Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - Sinyal Terganggu
Reina duduk di pojok kantin sambil menyeruput jus stroberi. Tatapannya terus mengarah pada meja di mana Icha, Albar, Dinda, dan Rio bercanda sambil makan bakso.
Dari jauh, ia bisa melihat betapa santainya Icha dan Albar sekarang. Padahal dulu, hubungan mereka sembunyi-sembunyi.
Kalau begini terus, mereka bakal makin susah dipisahin, pikir Reina.
Ia memutar otak. Kali ini, ia tak mau membuat keributan terang-terangan. Harus dengan cara halus.
Sementara itu, di meja Icha, suasana justru heboh.
“Cha, coba lo lihat ini,” kata Albar sambil menunjukkan layar ponselnya.
Di situ, ada foto Icha yang sedang menguap lebar di kelas.
“Bar! Lo ngapain moto gue pas lagi jelek gitu?”
“Biar tau aja, sumber wifi gue tetep cantik meski sinyalnya lagi sleep mode,” jawab Albar santai.
Rio langsung ngakak. “Sleep mode katanya. Gila lo, Bar.”
Dinda geleng-geleng. “Cha, kalo dia udah mulai pake istilah teknologi, lo udah nggak bisa nolak.”
Icha cuma menunduk sambil tersenyum malu.
Reina memperhatikan momen itu sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Ia lalu berdiri dan melangkah ke arah meja mereka.
“Eh, lagi rame nih,” sapanya dengan nada manis yang terdengar palsu.
Dinda langsung melirik Icha.
“Ngapain lo di sini, Rei?” tanya Rio to the point.
Reina tersenyum lebar. “Santai dong, gue cuma mau ngajakin Albar gabung di lomba band sekolah. Soalnya kita butuh vokalis cowok.”
Albar mengangkat alis. “Lomba band? Tapi bukannya itu udah ada timnya sendiri?”
“Bisa ganti personil kok. Gue denger lo jago nyanyi,” jawab Reina, menatapnya lama.
Icha merasa ada sesuatu yang aneh. Tawaran itu terdengar seperti alasan untuk sering bertemu Albar di luar jam sekolah.
Sepulang sekolah, Icha dan Dinda berjalan menuju parkiran.
“Cha, lo nggak ngerasa aneh? Reina kayak sengaja cari alasan buat deket sama Albar,” kata Dinda sambil memakan es krim.
Icha mendesah. “Gue juga mikir gitu. Tapi… gue nggak mau langsung nuduh. Nanti malah keliatan cemburuan.”
“Ya tapi lo emang cemburu kan?” goda Dinda.
Icha menghela napas panjang. “Sedikit.”
Keesokan harinya, Albar menghampiri Icha di kelas sebelum bel masuk.
“Cha, lo nggak keberatan kan kalo gue ikut lomba band sama Reina?” tanyanya hati-hati.
Icha mengangkat bahu. “Terserah lo, Bar. Asal lo inget siapa sumber wifi lo.”
Albar tersenyum lega. “Tenang aja. Sinyal gue cuma connect ke satu perangkat, dan itu lo.”
Ucapan itu bikin Icha nyaris meleleh.
Namun, di dalam hati, Icha tetap merasa was-was. Apalagi ia tahu Reina bukan tipe cewek yang gampang menyerah.
Beberapa hari kemudian, latihan band mulai dilakukan di ruang musik. Reina terlihat selalu mencari cara untuk memuji Albar.
“Wah, suara lo keren banget, Bar. Cocok banget jadi frontman,” katanya sambil menepuk bahu Albar.
Dari pintu, Icha yang kebetulan lewat hanya bisa menatap pemandangan itu. Dinda yang ada di sebelahnya langsung menahan lengannya.
“Cha, santai. Tarik napas. Dia cuma latihan band.”
“Latihan band sambil mepet-mepet gitu?” bisik Icha kesal.
Malamnya, Albar mengirim pesan.
“Cha, lo tadi ke ruang musik ya?”
“Iya, kebetulan lewat. Kenapa?”
“Gue cuma mau bilang, meski gue di ruangan itu sama Reina, pikiran gue tetep ke lo. Serius.”
Icha membaca pesan itu sambil tersenyum kecil.
Balasnya:
“Oke. Gue percaya. Tapi inget, wifi yang kebanyakan perangkat nyambung bisa lemot.”
Albar langsung membalas dengan emoji tertawa.
“Makanya, gue cuma connect ke lo.”
Reina ternyata tak hanya berhenti di latihan band. Ia mulai membuat story Instagram setiap kali bersama Albar di ruang musik, lengkap dengan caption ambigu seperti ‘Latihan sama partner favorit!’.
Walau tidak secara langsung menyinggung Icha, semua orang yang tahu gosip pasti mengerti siapa yang dimaksud.
Dinda kembali mengomentari. “Dia emang nggak bisa diem, Cha.”
Icha memutuskan untuk tidak bereaksi. “Biarkan aja. Gue percaya sama Albar.”
Meski bibirnya berkata begitu, dadanya tetap berdegup lebih cepat setiap melihat notifikasi story itu.
Suatu sore, saat latihan band selesai, Albar menghampiri Icha di taman sekolah.
“Gue tau lo nggak suka liat gue sama Reina,” katanya tanpa basa-basi.
Icha menunduk. “Bukan nggak suka… cuma nggak nyaman.”
Albar tersenyum lembut. “Oke. Gue janji, lomba ini cuma sebentar. Habis itu, gue nggak akan ambil kerjaan yang bikin lo kepikiran.”
Icha mengangkat wajahnya dan menatapnya lama. “Lo bener-bener bisa janji?”
“Cha,” ujar Albar sambil menunjuk dadanya, “sinyal gue udah di-lock sama lo. Password-nya cuma lo yang tau.”
Icha akhirnya tertawa kecil. “Dasar tukang gombal.”