Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Hangat di Tengah Badai
Lanjutan.... 🍁
"Ribet juga, ya," kata Liam, menghela napas. "Masalah yang waktu itu jadi melebar ke mana-mana. Gue kasihan sama Valeria. Kayaknya hidup dia seperti penuh tekanan."
"Ya," timpal Damian. "Dan dia juga sudah dibikinin jadwal les selama seminggu penuh sama mamanya. Enggak boleh ke mana-mana, harus belajar dan belajar."
"Masa sih?" tanya Revan, terkejut.
"Ya, Valeria yang cerita," jawab Damian.
Revan mengerutkan kening, terlihat frustasi. "Kenapa dia enggak cerita sama gue?"
"Gue enggak tahu, Revan," kata Damian. "Lo-nya aja yang enggak tanya sama dia. Kalau lo nanya, dia juga pasti akan jawab."
"Wah, gila," seru Liam, kaget. "Seminggu les? Di sekolah udah belajar, pulangnya belajar lagi. Enggak pusing itu kepala?"
"Tapi ngomong-ngomong, bukannya waktu itu Valeria disuruh belajar bisnis sama lo, Revan?" tanya Liam.
"Ya, tapi enggak tahu jadi atau enggak," jawab Revan. "Belum ada kabar dan enggak ada pembicaraan lanjutan tentang itu. Bokap gue juga enggak ada info ke gue, dan dia juga enggak dihubungi lagi sama Tante Diandra."
"Ya, mungkin sudah lupa kali," kata Damian. "Tapi baguslah, jadi Valeria enggak terlalu pusing buat belajar bisnis."
Kian menyela, tatapannya berbinar. "Tapi gimana kalau kita tetap jalanin aja bisnis kafenya yang sempat kita bicarain, Van? Kalau kalian mau gabung, enggak apa. Kita bisa bikin bisnis bersama."
"Ide bagus," sahut Damian, semangat. "Ayo aja."
"Ya, gue juga setuju. Kalau begitu, gue ikut," kata Liam.
"Ya udah, kapan kita mulainya?" tanya Revan.
"Secepatnya," jawab Kian. "Proposal sudah ada, tinggal kita cari investor. Gue akan minta ayah gue sebagai investor pertama."
"Gue juga akan bilang bokap gue, dan dia juga pasti senang dengar gue sudah mau buka usaha," kata Revan.
"Oke, gue juga akan lakukan," tambah Damian.
"Ehm, gue... maaf, gue kayaknya enggak bisa," kata Liam, suaranya pelan. "Keluarga gue..."
"Enggak apa-apa, Liam. Gue ngerti," kata Kian, memahami.
"Makasih," jawab Liam. "Kalau begitu, kalau udah jadi biar gue aja jadi pelayannya. Kalian jadi owner, gue yang jadi pegawainya."
"Oke, baiklah," kata Revan sambil tersenyum. "Jadi, lo mau digaji berapa?"
"Berapa pun yang penting cukup buat gue, memenuhi kehidupan gue, serta bantu keluarga gue," jawab Liam, tulus.
"Tenang aja, gaji lo akan lebih cukup, bahkan akan lebih dari apa yang lo harapkan," kata Kian, menepuk bahu Liam.
"Betul," timpal Damian.
"Thanks," ucap Liam. "Gue sangat-sangat berterima kasih sama kalian."
...****************...
Sementara itu, Valeria dan Tante Kiara menghabiskan waktu mereka dengan berbelanja. Mereka berjalan santai di pusat perbelanjaan. Wajah Valeria terlihat lebih cerah, senyumnya tidak lagi kaku.
Mereka mulai dari toko pakaian. Kiara mengambil beberapa potong dress dan jaket untuk dicoba Valeria.
"Val, coba yang ini," kata Kiara, memberikan sebuah dress berwarna cream. "Warna ini cocok banget di kulit kamu."
Valeria mengambilnya dan masuk ke ruang ganti. Beberapa saat kemudian, ia keluar. Dress itu memang terlihat bagus di tubuhnya.
"Gimana, Tante?" tanyanya malu-malu.
"Bagus banget!" seru Kiara. "Lihat deh, kamu jadi kelihatan lebih segar. Kita ambil yang ini."
Setelah mencoba beberapa pakaian dan menemukan yang cocok, mereka pindah ke toko sepatu. Keduanya mencoba beberapa sepatu, mulai dari heels hingga sneakers. Akhirnya, mereka memilih dua pasang sneakers putih dengan model yang sama.
Mereka pun berjalan ke kasir. Kiara mengeluarkan kartu kreditnya.
"Tante, biar Valeria saja yang bayar," kata Valeria, merasa tidak enak.
"Ih, enggak usah," balas Kiara lembut. Ia tersenyum, "Ini hadiah dari Tante. Anggap saja ini terapi setelah kamu capek mikir kemarin. Anggap saja uang jajan dari Tante."
Valeria tersenyum. "Makasih banyak, Tante."
"Sama-sama, sayang," jawab Kiara.
Setelah selesai membayar, Valeria memasukkan barang belanjaan ke dalam tas. Ia menoleh ke Tante Kiara.
"Sekarang kita ke mana, Tante?" tanya Valeria.
Kiara tersenyum. "Belanja bulanan, atau kamu mau kita main dulu di Timezone?"
"Sekarang jam 10:30 ," kata Valeria. "Belanja bulanan saja deh, Tan. Enggak usah main, kan sudah semalam."
Kiara menatap Valeria lekat-lekat. "Oh, yang sama Damian? Kamu belum cerita sama tante, kalian ke mana aja semalam dan ngapain aja."
Valeria terdiam sejenak. Ia tahu percakapan ini akan datang.
"Tapi, sebelum itu," lanjut Kiara, suaranya lembut. "Kita cerita sambil jalan saja, ya."
...Hanya ilustrasi gambar...
Mereka pun berjalan dari toko pakaian menuju area supermarket di dalam mal. Di tengah keramaian pengunjung, Tante Kiara menggandeng lengan Valeria.
Ketika masuk ke dalam supermarket, Tante Kiara mengambil troli besar, sementara Valeria mengambil keranjang kecil. Kiara mendorong troli, dan Valeria mengikutinya di samping sambil membawa keranjangnya.
...Hanya ilustrasi gambar....
Mereka mulai menyusuri bagian kosmetik dan kecantikan. Valeria dan Kiara memilih bedak, lipstik, parfum, handbody, serta perawatan wanita lainnya, dan memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah itu, mereka berjalan lagi menyusuri rak-rak peralatan mandi, mengambil sabun, sampo, odol, sikat gigi, dan pencuci muka untuk ditaruh di troli. Mereka melanjutkan lagi ke area deterjen dan sabun cuci piring, lalu ke area makanan cepat saji seperti nugget, sosis, dan daging ayam. Setelah itu, barulah mereka menuju area bumbu, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Sambil memilih sayuran, Tante Kiara menoleh ke Valeria dengan senyum lembut. "Jadi kamu ke mana, Val? Semalam kalian jalan-jalan ke mana?"
"Festival," jawab Valeria singkat.
"Festival? Wah, seru tuh!" seru Kiara. "Terus kalian main apa aja?"
Valeria tersenyum, mengingat kembali malam itu. "Balon dart, lempar gelang dan masukin ke botol, komidi putar, rumah hantu, dan terakhir bianglala."
Tante Kiara mengambil brokoli dan memasukkannya ke troli. "Jadi boneka itu dapat dari permainan itu?"
"Ya," jawab Valeria, tersenyum. "Itu didapat pas Valeria dan Damian main balon dart. Tapi pas permainan gelang masukin ke botol, kita sama-sama enggak berhasil jadi enggak dapat hadiah. Padahal, nih, Tan, kalau menang bisa dapetin boneka beruang yang lebih besar. Tapi sayang, kita dua-duanya enggak ada yang berhasil."
"Dari semua permainan itu, apa yang paling kamu suka?" tanya Kiara, penasaran.
"Komidi putar sama bianglala," jawab Valeria, matanya berbinar.
Tante Kiara mengangguk-angguk. Ia tahu, sekaranglah saat yang tepat untuk bertanya lebih jauh.
Tante Kiara dan Valeria melanjutkan belanja mereka. Mereka berjalan menyusuri rak-rak buah-buahan. Tante Kiara mengambil kantong plastik dan memasukkan beberapa Apel, dan satu buah semangka, dua kantong plastik anggur, tiga kantong strawberry , satu kantong kiwi dan satu kantong mangga lalu memasukkannya ke dalam troli.
Kiara menatap keponakannya yang masih terlihat bersemangat.
"Kamu kelihatan senang banget waktu ngomongin bianglala," kata Kiara. Ia berhenti sejenak dan menatap Valeria. "Ada sesuatu yang kalian obrolin di sana?"
Valeria terdiam, senyumnya memudar. Ia menunduk, menatap keranjangnya. Ia tahu momen ini akan datang. Momen di mana ia harus menceritakan apa yang terjadi, bukan hanya bagian yang menyenangkan.
Valeria terdiam sejenak. Ia menghela napas, lalu kembali menatap Tante Kiara.
"Sebenarnya enggak ada percakapan yang gimana-gimana, Tan. Hanya hal-hal biasa," kata Valeria. "Tapi, ada satu hal yang bikin Valeria kaget dan terkejut banget."
"Memangnya apa yang Damian lakukan?" tanya Tante Kiara, penasaran.
Valeria menunduk, pipinya merona. "Dia... dia pegang pipi Valeria, Tante. Jarak kita dekat banget. Valeria sampai deg-degan."
Tante Kiara tersenyum, menghentikan langkahnya. Ia menatap Valeria dengan lembut. "Kamu suka sama Damian?"
Valeria terkesiap. "Hah! Suka?" Valeria tampak bingung. "Aku... Valeria enggak tahu, Tante. Kalau aku suka, belum tentu Damian juga suka, kan?" Suaranya bergetar. "Valeria enggak mau banyak berharap..."
Tante Kiara menatap Valeria dengan tatapan penuh kehangatan. Ia meraih tangan keponakannya dan menggenggamnya erat.
"Val, dengar Tante," katanya lembut. "Perasaan itu enggak bisa dipaksakan, dan kamu juga enggak bisa mengendalikan perasaan orang lain. Tapi, kamu enggak akan pernah tahu kalau kamu enggak berani. Kamu berhak merasa deg-degan, kamu berhak suka sama seseorang."
Kiara tersenyum. "Soal Damian suka balik atau enggak, itu urusan belakangan. Yang paling penting, kamu mengakui perasaan kamu sendiri. Jangan takut buat berharap. Tante dukung kamu, apa pun yang terjadi."
Valeria menatap Tante Kiara, matanya berkaca-kaca. Perkataan itu terasa seperti air sejuk yang membasuh semua kekhawatiran yang ia rasakan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang membiarkannya jujur dengan perasaannya sendiri.
"Sekarang," kata Kiara, melepaskan genggaman tangannya dan menepuk bahu Valeria. "Ayo kita selesaikan belanjanya. Setelah itu, kita pulang, ya."
Mereka pun melanjutkan belanja, dan suasana kembali terasa nyaman.
...****************...
Kiara dan Valeria akhirnya selesai berbelanja. Mereka berjalan keluar dari mobil, membawa beberapa tas belanjaan. Di tangan mereka, tas-tas itu terasa ringan, seolah beban di hati Valeria juga ikut terangkat. Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah.
Namun, suasana ceria itu langsung sirna. Mama Diandra sudah duduk tegak di ruang tamu, wajahnya terlihat serius. Di sampingnya, duduk seorang pria paruh baya dengan kacamata, memegang buku tebal. Pria itu adalah Pak Teguh, guru les fisika dan kimia.
Mama Diandra menoleh ke arah mereka, tatapannya dingin.
"Dari mana saja kamu, Valeria?" tanyanya, suaranya terdengar tidak sabar.
Valeria terdiam, senyumnya langsung hilang. Tangan yang tadi menggandeng tas belanjaan terasa kaku.
Mama Diandra menatap mereka tajam. "Kenapa kalian baru pulang sekarang? Kalian telat. Mbak kan sudah bilang, Kiara, jam 12 harus sudah ada di rumah," katanya dengan nada dingin.
Kiara meletakkan tas belanjaannya. "Maaf, Mbak, Kiara lupa," jawabnya pelan, mengambil semua kesalahan.
Mama Diandra mendengus. "Hah, ya sudah. Taruh belanjaannya di dapur dan Valeria, cepat bersiap. Ambil buku dan alat tulis kamu."
Valeria menunduk, mengangguk. Dengan langkah lesu, ia pun meninggalkan ruang tamu. Sementara itu, Kiara membawa tas-tas belanjaan ke dapur. Suasana nyaman yang baru saja mereka rasakan langsung sirna, digantikan oleh ketegangan dan tekanan yang biasa menyelimuti rumah itu.
...****************...
Kiara masih di dapur, ia masih merapikan barang belanjaannya. Ia menata makanan, sayuran, daging, dan lainnya ke dalam kulkas, sementara yang lain ia taruh di rak.
...Hanya ilustrasi gambar....
Tepat saat itu, Diandra datang menghampirinya. Wajahnya terlihat tidak senang.
...Hanya ilustrasi gambar....
"Lain kali jangan seperti ini, Kiara," kata Diandra dengan nada tajam. "Kamu jangan terlalu memanjakan Valeria. Mbak enggak mau hal ini terulang lagi. Besok kalian mending di rumah saja, deh. Enggak usah pergi-pergi kemanapun."
Kiara membenarkan posisi sebotol saus. "Maaf, Mbak," jawabnya pelan. "Kiara cuma ajak Valeria belanja baju, sepatu, sama belanja bulanan. Kita telat karena macet di jalan."
Setelah mengatakan itu, Diandra melangkah keluar dari dapur. Tak lama kemudian, Valeria turun dari kamarnya. Ia sudah rapi dan membawa buku-buku pelajaran. Diandra menoleh dan melihat Valeria. Tatapannya kini beralih dari Kiara, dan matanya mengunci pada putri semata wayangnya.
Diandra menatap Valeria dari ujung kepala hingga kaki. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum. Ia kemudian melangkah ke ruang tamu, valeria mengikuti nya di belakang.
"Valeria, duduk," katanya dengan nada memerintah. "Kamu sudah telat satu jam. Pak Teguh sudah menunggu dari tadi. Habiskan sisa hari ini untuk belajar. Tidak ada alasan."
Valeria menelan ludah. Ia melangkah perlahan ke sofa di seberang ibunya, meletakkan buku dan alat tulisnya di meja. Pak Teguh tersenyum tipis, seolah berusaha mencairkan suasana.
"Baik, kita mulai, ya," kata Pak Teguh. Ia membuka buku fisika dan mulai menjelaskan.
Valeria mengangguk, namun pikirannya masih melayang. Ia melihat Tante Kiara yang baru saja keluar dari dapur, mencuci tangannya.
Pak Teguh memulai les dengan tenang. Suaranya datar, menjelaskan hukum-hukum fisika dan berbagai reaksi kimia. Valeria mengangguk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Pak Teguh. Ia sesekali mencatat di buku tulisnya, berusaha keras untuk terlihat fokus. Mama Diandra duduk di seberang mereka, sesekali menyesap tehnya, matanya terus mengawasi setiap gerak-gerik Valeria.
Namun, pikiran Valeria tidak berada di sana. Pikirannya masih melayang, kembali pada percakapannya dengan Tante Kiara. Ia mengingat senyum lembut sang tante saat memberinya nasihat, dan pengakuan jujurnya tentang Damian yang membuatnya merasa sangat malu dan bingung.
Kepalanya terasa berat. Hati Valeria masih berdebar, bukan karena rumus-rumus fisika, tetapi karena sentuhan di pipinya. Suara Pak Teguh terdengar seperti dengungan jauh yang tidak bisa ia tangkap maknanya.
Pikiran Valeria yang melayang jauh tiba-tiba buyar. Suara Mama Diandra memanggil namanya, terdengar tajam dan dingin.
"Valeria," kata Diandra, membuat Valeria tersentak.
Valeria terkesiap, lalu menatap ibunya. Ia tahu ia ketahuan. Pak Teguh menoleh, menatapnya dengan ekspresi netral.
"Kamu mendengar apa yang Pak Teguh jelaskan barusan?" tanya Diandra, suaranya mengandung nada peringatan.
"Atau kamu hanya duduk di sini, membuang-buang waktu?"
Wajah Valeria memucat. Ia menunduk, tidak berani menatap ibunya.
Valeria menunduk, tidak berani menatap ibunya. "Maaf, Ma," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Diandra hendak membuka mulut, namun Pak Teguh mendahuluinya.
"Valeria, jika kamu tidak bisa fokus untuk belajar hari ini," kata Pak Teguh dengan nada tenang dan profesional. Ia menutup buku fisika di hadapannya. "Kalau begitu, besok saja kita memulai pelajarannya."
Mama Diandra terkejut, menatap Pak Teguh dengan alis terangkat. Alisnya berkerut, jelas tidak senang dengan interupsi itu. Valeria mendongak, menatap gurunya dengan tatapan penuh rasa terima kasih yang disembunyikan.
Diandra menatap Pak Teguh sesaat, sebelum tatapan tajamnya beralih ke Valeria.
Valeria menunduk, tidak berani membalas tatapan ibunya. Ia tahu, tatapan itu menyimpan kekecewaan dan kemarahan. Itu adalah tatapan yang selalu ia takuti. Tatapan yang membuatnya merasa tidak sempurna, tidak cukup baik.
Suasana hening sejenak. Pak Teguh hanya duduk diam, seolah memberi ruang bagi ibu dan anak itu.
Valeria masih menunduk, tidak berani membalas tatapan ibunya. Setelah hening sejenak, ia mengangkat wajahnya dan menatap Pak Teguh dengan sorot mata yang penuh tekad.
"Tidak, Pak," kata Valeria, suaranya pelan namun tegas. "Dilanjutkan saja pelajarannya."
Pak Teguh menatapnya, terkejut dengan jawaban itu. Namun, ia tidak membantah. Sementara itu, Mama Diandra tersenyum tipis. Tatapan tajamnya perlahan melunak, digantikan oleh ekspresi kepuasan.
Valeria membuka kembali buku catatannya. Kali ini, ia mencoba memaksakan dirinya untuk fokus. Namun, ia merasa matanya panas, dan kepalanya terasa semakin berat.
Pak Teguh tersenyum sabar. "Baiklah, Valeria," katanya. "Bapak ingin tanya, sampai mana kamu belajar fisika di sekolah? Atau ada soal atau apa pun yang kamu tidak bisa atau mengerti?"
Valeria menunduk, menatap buku di hadapannya. Ia tahu ia tidak bisa berbohong. Ia terlalu lelah untuk berpura-pura. Lalu ia mengangkat kepalanya.
"Maaf, Pak," kata Valeria, suaranya bergetar. "Sebenarnya saya... tidak bisa fokus hari ini. Saya tidak mengerti banyak hal."
Pak Teguh mengangguk. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terkejut atau kecewa. "Tidak apa-apa, Valeria," katanya dengan nada tenang. "Fisika memang sulit. Kalau begitu, mari kita mulai dari awal. Bab yang mana yang paling kamu tidak mengerti?"
Mama Diandra yang sedari tadi diam, tiba-tiba menggebrak meja dengan cangkir tehnya. Suaranya bergema di ruangan.
"Valeria!" serunya, menatap tajam ke arah putrinya. "Apa maksudmu tidak mengerti? Kamu itu murid kelas 11 IPA! Kamu seharusnya sudah menguasai semua ini!"
Wajah Valeria memucat. Pandangan Pak Teguh yang tadinya tenang kini beralih ke Mama Diandra, ekspresi profesionalnya sedikit menegang.
Pak Teguh menatap Mama Diandra dengan tenang. Ia melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di atas buku.
"Maaf, Bu," kata Pak Teguh dengan nada profesional. "Saya rasa kita harus mengubah pendekatan kita."
Mama Diandra mengerutkan kening. "Maksud Anda?"
"Tekanan seperti ini tidak akan membantu Valeria untuk belajar," jelas Pak Teguh, suaranya tetap tenang. "Ketika seorang murid sudah merasa tertekan, yang ada di pikirannya bukan lagi pelajaran, tapi rasa takut. Jika kita ingin Valeria benar-benar menguasai materi, kita perlu memberinya ruang untuk bernapas."
Valeria menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Tante Kiara, yang menguping dari ambang pintu dapur, menghela napas lega.
Pak Teguh menatap lurus ke arah Diandra, suaranya tegas namun tetap tenang.
"Begini saja, menurut saya pelajaran hari ini tidak bisa dilanjutkan," kata Pak Teguh. "Mengingat Valeria tidak bisa fokus. Dalam belajar, seseorang butuh fokus agar apa yang dipelajari bisa dimengerti, dipahami, dan bisa terserap ke dalam otak. Jika seseorang tidak bisa fokus, pelajaran tidak akan efektif. Saya sarankan kita tunda saja pelajaran hari ini."
Diandra terdiam, matanya melebar karena terkejut. Belum pernah ada guru les yang berani menolak permintaannya secara langsung. Di sisi lain, Valeria menatap Pak Teguh dengan takjub. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berani membela dirinya di hadapan sang ibu.
Pak Teguh menatap Diandra, menunggu jawaban. Ia tidak terburu-buru, memberikan kesan bahwa ia benar-benar peduli dengan keputusan yang diambil.
"Jadi, untuk pelajaran ini, besok kita akan memulainya?" tanya Pak Teguh. "Bagaimana, Bu?"
Diandra mengangguk. Wajahnya yang tegang perlahan mengendur. "Baik, besok jam 10, bagaimana?"
"Saya tidak masalah jam berapa pun," jawab Pak Teguh, menoleh ke arah Valeria yang masih duduk diam. "Tapi, bagaimana dengan kamu, Valeria? Apakah besok kita bisa mulai belajar jam 10 pagi?"
Valeria mendongak, matanya yang lelah kini dipenuhi rasa lega. "Bisa, Pak," jawabnya.
"Baik, kalau begitu saya pamit dulu," kata Pak Teguh. Ia membereskan buku-bukunya dan berdiri. "Sampai besok, Valeria. Bu Diandra."
Setelah Pak Teguh pergi, Mama Diandra kembali menatap putrinya dengan tatapan tajam. Keheningan kembali menyelimuti ruang tamu.
Ia kini menatap putrinya dengan tatapan penuh kekecewaan. Ia berdiri dari sofa, melipat tangan di depan dada.
"Valeria, kamu itu benar-benar ya," katanya, suaranya dingin dan menusuk. "Buat Mama malu! Pak Teguh itu guru les terbaik. Sebenarnya ada apa dengan kamu hari ini, hah?"
Valeria terdiam. Ia menunduk, tidak sanggup menatap ibunya. Rasanya seluruh beban di bahunya kembali. Ketakutan yang selama ini ia rasakan kembali melingkupinya, membuat ia merasa sesak.
" Asal kamu tahu, Valeria," kata Diandra dengan suara tajam, menatap putrinya tanpa berkedip. "Kamu kira guru les yang datang ke mari apa mereka tidak Mama bayar? Mereka Mama bayar, dan bayarannya itu juga mahal. Mama sudah buat jadwal les kamu dan memberikan guru les yang terbaik. Buat apa? Buat kamu. Agar kamu jadi anak yang pintar. Itu juga Mama lakukan untuk masa depan kamu nanti."
Diandra melangkah mendekat, matanya memancarkan amarah. "Selain itu, agar nilai-nilai kamu bisa bagus. Awas saja kalau nilai ulangan kamu nanti jelek!"
Tepat saat itu, Kiara datang menghampiri mereka. Ia melihat wajah Valeria yang sudah pucat dan matanya yang berkaca-kaca.
"Mbak, udah," kata Kiara lembut, mencoba mengintervensi. "Jangan seperti ini. Kasihan Valeria. Mungkin Valeria enggak fokus belajar karena dia capek. Apalagi kita baru pulang. Besok Valeria pasti akan semangat belajarnya, iya kan, Valeria?"
Valeria hanya menunduk dan mengangguk pelan.
Diandra menatap Kiara dengan tatapan dingin. "Ini juga gara-gara kamu, Kiara," tuduhnya. "Kalau kamu enggak ajak Valeria belanja dan tidak sampai sesiang ini, dia enggak akan capek dan dia bisa fokus belajar."
Nada suara Diandra kini berubah menjadi perintah yang mutlak. "Dengar, Kiara. Mulai besok kamu enggak usah ajak Valeria pergi ke mana-mana atau belanja. Tetap di rumah. Kamu mengerti?"
Kiara menunduk, menerima perintah itu. "Mengerti, Mbak," jawabnya pelan.
Setelah mengatakan itu, Diandra melangkah pergi. Ia menaiki tangga dan menuju kamarnya sambil sesekali melirik ke bawah dan menggelengkan kepalanya, seolah menganggap mereka berdua adalah sumber masalah yang tidak ada habisnya.
Ruang tamu terasa sunyi setelah Diandra pergi. Suasana yang tegang masih terasa berat di udara. Valeria menatap kosong ke arah tangga tempat ibunya menghilang, lalu pandangannya beralih pada Tante Kiara yang berdiri tak jauh darinya.
Valeria berjalan mendekat, matanya berkaca-kaca. "Tante..." panggilnya, suaranya bergetar.
Kiara segera merentangkan tangannya, dan Valeria langsung masuk ke pelukan sang tante. Kiara mengusap punggung Valeria dengan lembut.
"Sstt, sudah," bisik Kiara. "Tante tahu kamu capek. Kamu kuat, Sayang."
Valeria menangis dalam pelukan Kiara. Tangisan yang ia tahan seharian penuh. Tangisan karena frustrasi, lelah, dan rasa takut yang tak kunjung hilang.
...Hanya ilustrasi gambar....
Tante Kiara membiarkan Valeria menangis sejenak di pelukannya. Setelah tangisan Valeria mereda, ia melepaskan pelukannya perlahan. Kiara menangkup wajah Valeria, menghapus sisa air mata di pipinya.
"Sudah, ya," katanya lembut. "Jangan dipikirkan lagi. Kamu butuh istirahat. Pergi ke kamar, ganti baju, dan istirahat. Nanti Tante panggil kalau makan malam sudah siap."
Valeria mengangguk. Ia memeluk Tante Kiara sekali lagi, singkat, namun penuh makna. Setelah itu, ia melangkahkan kakinya menuju tangga dan menaiki anak tangga satu per satu dengan lesu.
Tante Kiara melihat Valeria menaiki tangga. Setelah Valeria menghilang dari pandangannya, Kiara menghela napas panjang. Ia melangkahkan kakinya ke dapur.
Tante Kiara tidak langsung membuat makan malam. Ia membuka kulkas, mengambil susu, lalu mengambil bubuk kakao dari rak. Ia akan membuatkan sesuatu yang lebih sederhana, namun penuh makna. Ia akan membuat cokelat panas untuk Valeria.
Suara cangkir yang beradu, aroma cokelat yang mulai menguar, semua terasa begitu menenangkan. Kiara tahu, Valeria butuh lebih dari sekadar nasihat; ia butuh kenyamanan, kehangatan, dan sebuah isyarat sederhana bahwa ia tidak sendiri.
Setelah cokelat panas siap, Tante Kiara menuangkannya ke dalam cangkir kesayangan Valeria. Dengan hati-hati, ia membawanya menuju kamar keponakannya. Tante Kiara perlahan melangkah menuju kamar Valeria. Ia mengetuk pintu, lalu membukanya sedikit.
Pemandangan di dalam membuat hatinya terenyuh. Terlihat Valeria duduk di lantai dekat tempat tidur, memeluk boneka beruang besar yang Damian menangkan untuknya. Wajahnya disembunyikan di balik bulu-bulu boneka itu.
...Hanya ilustrasi gambar....
Dengan hati-hati, Kiara melangkah masuk. Ia meletakkan cangkir cokelat panas di meja kecil di samping tempat tidur. Ia lalu duduk di lantai, menghampiri Valeria.
"Val," panggilnya lembut. Kiara mengusap punggung Valeria. "Kamu kenapa duduk di sini? Kenapa enggak di kasur aja?"
Valeria hanya menggelengkan kepalanya, memeluk boneka itu semakin erat.
"Sudah jangan dipikirkan lagi," kata Kiara. "Ini Tante bawakan cokelat panas. Kamu minum dulu, ya. Pasti lebih enak setelah itu."
Valeria perlahan mendongak. Ia melepaskan pelukannya dari boneka beruang itu, mengambil cangkir cokelat panas yang diulurkan Tante Kiara. Tangannya terasa dingin, namun kehangatan dari cangkir itu menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ia menyesap sedikit, rasanya begitu menenangkan. Kiara tidak memaksa, ia hanya duduk diam di sampingnya, memberikan keheningan yang nyaman.
Valeria menyandarkan kepalanya ke bahu Tante Kiara. Hatinya yang tadi terasa penuh dan sesak, kini perlahan terasa lebih lega.
Dua jam kemudian, Tante Kiara perlahan melepaskan diri dari sandaran Valeria. Ia bangkit, lalu menatap keponakannya dengan senyum lembut.
"Val, Tante tinggal dulu, ya. Tante mau masak untuk makan malam," katanya. "Bibi kan hari ini libur."
Ia mengambil cangkir cokelat panas yang dipegang Valeria dan meletakkannya kembali di meja kecil. "Kamu lebih baik istirahat, tidur. Nanti habiskan cokelatnya, ya. Biar pikiran dan hati kamu tenang."
Valeria hanya mengangguk pelan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia membiarkan Tante Kiara pergi, meninggalkan kamar dan menutup pintu dengan pelan. Valeria kini sendirian, ditemani keheningan dan secangkir cokelat panas yang hangat.
Valeria duduk di pinggir kasur, menyesap cokelat panasnya. Ia meletakkan cangkir itu, kemudian meraih ponselnya. Tidak ada pesan masuk atau panggilan tak terjawab dari siapa pun.
Layar ponselnya yang terang seolah menyoroti kesendirian yang ia rasakan. Ia menghela napas, meletakkan ponsel itu di samping cangkir, dan kembali memeluk boneka beruang dari Damian.
Sementara itu, di kamarnya, Damian memegang ponselnya. Ia mengetik nama Valeria di kolom pencarian kontak. Setelah nama itu muncul, ia terdiam. Ia bingung, ragu apakah harus menghubunginya atau tidak. Ingatan akan tatapan dingin dan sikap Diandra semalam kembali menghantuinya.
...Hanya ilustrasi gambar....
Ia ingin tahu kabar Valeria setelah kejadian itu. Namun, ia tidak mau terlihat lancang, apalagi setelah ancaman dari sang ibu.
Tepat saat itu, ponsel Valeria yang tergeletak di samping cangkir cokelat panasnya berdering. Ia melihat nama Revan di layarnya.
Di kamarnya, Damian akhirnya memutuskan untuk menghubungi Valeria. Namun, ketika panggilannya terhubung, ia hanya mendengar nada sibuk.
Valeria mengangkat panggilan itu. "Halo, Val," sapa Revan dari seberang telepon, suaranya terdengar khawatir.
"Ya, Revan," jawab Valeria, nada suaranya lelah. "Ada apa?"
"Val, lo kenapa? Lo baik-baik aja?" tanya Revan, tanpa basa-basi."
Valeria menghela napas. "Ya, gue baik-baik aja, Van," jawabnya, mencoba meyakinkan, meski suaranya tidak bisa menyembunyikan kelelahan.
"Lo yakin?" tanya Revan, suaranya tidak yakin.
"Ya," jawab Valeria singkat.
"Oke, kalau begitu gue akan ke rumah lo sekarang," kata Revan, suaranya kini terdengar tegas.
"Apa?!" seru Valeria, kaget.
Terdengar suara bip dari telepon, dan panggilan pun terputus.
Valeria menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menatap layar dengan tatapan tak percaya.
"Halo, Revan! Revan!" panggilnya panik, namun tidak ada jawaban. Revan sudah menutup teleponnya. Valeria tahu, Revan akan benar-benar datang ke rumahnya.
"Haduh, gimana ini?!" gumam Valeria panik. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan berlari ke cermin. Ia menatap pantulan dirinya. Matanya terlihat bengkak dan merah.
"Aduh, mata gue... gue harus gimana?!" serunya. Valeria merasa terdesak. Ia tidak bisa membiarkan Revan melihatnya dalam keadaan seperti ini, apalagi sampai Mama Diandra tahu.
...****************...
Sementara itu, di rumahnya, Revan bersiap keluar. Tepat saat ia memegang kunci motor, Daniel, ayahnya, memanggil.
"Revan, kamu mau ke mana, buru-buru gitu?" tanya Daniel.
"Ke rumah Valeria, Pah," jawab Revan.
Daniel tersenyum. "Oh, ya sudah. Hati-hati. Salam sama Kiara dan Diandra, ya."
"Iya, Pah," jawab Revan, lalu ia bergegas keluar.
Keraguan Damian
...****************...
Di sisi lain, Damian masih memegang ponselnya. Ia menatap layar, nama Valeria terpampang jelas di sana. Ia kembali mencoba menghubungi Valeria. Namun, kali ini, tidak ada nada sibuk. Teleponnya tersambung.
Di kamarnya, Damian kembali mencoba menghubungi Valeria. Nada panggil berdering, namun tidak ada jawaban. Ia mencoba lagi. Panggilan kedua, ketiga, namun teleponnya tetap tidak diangkat. Damian menghela napas, frustrasi. Ia menyerah.
Sementara itu, Valeria berada di dalam kamar mandi. Ia tidak mendengar suara ponselnya yang berdering di meja kamar. Di depan cermin, ia membasuh mukanya berulang kali. Matanya masih terlihat bengkak. Valeria kembali membasuhnya, berharap air dingin bisa meredakan jejak air matanya.
Setelah selesai, ia mengeringkannya dengan handuk, lalu keluar dari kamar mandi. Valeria melangkah keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju dapur.
Sesampainya di sana, ia melihat Tante Kiara sedang fokus memfilet daging ayam di meja. Kiara tampak teliti dan hati-hati, sedang menyiapkan bahan untuk membuat stik ayam.
"Tante," panggil Valeria pelan.
Kiara menoleh. "Ya, Val, ada apa?" tanyanya dengan lembut.
Valeria melihat ke arah Tante Kiara yang sedang fokus. "Tante mau buat apa?" tanyanya.
"Stik ayam," jawab Kiara, matanya menatap Valeria lekat-lekat. "Kamu kenapa, hm?
Valeria menunduk, ragu. "Tante, itu..."
"Itu apa?" desak Kiara lembut.
"Revan," bisik Valeria.
Wajah Kiara berubah bingung. "Revan kenapa?"
"Dia mau ke sini sekarang," jawab Valeria, suaranya tercekat.
Kiara terdiam, ia menghentikan gerakannya memfilet ayam. "Apa?!"
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang mereka. "Siapa yang mau ke sini?"
Valeria dan Kiara menoleh ke sumber suara. Mereka melihat Diandra berdiri di ambang pintu dapur, menatap mereka dengan heran.
"Itu, Mbak... Revan," jawab Kiara, ragu.
"Revan?" tanya Diandra, matanya menyipit. "Tumben. Ya sudah, nanti sekalian aja ajak dia buat makan malam bersama di sini."
Kiara terkejut, namun mengangguk. "Iya, Mbak."
"Ya sudah, maaf Mbak enggak bisa bantu masak," kata Diandra, sambil berjalan ke dispenser air, mengambil gelas dan botol minum. "Ada pekerjaan yang harus Mbak urus."
Diandra melirik sekilas ke arah mereka, lalu melangkah kembali ke kamarnya.
Setelah Diandra pergi, Valeria menatap Kiara dengan panik. "Tante, Revan benar-benar mau ke sini!"
Kiara mengambil napas dalam-dalam. "Iya, Tante tahu. Ya sudah, ayo kita cepat-cepat siapkan semuanya."
Valeria mengangguk. "Ya udah, Tante, Valeria bantu."
"Bagus," kata Kiara. "Kamu cuci dan potong sayurannya. Ada wortel, buncis, brokoli, jagung. Setelah itu, kukus.
Goreng kentang. Nanti Tante lanjut fillet, marinasi, dan bakar, terus goreng kentang dan sosis."
"Iya, Tante," jawab Valeria, segera mengambil sayuran dan bergegas ke wastafel.
Mereka berdua bekerja sama dengan cepat dan panik, berusaha menyelesaikan semuanya sebelum Revan benar-benar tiba.
Bersambung.......