apakah perempuan itu? Apa harus cantik? Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dan memaksa kembali memutar otak. Rendah sekali hidup ini, isinya perempuan lagi, perempuan lagi.
Deco sepertinya sedang asyik kencan di kantin dengan Frisly. Perasaan ini selalu tidak enak kalau di kelas sendirian. Auranya itu loh, menyebalkan.
Anak-anak brutal dan sok jagoan begitu dominan mengisi kelas dari awal masa SMP dimulai. Sekelompok murid yang entah apa motivasinya, bertingkah seperti merekalah yang punya sekolah.
Memang selama ini belum pernah diganggu langsung oleh mereka. Mereka gayanya aneh, bertingkah layaknya preman, celana bagian bawahnya dikecilkan, dengan rambut bergaya mohawk, spike, bolos dan nongkrong dekat toilet adalah hobi mereka.
Beberapa dari mereka yang ada di kelasku di antaranya Erik, Gon, Samur, Ewan, dan masih banyak lagi. Mereka yang biasa bikin onar. Mereka juga bisa mencari teman atau memengaruhi murid lain untuk melakukan apa yang mereka mau di kelas, seperti bikin guru kesal dan cari keributan.Mereka juga yang menjadi langganan dari daftar murid-murid bermasalah dengan tata tertib sekolah, mulai dari rambut, cara memakai baju, sepatu yang tidak hitam, dan kadang memakai aksesoris berlebihan baik perempuan maupun laki-laki.
Tidak sedikit juga anak laki-laki memakai kalung yang seharusnya digunakan untuk seekor anjing atau kucing. Ya, tingkah mereka mirip anjing sih.
Hari ini perasaan kok enggak enak banget di kelas. Tiba-tiba Erik, salah satu orang dari geng preman itu menghampiri. Dia membawa sebungkus gorengan beserta cabainya, dengan gaya yang aduhai najisnya. dia menyuruhku untuk memakan cabai yang ada di bungkus gorengan itu.
Siapa dia? Orang tuaku saja enggak pernah nyuruh makan cabai, kalau sayur iya sering. Aku menolak dong, lalu dia menatapku dengan kantong mata hitam, tidak segar, matanya sedikit merah seperti habis merokok, dan pastinya menyebalkan.
Dia berkata, “Ayo makan! Kalau tidak, awas ya!” Masih mencoba menolak. Dia menghantam wajahku. Sial, aku takut. Badanku bergetar tapi tetap menutup mulut dan menolak memakan cabai itu.
Tiba-tiba Erik pergi dan kembali sambil membawa sebuah atau seekor makhluk bernama Gon, malas sekali menyebutnya manusia. Dia adalah teman Erik yang sama menyebalkannya. Gon menggenggam pergelangan tangan ini dan meremasnya hingga aku berteriak. Gon terus berkata, “Ayo makan cabainya! Jangan belagu deh!”
Kamu ya yang belagu, wahai kotoran binatang yang tidak terhormat.
“Tidak mau!” kataku.
“Cepat makan!” ucap Erik.
Mentalku jatuh. Kalah juga akhirnya, dengan berat hati, mencoba mengambil salah satu cabai itu dan memakannya. Pedas! Sangat pedas rasanya. Mereka bahkan tidak memberikan minum atau beberapa gorengan untuk meredakan rasa pedas ini. Sebaliknya malah disuruh makan cabai lebih banyak lagi.
Kali ini, beberapa teman berandal mereka yang sekiranya ada lima orang datang untuk menyaksikan penyiksaan ini, bahkan mereka menambahkan jumlah cabainya, yang sengaja mereka beli dari tukang gorengan. Sudah cabai ketiga yang habis dimakan tanpa minum, wajah ini dipenuhi keringat.
Tiba-tiba ada salah satu murid di kelas yang melihat peristiwa ini. Dia melaporkannya ke guru BP. Anak perempuan bernyali besar ini bernama Sheila.
Sheila sempat ditunjuk menjadi ketua kelas, tapi dia menolaknya tanpa alasan yang jelas. Padahal jika dipikir, perempuan ini mempunyai jiwa kepemimpinan yang hebat dan berani.
Begitu tahu Sheila pergi memanggil guru BP, Erik mendekatiku dan menyodorkan uang sebesar lima ribu rupiah. Awalnya tidak paham niatnya untuk apa, tapi begitu sadar kalau niatnya untuk menutup mulut, langsung saja kutolak uang tersebut. Kirain dikasih duit buat beli minum.
Guru BP datang, dia membawa Erik, Gon, dan binatang lain yang terlibat dalam peristiwa ini terutama para pemberi cabai ke ruang BP untuk dimintai keterangan.
Aku belum sempat bilang terima kasih pada Sheila, dia sudah menghilang begitu saja. Perut ini sakit, untung saja sudah waktunya pulang sekolah.Saat di mobil angkutan umum, muncul keinginan untuk buang air besar. Seluruh tubuh ini bergetar menahan perut yang seperti diperas. Celaka, banyak orang di sini, butuh banget buat mengeluarkan angin yang sudah tidak sabar ingin keluar dari perut.
Akhirnya, berhasil juga bertahan untuk tidak buang angin selama di angkutan umum, tapi begitu sampai di rumah terpaksa singgah beberapa menit di toilet untuk mengeluarkan beberapa isi perut. Sepertinya diare, cabainya pedas sekali.
Bodoh banget sumpah, kenapa tidak melawan? Sebegitu lemahkah diri ini? Sekilas berpikir untuk ikut ekstrakurikuler pencak silat agar bisa membela diri. Kebetulan tadi di sekolah ada yang menawarkan kegiatan tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...