Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Charlie menunggu Aurora dengan resah. Hampir tiga jam Skala dan Aurora tidak keluar kamar. Dia tidak tau apa yang terjadi di dalam sana. Yang ia takutkan adalah jika Skala bersikap kasar pada Aurora. Entah bagaimana caranya, Charlie tidak bisa mendengar suara apapun dari kamar mereka.
"Skala siallan!" desisnya. Dia mengusap rambutnya dengan frustasi. Berkali-kali dia menengok ke arah luar, berharap Aurora ada di sana. Saat ini Charlie berada di ruang keluarga. TV menyala dia abaikan karena terus memikirkan keadaan Aurora.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar, Charlie menegakkan tubuhnya, dengan cepat dia ke luar ruangan, tapi ternyata, itu bukan Aurora, melainkan pelayan. Wajahnya langsung berubah dingin.
"Ada apa?"
"Di luar ada beberapa orang yang datang, Tuan. Kami tidak tau siapa mereka. Mereka mengaku jika mereka adalah keluarga Nona Aurora," jelas pelayan tersebut. "Bisakah Tuan temui mereka?" pintanya takut-takut.
Tanpa membalas, Charlie segera keluar rumah untuk melihat siapa yang datang. Keluarga Aurora? Tapi kenapa pelayan tidak tau? Oh, atau jangan-jangan...
"Astaga... akhirnya kamu keluar juga! Mommy kesal sekali karena terus diinterogasi oleh mereka." Lythia memeluk Charlie dengan erat dan mencium kedua pipinya.
"Di mana putri Mommy?" tanyanya. Dia melihat ke belakang Charlie, seketika matanya berbinar.
"My Princess, Baby, Honey, Sweetie!" serunya kegirangan.
Mendengar itu, Charlie terkejut dan langsung berbalik. Ia melihat Lythia memeluk Aurora, dan Aurora menyambutnya dengan antusias. Pun Skala begitu, pria itu tersenyum menyambut kedatangan yang lainnya. Mereka bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
"Apa? Kenapa bajiinngan itu bisa tersenyum? Lalu, Aurora?" gumam Charlie. Dia bahkan tidak sadar jika semuanya sudah masuk ke dalam rumah.
Archie yang melihat kembarannya melamun pun segera berjalan menghampiri.
"Wajahmu terlihat jelek jika melamun," ucap pria itu. Ia merangkul Charlie dan mengajaknya masuk ke dalam.
"Archie, Aurora—"
"Kakak!" Gadis mungil itu berlari dan mengambil posisi di tengah-tengah Archie dan Charlie, lalu menggandeng lengan mereka bersamaan.
"Ayo kita makan! Kak Archie pasti lapar, ya? Kenapa tidak kabari aku lebih dulu jika kalian hendak kemari?" Aurora menatap Archie seraya cemberut.
"Kejutan untuk Princess," jawab Archie lalu mencium kening Aurora dengan lembut.
Aurora mendengus geli. "Ya, aku sangat terkejut. Jadi, kejutan nya berhasil," balasnya.
Archie tersenyum tipis mendengarnya. Kini Aurora beralih menatap Charlie yang sedari tadi menatapnya.
"Kak Charlie juga lapar, kan?" Ia mengedipkan matanya berkali-kali dengan lugu.
Charlie mendengus. Dia mencubit hidung Aurora. "Berhenti berpura-pura, Baby," bisiknya.
Aurora tak menanggapi. Dia langsung duduk di sofa, bergabung dengan yang lain. Di atas meja sudah ada berbagai macam makanan dan juga minuman. Pelayan secepat itu menyiapkannya. Matanya melirik Skala yang sedang bicara dengan Thomas, tampak serius.
"Ah iya, Mommy bawakan oleh-oleh untuk kalian." Lythia meminta pelayan untuk membawakan kopernya yang berisi oleh-oleh.
"Mommy benar-benar membawakan oleh-oleh untukku?" tanya Aurora tak percaya. Padahal waktu itu dia hanya bercanda tentang meminta oleh-oleh. Tak disangka Lythia benar-benar membawakan nya.
Lythia mengangguk antusias. "Tentu saja!"
Mereka berdua duduk lesehan di depan meja seraya membongkar isi koper itu. Sedangkan para pria hanya mengawasi dari sofa sambil berbincang. Sedari tadi, Charlie menatap Skala dengan tajam, tapi yang ditatap malah diam saja, seolah tidak sadar akan kehadiran Charlie.
"Besok saya ingin bertemu dengan keluargamu, bisa?" tanya Benjamin pada menantunya.
Skala mengangguk. "Bisa. Nanti saya akan hubungi daddy," jawabnya.
"Dad—"
"Kak Charlie, Kakak suka coklat ini?" Charlie menoleh pada Aurora yang lagi-lagi memotong ucapannya. Dia kesal sekali.
"Diam, Rora. Aku sedang bicara dengan Daddy," ujarnya sedikit kasar.
"Charlie," tegur Thomas.
Tak takut, Charlie malah membalas tatapan kakaknya. "Kenapa? Aku benar, kan? Memotong atau menyela seseorang yang sedang bicara itu tidak baik."
Skala menegakkan tubuhnya. Dia tau jika Charlie akan mengatakan tentang masalahnya dan Aurora. Terutama tentang foto itu.
"Ada apa, Charlie? Kenapa kamu terlihat marah? Tolong bersikap lembut dengan adikmu." Lythia ikut menegur. "Ayo, Sayang. Lebih baik kita bawa semuanya ke kamar saja," ajaknya pula. Dia langsung menyuruh pelayan untuk membawakan semuanya ke kamar tamu.
"Mommy, aku ingin di sini saja," tolak Aurora. Suaranya terdengar lirih. Sesekali dia melirik Charlie. Takut jika kakaknya membocorkan semuanya.
"Pergilah, ikut dengan mommy mu," ujar Benjamin ikut bersuara. Dia yakin ada yang ingin Charlie katakan, dia juga beberapa kali melihat Charlie menatap Skala dengan sinis.
"Daddy..." Aurora menatap Benjamin dengan tatapan memohon.
"Aurora." Skala menatap Aurora yang juga menatapnya, dia mengangguk pelan sebagai kode bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Karena Skala juga menyuruh, pada akhirnya Aurora dan Lythia pindah ke kamar tamu agar lebih leluasa.
"Coklat ini adalah kesukaan Charlie, kamu pasti akan menyukainya juga." Lythia membuka bungkus coklat lalu menyuapkan sepotong coklat pada Aurora.
"Enak?"
Aurora mengangguk cepat. "Enak! Rasanya berbeda dengan coklat di sini," ujarnya. Dia membuka mulutnya kembali, meminta Lythia agar menyuapinya lagi.
Di kamar tamu itu hanya ada mereka berdua. Mereka duduk di sofa dan di atas meja ada berbagai jenis makanan yang Lythia bawa.
"Mommy juga membelikan beberapa pakaian untukmu, nanti kita coba, ya?"
Aurora mengangguk sambil terus mengunyah coklatnya.
Lythia tersenyum karena senang melihat Aurora yang antusias dengan oleh-oleh yang dia bawa. Bahkan gadis itu tidak ragu untuk memakannya dan ingin mencoba semuanya. Inilah yang Lythia inginkan dari dulu, memanjakan putrinya.
Tangannya terulur untuk mengelus rambut Aurora dengan lembut.
"Jika ada sesuatu yang membuat hatimu tidak tenang, katakan pada Mommy, ya, Sayang? Mengadu lah pada Mommy. Jangan menyimpan semuanya sendirian," kata Lythia. Dia masih tidak menyangka jika Aurora sudah tumbuh sebesar ini. Rasanya dia baru melahirkan putrinya itu kemarin. Tak terasa sudah 20 tahun berlalu.
Rasa sedih, kecewa, marah, kini sudah terbayarkan semuanya.
Aurora mengangguk menanggapi ucapan sang mommy. "Iya, Mommy. Terimakasih," ucapnya lalu memeluk Lythia dengan erat.
"Tolong jangan pergi, Rora tidak sekuat itu untuk berdiri sendiri."
Lythia mengangguk cepat, dia mengecup kening Aurora dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Mommy tidak akan meninggalkan Aurora sendirian lagi."
Aurora tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya. Pelukan inilah yang selama ini dia harapkan. Dan Tuhan telah berbaik hati padanya, karena sudah mempertemukan dia dan ibu kandungnya.
"Rora percaya dengan Mommy, kan, Sayang?"
Aurora mengangguk dalam pelukan Lythia. "Iya, Mommy."
"Rora sayang Mommy?" Lagi-lagi Aurora mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau begitu, bisakah Rora ceritakan apa yang terjadi antara Rora dan Skala?"
****
Thomas menarik tubuh Charlie setelah cukup lama memukuli Skala yang hanya pasrah.
"Cukup," ucap Thomas.
"Tidak ada ampunan untuk bajingan ini!" Charlie hendak kembali menghajar Skala.
"Charlie!" Kini Benjamin yang bersuara. Mau tidak mau Charlie harus berhenti.
Keempat pria itu diam menatap Skala dengan datar. Sedangkan Skala mati-matian berusaha berdiri. Demi apapun, pukulan Charlie tidak main-main. Bahkan wajahnya sudah dipenuhi lebam, tubuhnya juga merasakan sakit karena ditendang.
"Apapun alasannya, tindakan kamu tidak bisa dibenarkan, Skala," kata Benjamin. Dia sama marahnya seperti Charlie ketika mendengar penjelasan dari Skala.
Benar, apapun alasannya, tindakan Skala tidak bisa dibenarkan. Dia adalah seorang pewaris dan juga pria beristri. Apa kata orang jika foto-foto itu tersebar? Tapi, ini bukan tentang citra. Tapi tentang perasaan.
Andai saja Thomas atau Benjamin yang memberikan pelajaran pada Skala, mungkin pria itu akan sekarat. Karena tenaga mereka tentu lebih besar dibandingkan Charlie. Sementara Archie hanya duduk santai di sofa sembari menikmati makanan yang disuguhkan oleh pelayan, seolah dia sedang menonton pertunjukan yang menyenangkan. Dia adalah manusia paling santai diantara keempatnya. Namun, dia juga merasakan marah yang sama.
"Jangan diulangi. Ini sebagai peringatan dari kami," ujar Thomas.
"Aku belum puas!" Charlie hendak melangkah mendekati Skala, tapi Thomas lebih dulu mendorong tubuhnya.
"Ku bilang cukup, ya cukup!" sentaknya.
Charlie menatap kesal kakaknya. Dia berdecih dan memilih bergabung dengan Archie.
"Berdiri," ucap Benjamin. Skala yang tadi duduk dengan lemah, kini berusaha berdiri meskipun oleng.
"Obati lukamu."
Skala mengangguk pelan. "Maafkan saya, Mr. Benjamin," ucapnya yang ke lima kali.
"Minta maaf pada putriku," balas Benjamin.
Skala mengangguk pelan. Dia hendak melangkah pergi dari sana, tapi ketika dia berbalik, Skala tertegun. Dia menatap Aurora yang berdiri di tangga terakhir sembari menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Skala..."
bersambung...
lanjuuuut