Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Cinta mulai tumbuh masa lalu mulai memperbarui memorinya
Malam turun perlahan di rumah besar keluarga Argantara. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar masuk lewat jendela taman belakang. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya kekuningan di permukaan kaca, menciptakan bayangan panjang yang bergerak lembut di dinding kamar Reghan.
Oma Hartati duduk di kursi rotan di dekat tempat tidur cucunya, mengenakan syal abu tua di bahunya. Arum baru saja keluar setelah membantu Reghan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, perlahan tapi pasti.
“Masih marah pada ayahmu?” tanya Oma pelan, tanpa menatap Reghan.
Reghan menatap langit-langit kamar yang remang. “Bukan cuma marah, Oma. Aku kecewa.”
Suara itu berat, serak, seperti menyimpan bara yang terlalu lama dipendam.
Oma menarik napas panjang.
“Kau terlalu keras pada dirimu, Re. Luka itu belum sembuh … tapi kau malah menutupinya dengan kebencian.”
Reghan tertawa hambar. “Luka ini bukan hanya di tubuhku, Oma. Tapi di sini,” ia menepuk dada pelan.
“Semuanya dimulai sejak malam itu.”
Oma Hartati menunduk, menatap jari-jarinya sendiri.
“Kecelakaan itu…” ucapnya lirih. “Aku masih ingat malam ketika polisi datang membawa kabar. Mobilmu terbalik di tanjakan dekat vila keluarga. Kau koma berbulan-bulan dan begitu sadar, hidupmu berubah.”
Reghan menoleh perlahan, sorot matanya mulai redup.
“Bukan hanya hidupku, Oma. Tapi juga semua yang kuanggap nyata, termasuk dia.”
Oma menatap cucunya, penuh iba.
“Alena?”
Nama itu membuat udara kamar seolah membeku. Reghan memejamkan mata, seperti menahan perih yang lama mengendap.
“Dia janji akan menungguku. Bahkan sebelum operasi, dia berbisik kalau apa pun yang terjadi, dia akan tetap jadi istriku,” suaranya retak di ujung kalimat.
“Tapi ketika aku membuka mata dan mendengar dokter bilang aku tak akan berjalan lagi … dia tak pernah datang. Tak satu pun pesan dan tahu apa yang kudengar beberapa minggu kemudian?”
Oma menatapnya tanpa suara.
“Dia bertunangan dengan Elion.”
Keheningan menyusul kalimat itu. Hanya suara angin yang masuk lewat celah jendela, menggoyang tirai perlahan.
Reghan mengusap wajahnya kasar. “Aku pikir aku bisa memaafkannya, Oma. Tapi malam demi malam, bayangannya selalu datang. Tatapan iba, janji yang hancur, dan senyum yang kini bukan untukku lagi.”
Dia menatap tangannya sendiri yang lemah, lalu menambahkan dengan suara lebih lirih, “Dia tahu kondisiku, dia tahu tubuh ini … sudah rusak. Dan dia pergi bahkan sebelum aku benar-benar bisa belajar menerima semuanya.”
Air mata pelan-pelan menetes di pipi Oma Hartati. Ia menggenggam tangan cucunya dengan lembut.
“Reghan … bukan kau yang rusak. Hanya orang-orang di sekelilingmu yang tidak tahu arti kesetiaan.”
Reghan menatap neneknya lama. Di mata tuanya, ia melihat kasih sayang yang masih bertahan di tengah reruntuhan harga diri yang tersisa.
“Kadang aku berpikir,” ujarnya pelan, “andai malam itu aku tidak selamat … mungkin akan lebih mudah. Aku tidak perlu menanggung semua ini, pengkhianatan, hinaan, bahkan tatapan kasihan dari semua orang di rumah ini.”
Oma menggeleng pelan. “Jangan bicara seperti itu, Re. Tuhan masih punya rencana. Kau masih diberi napas, berarti masih ada sesuatu yang menunggumu.”
Reghan tertawa kecil, getir. “Sesuatu? Atau seseorang?”
Oma hanya diam, tapi pandangannya melirik ke arah pintu kamar yang belum sepenuhnya tertutup. Di balik celah sempit itu, bayangan Arum terlihat samar, dia berdiri diam, menunduk dalam hening. Ia mendengar segalanya tentang luka, tentang pengkhianatan, tentang alasan mengapa Reghan menjadi sedingin itu.
Keesokan paginya, aroma jahe dan bubur ayam hangat memenuhi dapur besar rumah Argantara. Pelayan-pelayan yang biasanya bekerja dengan raut kaku, kali ini tampak sedikit heran melihat Arum berdiri di sana, mengenakan apron sederhana berwarna krem.
Tangannya cekatan mengaduk panci, sementara uap tipis naik, menghangatkan udara yang masih dingin oleh sisa hujan malam tadi.
“Biarkan saya saja, Nyonya Arum,” kata salah satu pelayan, mencoba mengambil alih.
Namun Arum hanya tersenyum lembut. “Tidak apa, aku hanya ingin membuatkan sarapan untuk Tuan Reghan. Kalian bantu siapkan teh hangat saja.”
Semua saling pandang, tapi menuruti perintah itu. Sejak kejadian di meja makan kemarin, kabar tentang nyonya muda yang berani menenangkan Tuan Reghan sudah menyebar ke seluruh rumah. Sebagian kagum, sebagian tak percaya, tapi semua tahu, Arum adalah wanita yang berbeda.
Setengah jam kemudian, Arum mendorong perlahan kursi roda Reghan keluar dari kamarnya. Pria itu tampak baru selesai mandi, mengenakan kemeja putih longgar, rambutnya masih sedikit basah. Tatapannya, seperti biasa, dingin dan menahan jarak.
“Kenapa kau repot-repot?” gumam Reghan pelan, melihat nampan di pangkuan Arum.
“Karena aku ingin,” jawab Arum singkat, namun suaranya lembut. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja kecil di teras belakang.
“Ini hangat, bisa membantu melancarkan peredaran darah.”
Reghan tidak langsung menjawab. Ia menatap mangkuk itu lama, lalu menatap wanita di depannya.
“Semua orang di rumah ini ingin sesuatu dariku,” katanya akhirnya. “Apa yang kau inginkan, Arum?”
Pertanyaan itu membuat Arum terdiam beberapa saat. Angin pagi berembus lembut, menggoyang ujung selendang yang menutupi bahunya.
“Aku hanya ingin menepati tugasku,” katanya perlahan. “Menjadi istri yang baik, dan … mungkin sedikit membuatmu percaya, bahwa tidak semua orang di rumah ini ingin melihatmu jatuh.”
Untuk pertama kalinya, Reghan tidak langsung membalas dengan nada tajam. Ia hanya menunduk, mengambil sendok perlahan, mencoba menelan sesendok bubur yang masih mengepul. Hening mengisi ruang di antara mereka. Tapi hening itu tidak lagi setajam kemarin. Dari balik jendela ruang tengah, sepasang mata memperhatikan mereka.
Wajah cantik Alena menegang saat melihat pemandangan itu. Arum yang berdiri dengan tatapan penuh ketulusan, dan Reghan yang diam-diam membiarkan dirinya dilayani. Alena menggigit bibir bawah, matanya memanas oleh rasa yang tak bisa dijelaskan. Mungkin cemburu, mungkin bersalah, mungkin keduanya. Namun yang jelas, ada bara kecil yang mulai tumbuh di dalam dadanya.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Alena melangkah masuk ke teras, menyapa dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Selamat pagi, Reghan.”
Pria itu hanya menoleh sekilas.
“Pagi.”
Tatapan itu datar, tapi suaranya tidak sekeras dulu. Alena menunduk sedikit, pura-pura memperhatikan makanan di meja. “Aku hanya ingin melihat keadaanmu … kupikir kau masih marah soal kemarin.”
“Tidak perlu,” jawab Reghan dingin. “Kemarahan tidak mengubah apa pun.”
Arum yang berdiri di belakang kursi roda merasa dadanya mengencang tanpa sebab. Saat Alena menunduk lebih dekat, jemarinya hampir menyentuh tangan Reghan, refleks Arum melangkah ke depan, mengambil cangkir teh dari meja.
“Maaf, aku rapikan dulu, takut tumpah.”
Alena menatapnya, senyumnya menipis. “Kau cepat beradaptasi rupanya, Nyonya Reghan.”
Nada itu lembut, tapi dinginnya menusuk seperti pisau. Reghan hanya diam, dia tidak menegur, tidak juga membela. Tapi dalam tatapan matanya yang redup, ada sesuatu yang lain ketegangan yang halus namun nyata.
Ketika Alena akhirnya melangkah pergi, Arum menarik napas panjang. Ia tahu sejak hari itu, hidup di rumah besar itu tak akan mudah. Karena di balik setiap senyum manis dan sapaan lembut, ada dendam, penyesalan, dan cinta lama yang belum mati.
'Rasa cemburu perlahan menyebar, jika sampai nanti aku lelah. Maka tuntun aku jalan untuk pulang pada diriku sendiri, Tuan Reghan.' Bisik Arum dalam hatinya sembari menatap tatapan Reghan yang tak pernah lepas menghapus bayangan Alena yang sudah pergi beberapa detik yang lalu.