berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Satya, apa kau mencium bau sesuatu?" Shintia seperti mengendus saat indra penciumannya seperti mencium bau hangus. "Atau, kau memasak?"
Satya menajamkan penciumannya. Tidak, dia tidak sedang memasak. "Satya akan melihat ke luar," ucap Satya seraya bangkit dari duduknya, meletakkan piring makan sang ibu yang masih bersisa ke atas meja dan melangkah keluar dari kamar. Tepat setelah menutup pintu, Satya begitu terkejut karena gorden jendela ruang tamu telah terbakar. la segera berlari ke belakang mengambil air untuk memadamkan api.
Shintia keluar dari kamar karena rasa penasarasnnya, dan saat melihat apa yang terjadi dirinya hanya bisa menutup mulut tak percaya.
Sementara itu akhirnya Satya berhasil memadamkan api. Untung saja dirinya segera keluar melihat keadaan, membuat api yang telah membakar hampir sebagian gorden berhasil ditangani dengan cepat. Jika saja tidak ada orang di rumah, tak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Satya menyeka keringat di dahi di mana nafasnya masih tak terkendali.
"Satya, bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Shintia dengan kecemasan begitu kentara.
Satya hanya diam kemudian melangkah dan membuka pintu. Dugaannya benar, pintunya tidak terkunci. Jadi sudah sangat jelas, kebakaran itu pasti disengaja seorang penyusup. Mengedarkan pandangan ke segala arah, tak ada tanda-tanda orang mencurigakan atau setidaknya jejak yang bisa dijadikannya petunjuk. Kembali menutup pintu, Satya melangkah menghampiri sang ibu yang tampak ketakutan.
"Tidak apa-apa, Bu. Satya akan membereskannya," ucapnya seraya membereskan kekacauan. Mencopot gorden dan membawanya ke belakang kemudian segera kembali menenangkan ibunya. Satya tahu pasti sang ibu sangat khawatir karena ini kali kedua teror terjadi.
Shintia masih berdiri di depan pintu kamarnya, menatap jendela yang tanpa gorden sekarang. Satya pun menghampiri dan membawanya kembali ke kamar untuk beristirahat. Setidaknya agar tak melihat lagi jejak kejahatan si peneror.
Dengan hati-hati Saya membantu Shintia duduk di tepi ranjang. "Sudahlah, ibu jangan terlalu memikirkannya. Semua pasti akan baik-baik saja," ucap Satya berusaha menangkan ibunya.
"Bagaimana ibu tidak memikirkannya, Satya? Lagipula, siapa yang melakukan semua ini? Bukankah selama ini semuanya baik-baik saja?" suara Shintia terdengar bergetar. Ditatapnya Satya dengan wajah tampak jelas menahan tangis. la hanya mengkhawatirkan Satya. Tidak apa jika dia mati, peneror itu membunuhnya, yang ia khawatirkan hanyalah keselamatan Satya.
Satya hanya diam tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dirinya pun bertanya-tanya, siapa dan apa motif teror yang dilakukan padanya.
Keesokan harinya tak seperti biasa, Shintia memilih tetap berada di rumah. Kejadian kebakaran membuatnya semakin waspada walau sebenarnya cukup takut jika sendirian. Tapi ia tak bisa merepotkan Satya melarangnya pergi kuliah.
"Jika ibu takut sendiri, Satya bisa membawa ibu ke tempat yang lebih aman," tawar Satya. Karena saat menawarkan diri agar dirinya tetap di rumah, Shintia melarang dan menyuruhnya tetap pergi uliah. Shintia tak ingin masalah ini mengangu kuliah Satya yang tinggal selangkah lagi. Meski ia sadar, kejadian yang akhir-akhir terjadi pasti sudah mengganggu konsentrasi Satya pada kuliahnya.
"Tidak apa-apa, Satya. Ibu akan tetap di rumah. Ibu tidak ingin terjadi sesuatu pada rumah ini selama kita pergi."
Akhirnya Satya menyerah dan menuruti perintah sang ibu. "Baiklah. Jika terjadi sesuatu segera hubungi Satya," ucapnya kemudian meraih tangan ibunya, mencium punggung tangannya dan segera berangkat.
Shintia masih berdiri di teras kala mobil yang Satya kendarai mulai pergi dari halaman. la harap semua akan baik-baik saja terutama Satya.
Shintia memijit kecil kepalanya yang terasa berat. Pikiran mengenai Yoga juga peneror misterius yang tak diketahui apa motif dan tujuannya membuatnya mengalami tekanan. Meski begitu dirinya berusaha keras menutupi dan bersikap baik-baik saja di depan Satya. Dirinya tak ingin membuat Satya khawatir.
Setelah mobil Satya tak lagi terlihat, Shintia kembali masuk ke dalam rumah. Tepat setelah menutup pintu dan menguncinya lalu berbalik, matanya melebar dengan jantung yang seolah berhenti berdetak.
Di sisi lain, saat ini Satya masih dalam perjalanan. Sejak keluar dari rumah dirinya tak bisa berhenti memikirkan ibunya juga masalah yang terjadi. Saat mobilnya berhenti di lampu merah, diambilnya ponselnya dari saku celana dan menghubungi seseorang. "Halo. Tolong kirimkan dua orang untuk menjaga rumah. Tapi jangan sampai ibu melihat mereka." Setelah mengatakan itu, Satya mematikan sambungan telepon dan kembali fokus pada jalanan.
Belum sempat memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, ponselnya yang bergetar membuatnya mengangkat panggilan. "Ada apa?" tanyanya.
["Kau ada waktu? Aku ingin menunjukkan sesuatu yang kukatakan waktu itu padamu."]
"Nanti siang. Aku akan menghubungimu lagi." Setelah mengatakan itu Satya kembali menutup panggilan tanpa menunggu Jessica kembali membuka suara.
Di tempat Jessica, terlihat dirinya yang menatap ponsel di tangan dengan dengusan samar terdengar. Namun setelahnya perhatiannya teralihkan pada benda di atas meja yang sebelumnya ia sampaikan pada Satya. Tepat di saat itu pintu kamarnya terbuka menunjukkan Olivia yang mulai memasuki kamar. Tatapan Jessica pun memincing tajam, melirik Olivia lewat ekor mata.
"Bagaimana keadaan kakak?" tanya Olivia dengan senyuman ramah.
Jessica hanya diam tak berniat menjawab.
"Oh, ya, aku masak makanan kesukaan kakak, kita makan bersama, yuk," ajak Olivia. Dirinya tak akan menyerah mencari celah agar sang kakak melihatnya, agar hubungan mereka kembali seperti semula.
"Aku tidak lapar." Setelah mengatakan itu Jessica mengambil benda di atas meja dan memasukkannya ke dalam laci lalu bangkit dari duduknya. Tanpa mengatakan apapun lagi ia melangkah menuju kamar mandi dibantu kruk dalam apitan ketiaknya.
Olivia yang melihatnya hendak menolong namun ia sadar, kakaknya itu pasti tak akan sudi. la masih berdiri di sana menatap pintu kamar mandi yang telah tertutup rapat setelah kakaknya masuk ke dalam. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi sendu sampai akhirnya pandangannya mengarah pada laci tempat Jessica menyimpan benda tadi.
Matahari telah berada di atas kepala, dan sesuai janji Satya menghubungi Jessica.
"Di restoran tak jauh dari kampus," ucap Satya setelah Jessica mengangkat panggilan.
["Aku tidak bisa."]
Sebelah alis Satya meninggi dan melirik ponsel yang menempel i telinga. "Apa maksudmu?"
["Benda itu hilang. Aku menaruhnya di laci dan iblis licik itu pasti telah mengambilnya."] Suara Jessica terdengar jelas menanan amaran dan kekesalan.
"Ayahmu?"
["Olivia."]
Satya hanya diam tenggelam dalam pikirannya sendiri.
["Jadi kau harus membantuku merebutnya kembali."]
"Kurasa itu bukan urusanku."
["Tapi dengan itu aku bisa menjebloskan pria licik itu ke polisi! Bukankah ini juga tujuanmu? Dengan begitu dia tidak akan bisa lagi mengganggu hubungan ibu dan ayahmu!"]
Satya menurunkan ponsel dari telinga, menatap layar ponselnya dalam diam kemudian menekan layar mengakhiri panggilan. Entah apa yang ia pikirkan, namun setelahnya terlihat menghubungungi seseorang.