NovelToon NovelToon
Kacang Ijo

Kacang Ijo

Status: tamat
Genre:Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:334.1k
Nilai: 4.9
Nama Author: Chika cha

Cover by me

Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.

Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.

Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.

Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.

Lanjut baca langsung disini ya👇

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sejuknya Wudumu, Panasnya Pipiku

Keduanya keluar dari ruangan dan berjalan menuju mobil Abri yang terparkir di bawah pohon tak jauh dari ruang pengajuan. Diam. Sunyi. Tak ada suara selain langkah kaki mereka sendiri.

Namun saat mereka hendak masuk ke dalam mobil, sebuah suara menggema dan menghentikan langkah mereka.

"Tunggu!"

Abri dan Moza menoleh. Abri langsung menghela napas panjang dan memutar bola matanya begitu tahu siapa yang datang. Dico berdiri di sana. Anggota Abri itu berjalan mendekat, tepatnya menuju Moza. Ia bahkan melengos, tak menggubris keberadaan atasannya.

Anggota kampret memang!

Mata Abri sampai mendelik melihat kelakuan anggotanya itu.

"Cepat sekali si kapten su mau bawa pergi saja nona Moza kan Beta belum lihat. Syukur Beta tra terlambat," gerutu Dico pada Abri, lalu menoleh ke Moza dan menampilkan senyum manisnya yang penuh percaya diri. "Dico pria terganteng dari timur," katanya sambil mengulurkan tangan.

Moza sudah akan menyambut baik uluran tangan Dico, namun dengan segera Abri menepis tangan anggotanya itu sebelum Moza benar-benar menjabatnya.

"Mau apa kau di sini?!" bentak Abri tajam.

"Mau apa lagi? Ya kenalan, to," Katanya Dico dengan nada sewot karena tangannya di tepis oleh Abri.

"Kau udah tau namanya untuk apa kenalan lagi?" Tanya Abri dengan raut tak bersahabat.

"Kan Beta cuma tau dia seng punya nama, buka dia tau beta seng punya nama."

Abri memutar bola matanya malas "dia Dico." Katanya tetap berbaik hati memerkenalkan anggota kampretnya itu pada Moza.

"Beta mau kelanan sendiri." tentu Dico tak puas, dia kan mau kenalan sendiri bukan pakai perantara.

Abri memutar bola matanya malas "gak ada waktu ko, saya wakilkan."

Dico berdecak "mana ada kenalan di wakilkan begini kapten!"

Mata Abri mendelik tangannya berkacak pinggang dengan tampang galak. "Udah berani kau ya ko?!" Abri tau Dico begini-begini yang paling hormat padanya walaupun kadang-kadang ya, bikin orang naik pitam juga. Tapi tidak seperti Gilang end the gang yang kelewat kurang ajar padanya.

Seketika Dico menegang di tempat ia menegakkan tubuhnya ketika sadar ia sudah kelewat batas "siap, salah!"

"Push up seratus kali!" Ingat, pangkat Abri lebih tinggi darinya, jadi Abri yang punya kuasa walaupun Dico satu tahun di atasnya, pria timur itu tetap harus tunduk dan patuh pada Abri yang notabenenya seorang atasan.

"Kapt–"

"Melawan kau? Ku tambahi hukumannya!" Peringat Abri. Moza saja sampai meringis di tempat mendengar berapa banyak jumlah hukuman yang Abri lontarkan.

"Bang–" Moza sudah akan membujuk Abri untuk tak memberi hukuman sebanyak itu pada anggotanya, lagian pria itu tidak salah kan? Tapi perkataannya tak bisa ia lontarkan sepenuhnya saat melihat lirikan mematikan Abri, yang lebih menyeramkan dari Hamzah ketika marah. Alhasil ia telan bulat-bulat bujukannya. gadis itu menunduk di tempat, takut malah dia juga nanti yang kena sasaran.

"Heh, sini kau!" Panggil Abri pada salah satu prajurit yang sedang duduk duduk di teras, ekor matanya juga melirik Moza yang tak jadi berbicara. sementara pria yang di panggil Abri itu berlari menghampirinya.

"Siap kapten!"

"Kau awasi dia. Jangan sampai satu angka pun terlewat, kalau gak. Kau juga sama, akan saya hukum!" titah Abri penuh dengan ancaman prajurit yang di suruh untuk mengawasi Dico menjadi ketar-ketir jangan karena kesalahan satu orang dia juga kena getahnya.

"Siap kapten!" Seru pria itu lantang.

"Gak boleh kurang satupun ko, kalau kurang pastikan kau harus ulangi dari awal lagi." kali ini dia memperingati Dico yang sudah mengambil sikap push up, telungkup di atas paving blok.

"Astaga, Bang!"

"Protes? Tambah lima puluh! Ayo, jalan." Abri menarik Moza menjauh, meninggalkan Dico dengan hukumannya.

Seperti perjalanan berangkat tadi, pulangnya pun sunyi. Abri fokus menyetir, wajahnya datar. Moza mencuri-curi pandang, ingin bicara tapi takut karena tadi sebelum mereka pergi pria itu sempat marah-marah.

"Abang... fokus banget nyetirnya," gumam Moza akhirnya, ragu, memecah kesunyian. Gadis itu juga melirik wajah Abri takut-takut yang sudah nampak bersahabat, tapi tetap lempeng tanpa ekspektasi. Astaga, tidak ada kalimat lain apa za yang lebih berbobot dari itu? Moza menalan salivanya susah payah kala Abri menoleh sesaat kearahnya dengan raut kaget, namun setelahnya fokus akan jalanan kembali.

"Hm, saya harus hati-hati, kan? Papi kamu galak." Jawab Abri tanpa menoleh lagi pada Moza.

Moza nyengir kecil, dia tau sekejam apa papinya pada anggotanya, sekalipun itu adalah menantunya atau calon menantunya. Moza yakin tak akan ada sikap pilih kasih yang di berikan Hamzah kalau sampai anak perempuannya pulang dalam keadaan lecet.

"Waktu pertama ketemu perasaan gak dingin begini. Kenapa sekarang jadi beda...?" gumam Moza lirih tanpa sadar. Rautnya juga berubah sendu ia baru menyadari sikap Abri yang sejak menjemputnya sampai pulang tidak seperti sebelum-sebelumnya. Pria ini berubah, atau memang aslinya seperti ini?

"Kamu ngomong apa? Saya kenapa?"

Moza tersentak, matanya membulat kaget dengan kedua tangan menutup mulut. Jangan sampai dia di marahi seperti Dico.

"Ha? Sa-saya gak ngomong apa-apa... om—eh, Bang!" Kepalanya juga turut menggeleng keras. Ia sampai salah menyebutkan panggilan untuk pria itu. Dodol!

Abri menahan tawa kecil. Reaksinya lucu juga.

Hening lagi. Jangankan suara obrolan bahkan suara radio pun tidak ada. Sampai akhirnya,

"Kita mau langsung pulang atau makan dulu? Sudah mau magrib juga," Tiba-tiba saja Abri bertanya ketika mobilnya berhenti tepat di lampu merah, ia tak menatap wajah Moza saat berbicara malah melihat langit yang tadinya biru kini sudah mulai di selimuti senja.

Moza menoleh kaget karena sejak tadi mobil itu hening dan Abri juga cuek bebek saat di ajak bicara jadi ketika pria itu mengajak berbicara lebih dulu rasa Moza syok banget "uh, huh?" Tanyanya tak jelas.

"Kita mau langsung pulang atau makan dulu?" Ulang Abri kali ini ia juga turut menoleh menatap wajah Moza yang nampak menggemaskan karena kaget dengan mata berkedip-kedip lucu.

"Emm..." Gadis itu menggaruk pipinya yang tak gatal "kita pulang aja deh bang... Oza, eh, Moza. Eh, aku, eh sa-saya maksudnya. Lebih suka makan di rumah," Sangking gugupnya Moza malah ngomong belepotan.

Sebenarnya bukan karena Moza lebih suka makan di rumah, tapi semenjak kejadian di mall itu dia jadi takut ke tempat ramai di mana pun itu, bahkan Moza sampai tidak pernah ke studio miliknya sampai saat ini karena masih trauma, ia lebih banyak berdiam diri di rumah.

Abri menatap lekat gadis itu, "oke," setelahnya mengalihkan tatapannya dan menjalankan mobilnya kembali karena lampu sudah hijau.

Keduanya tiba di kediaman keluarga Abraham tepatnya saat adzan magrib selesai berkumandang. Namun Moza tak lekas turun karena sibuk memikirkan sesuatu. Sementara Abri yang melihat gadis di sebelahnya tak bergerak itu mencoba memanggil nama Moza beberapa kali, namun gadis itu masih saja melamun. Ia pun turun dari dalam mobil, membukakan pintu untuk Moza yang tentunya itu membuat Moza sadar dari lamunannya.

"Eh, udah sampai?" Kagetnya melihat rumah megah keluarganya berdiri disana.

"Hm," jawab Abri seadanya "kamu gak mau turun? Atau mau ikut saya lagi ke batalyon?" Tanya Abri karena Moza masih tak kunjung turun dari dalam mobil bahkan setelah di bukakan pintu olehnya.

"Eh, iya... Maaf," Moza memicingkan matanya menahan malu yang melanda.

Saat Abri hendak kembali ke sisi pengemudi, Moza tiba-tiba menarik tangannya.

Grep!

"Em... Itu, Abang gak mau mampir dulu?" Tanyanya dengan raut malu malu. Sebenarnya sejak tadi ia terdiam itu karena Moza sedang menimbang-nimbang untuk mengajak Abri masuk atau tidak ke rumahnya. Moza belum pernah pergi dengan seorang pria wajar ia tak tau harus berbuat apa.

Abri diam. Matanya melirik wajah dan tangan Moza yang masih mencengkeram lengannya. Moza buru-buru melepas cekalannya.

"Eh, maaf, maaf."

Kalau gatel sana za pakai bedak jangan malah pegang pegang, dodol! Buat malu aja!

Moza meringis.

"Udah magrib." Balas Abri.

"Karena udah magrib itu makannya aku tawarin buat mampir. Kata papi gak baik magrib-magrib di jalan."

Abri diam sejenak kemudian setalah itu mengangguk, membenarkan ucapan gadis di hadapannya ini "ya, silahkan kamu duluan. Saya akan ikuti" Abri mempersilahkan Moza melangkah lebih dulu lalu ia membuntuti gadis itu.

jantung Moza sekana bersorak gembira saat mendengar jawaban Abri. Kedua sudut bibirnya tak tahan untuk tak tersenyum.

Begitu masuk rumah mereka di sambut oleh Vira yang tengah menyiapkan makan malam di meja makan. Abri tersenyum ramah pada wanita itu. "Assalamualaikum," salam keduanya secara bersamaan.

"Eh, walaikumsalam. Kalian udah pulang?" Tanya ibu satu anak itu membalas senyum Abri tak kalah ramah.

Moza mengangguk dan tersenyum pada iparnya. Ia celingukan menatap sekeliling "yang lain pada kemana teh?"

Vira meletakkan mangkuk berisi sup di atas meja "papi, a' Julian sama yang lain pada ke masjid. Mami sholat," jelasnya.

Moza mengangguk. Abri ikut tersenyum sopan.

"Emmm. Maaf, saya mau numpang sholat juga boleh?" Tanya Abri dengan sopan. Mengingat mereka tiba di kediaman Hamzah tepat saat magrib dan adzan pun sudah selesai jadi Abri tak mau melewatkan waktunya, mau ke masjid pasti dia sudah ketinggalan lebih baik dia numpang sholat kan?

Moza dan Fira seketika saling tatap "oh, boleh, boleh," ujar Fira antusias "dek, sana tunjukin mushola nya dimana." Lanjut Fira pada iparnya.

"Yuk, Bang. ikuti aku," Moza memandu Abri ke mushola dalam rumah.

Di dalam rumah megah keluarga Hamzah itu sebenarnya ada ruangan mushola khusus untuk tempat ibadah penghuni rumah lainnya atau bahkan kadang di gunakan Sean untuk belajar mengaji dengan guru privatnya. Ukurannya tak besar, juga tak kecil, muatlah untuk sepuluh sampai lima belas orang dengan tempat wudhu kecil yang juga sudah di sediakan di sana.

"Ini bang tempatnya." Beritahu Moza dengan suara kecil, di dalam ruangan ber dinding kaca transparan itu terdapat Clara dan beberapa pekerja rumah yang sedang beribadah juga, Moza sengaja mengecilkan suaranya agar ia tak menganggu mereka yang tengah sholat.

Abri mengangguk, ia menunduk menggulung celana PDL nya sampai betis.

"Kalau gitu saya permisi." Baru juga berbalik akan pergi suara Abri kembali menahannya untuk beranjak.

"kamu gak sholat?"

Moza terdiam sejenak "iya, nanti saya sholat di atas."

"Kenapa gak di sini?" Tunjuknya pada ruang mushola tersebut.

Mata Moza kesana kemari mencari alasan "Saya harus bersih-bersih dulu sebelum beribadah," padahal dia mah males, sholat kalau dong bolong silitnya doang. (⁠◔⁠‿⁠◔⁠)

Abri diam menatap Moza penuh selidik mencari jawaban jika gadis di hadapannya hanya beralasan saja. Namun setelahnya mengangguk ketika melihat wajah menyakinkan Moza. "Saya sholat dulu," beritahunya lalu masuk ke dalam mushola.

Pergerakan pria itu hanya dapat Moza perhatikan dari luar, Moza tak beranjak dari tempatnya saat Abri mulai mengambil wudhu, gerakan pria itu membuat di jantung Moza berdebar, apa lagi saat Abri membasahi beberpa helai anak rambutnya seperti gerakan slow motion di mata Moza dan itu terlihat sangat mempesona, Moza sampai terpaku di tempatnya dan tak bergerak sama sekali ia menikmati debaran hebat yang menggila di dadanya dengan pemandangan manusia yang mungkin masuk dalam kriteria sempurna berbentuk Abri.

"Mbak!" Tepukan di pundak Moza membuatnya tersentak dan menoleh, ternyata salah satu ART nya telah selesai sholat.

"Cie... Cie..." Goda ART itu lagi pada Moza menatap anak majikannya juga pemuda berseragam loreng di dalam yang sedang berwudhu dan ia ketahui sebagai calon suami Moza.

"Apa sih bi rum..." Kata Moza salah tingkah ia tau sang ART menggodanya begitu karena telah berhasil menangkap basah Moza.

ART yang bernama bi Arum itu cekikikan "ih, ih si mbak malah salting. Paham kok bibi mbak paham. Bibi juga pernah muda kok," tambahnya lagi membuat anak majikannya itu kian menuduk malu.

"Liat mbak, mas gantengnya liat kesini," bisik Bi Arum.

Moza menoleh dan benar. Tatapan Abri menembus kaca, tepat ke arahnya.

Debaran di jantung Moza kian tak terkendali, gadis itu lebih dulu memutuskan kotak mata mereka dan segera berlari pergi dari sana. Sementara bi Arum tawanya sudah meledak melihat tingkah Moza. Dan Abri sendiri malah mengernyitkan keningnya bingung melihat Moza yang lari dengan buru-buru pergi dari sana, apa lagi saat melihat Bi Arum masih kekeh di tempatnya. Apa ada yang ia lewatkan?

Bi Arum pun membungkuk sejenak saat Abri menatapnya dan di balas dengan anggukan dan senyum ramah dari Abri lalu setelah itu bi Arum pergi dari sana dengan tawa yang masih mengudara.

Abri mengedikkan bahunya acuh di tempat, lau memulai ibadahnya sebelum waktunya habis.

1
Novie Achadini
ruaaaaarrrr biasa tjor ceritanya bagus bgt
Widayati
makasih thor, akhirnya....
dewi_nie
walah Thor kok Yo langsung di end ae..GK di tamatin GK papa ko'..meski bacanya campur aduk koyok sayur lodeh tp enak🤭
lanjut cerita anak papa saga yg lain ya Thor.
samapi cucu cicitnya🤭💪💪💪🔥🔥🔥
Widayati
melow terus thor, semangat thor jangan patahkan harapku
dewi_nie
ya ampun 😭😭😭keterlaluan kamu Thor bikin ceritanya....nysek tau bacanya..
Memed Adrianto
jalur langit ga ada smbubgan nya thor
Chika cha: ada kak, tapi habis ini ke cokelat susu dulu baru ke jalur langit
total 1 replies
Lala
Thor lanjutkan nopel Coklat susu ya .
Munawaroh Difa
bonusin dong kak chika ,, sampai ank² mereka gede ,,😁🥰
Iril Meity
😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
Tambah dululah ka, jgn end dulu 🤧
💗 AR Althafunisa 💗
Bang Abri jadi papa 😭😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
Alhamdulillah... 😭😭😭😭
💗 AR Althafunisa 💗
😭😭😭😭😭😭😭
Nur Khamidah
bon chap kakak otor, belum perkenalan nama anak ABRI Oza lho
Bun cie
peluk jauh u kak author yg di akhir2 ceritanya mengandung bawang merah😭😭😭
akhir nya happy ending..tamat walaupun sebetulnya masih g rela koq ceoat berakhir.sukses terus ya kak..dinanti karya2 selanjutnya bang aidan yg blm tamat
Bun cie
sedih banget😭 oza kamu g sendiri...
Bun cie
ikut sedih😢 yg kuat oza..abamg g akn ninggalin kamu dan calon debay
Tysa Nuarista
kak yakin kak sampai sini aja kak mereka. kok aku kurang ya kak hihihihi mode ngelunjakk....


makasih kak udah ngasih cerita yg bagus yg bisa menghibur,bisa bikin kita gemes,baper,nangis" ....

aku tunggu Aidan sama Arga nya kak ... 😘😘😘😘
Tysa Nuarista: aasssiiiaap kak 🤗
Chika cha: cus kita meluncur ke Aidan🚀
total 2 replies
syora
anggap aja seeangan fajar thor
super duper pleaseeeee thor nggak pkai bnyakkkk
stu lg dong boncap nya please🙏🙏🙏🙏🙏🙏
syora: insyallah
asal jgn mnta bunga bank aja ya adek maniss
trima kasih sblmnya
maaf apa bila slma karya"nya kita sbgai reading trlalu bnyak nuntut🙏
Chika cha: ku usahakan ya kak. tapi jangan lupa kasih bintang 🌟 dulu ya🙏🏻
total 2 replies
Arieee
udah tamat aja🤧🤧🤧🤧
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!