Kesedihan Rara mencapai puncak hanya dalam waktu satu hari.
Setelah orang tuanya batal menghadiri acara wisudanya, Rara malah mendapati kekasihnya berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
Rara mendapati kenyataan yang lebih buruk saat ia pulang ke tanah air.
Sanggupkah Rara menghadapi semua cobaan ini?
Ig : Poel_Story27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poel Story27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kami Datang Untuk Melamar.
Sean tiba di apartemen Vita, kekasihnya itu menyambut Sean dengan senyuman terbaiknya.
"Ayo masuk!" ajak Vita.
Sean menganggukkan kepala. "Kemana mama dan papa?"
"Mereka sedang pergi belanja, mereka tidak ingin tampil buruk di depan calon besannya nanti malam," sahut Vita.
Sean tersenyum kecut, ia merasa bersalah. Orang tua Vita sudah mempersiapkan segala sesuatu, tapi orang tuanya malah tidak jadi datang.
"Sayang ... maaf sepertinya pertemuan keluarga kita harus ditunda, karena ayah dan ibu ada keperluan yang lebih mendesak," ujar Sean penuh sesal.
"Mengapa ...." Vita tidak melanjutkan perkataannya, ia menghela napas dalam-dalam.
Emosi Vita memang seketika itu akan memuncak, tapi untunglah ia dengan cepat teringat akan semua ambisinya. Vita sadar bisa mengacaukan semuanya jika ia sampai kelepasan.
"Sayang maaf! Aku tidak bermaksud untuk meninggikan suara. Ya sudah jika memang harus ditunda, aku akan menjelaskan pada orang tuaku nanti," ujar Vita berusaha bersikap setulus mungkin.
"Terima kasih, Sayang! Kau selalu pengertian. Itulah yang membuatku semakin mencintaimu," balas Sean terharu, ia pun mengecup kening Vita.
"Sayang ini masih siang, aku harus kembali ke kantor. Aku akan bekerja lebih baik lagi, agar ibu percaya padaku," ujar Sean.
Vita menganggukkan kepala, mereka melakukan french kiss sesaat, sebelum Sean pergi dari apartemen itu.
Misi kedua Sean selesai, Sean berhasil mengulur waktu pertemuan dengan keluarga Vita. Kini tinggal misi terberatnya. Yaitu meyakinkan keluarganya untuk melamar Vita.
***
Apartemen Rara.
Setelah selesai makan malam, mereka tampak bercanda Ria bersama.
"Bi, tolong lihat siapa yang datang," pinta Rara di saat mendengar suara bell apartemennya berbunyi.
"Iya, Non!" Bi Eni melangkah menuju pintu, untuk melihat siapakah yang datang bertamu.
Bi Eni membukakan pintu, tampaklah Brian, Lidya, dan di temani asisten pribadinya di depan pintu.
"Selamat malam, Bi!" sapa Lidya sambil tersenyum.
"Eh, ternyata Nyonya Lidya! Mari silahkan masuk!"
Bi Eni mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu, lalu ia pun kembali ke ruang keluarga untuk menemui Rara.
"Yang datang itu nyonya Lidya, Non! Mereka sudah bibi suruh tunggu di ruang tamu," ujar bi Eni.
"Oma Lidya!" seru Rio yang langsung berlari menuju ruang tamu, tanpa bisa dicegah oleh Rara.
Rara menghela napas, ia segera menyusul Rio, ia takut anaknya itu bersikap kurang sopan kepada tamu.
Rara tiba di ruang tamu, ia melihat Rio sudah bermanja-manjaan dengan Lidya, Rara mengelengkan kepala melihat kelakuan anaknya itu.
"Selamat malam, Om, Tante," sapa Rara seraya duduk di salah satu sofa yang ada di ruang itu.
"Malam juga, Nak!" balas Lidya dan juga Brian.
"Rio nggak boleh gitu, Sayang. Nggak sopan! Sana main sama onty Luna , sama nenek!" suruh Rara yang tidak enak hati melihat kelakuan putranya.
Rio menggelengkan kepala, apalagi Lidya terlihat terus mengajak Rio bercanda.
"Om saya senang sekali atas kerja sama perusahaan kita, apa kedatangan Om dan Tante untuk membahas itu?" tanya Rara.
Rara sebenarnya sudah dapat menebak kemungkinan, bahwa kedatangan orang tua Sean saat ini, dengan tujuan seperti yang dikatakan Sean tadi siang.
"Bukan! Om sudah tidak lagi mengurus masalah pekerjaan, karena anak-anak om sudah dewasa, dan sekarang mereka yang menghandle itu semua. Kedatangan kami adalah untuk menindak lanjuti hubunganmu dengan Sean. Kami datang untuk melamarmu menjadi menantu kami," ujar Brian.
Rara tersenyum tipis, ternyata benar kedatangan orang tua Sean adalah untuk melamarnya.
"Sebentar, Om. Tidak baik bagi Rio untuk mendengar obrolan orang dewasa, dia masih terlalu kecil untuk mendengarkan ini," ucap Rara.
Rara mengalihkan pandangan pada putranya. "Rio ayo ikut, Mama! Rio main sama onty Luna, ya."
Rio tetap menggelengkan kepala, anaknya itu tidak mau nurut kali ini, Rio terlalu senang bertemu dengan Lidya.
"Rio anak baik kan! Jadi ikuti perintah mama, besok-besok Rio main sama oma lagi," bujuk Lidya.
Rio pun mengangguk, meski ada raut kekecewaan di wajahnya. Rio mendekat ke mamanya. Rara mengantar Rio ke belakang untuk menemui Luna.
"Rio main sama onty, ya! Mama lagi ada perlu sama oma itu!" ujar Rara.
Rio mengangguk pasrah, Rara kembali ke ruang tamu untuk menemui keluarga Sean.
Bi Eni datang dengan membawakan minuman untuk tamunya.
"Silahkan diminum, Tuan, Nyonya!" ujar bi Eni sebelum kembali ke belakang.
Rara menghela napasnya, lalu menatap Brian dan Lidya bergantian.
"Om, Tante! Sebelum kita lanjutkan pembicaraan ini, ada yang perlu diluruskan di sini, sesuatu yang tidak diketahui Om dan Tante. Sebenarnya saya dan anaknya Om tidak memiliki hubungan apa-apa! Kami bukan sepasang kekasih, jadi tidak tepat rasanya jika Om mengatakan ingin melamar, tanpa tahu yang sebenarnya," papar Rara.
Rara heran tidak ada reaksi terkejut dari Brian, begitu juga dengan Lidya, raut wajah mereka biasa saja saat mendengar penjelasan Rara.
'Mungkin Sean sudah memberi tahu yang sebenarnya,' batin Rara acuh.
Brian terdiam sesaat, sebelum kembali berkata. "Ya, walaupun kenyataannya seperti itu, kami tetap menginginkanmu sebagai menantu, kami tetap melamarmu dan kami sudah menyiapkan pernikahan kalian, berikut dengan resepsinya."
Rara tercekat, pernikahan? Sudah menyiapkan resepsi? mengapa orang tua Sean sudah bertindak sejauh itu, bahkan sebelum orang tua Sean datang untuk melamar.
Tidak, Rara tidak mau menikah dengan pria sakit jiwa seperti Sean, menikah dengan Sean tidak pernah terlintas di pikiran Rara. Dan orang tua Sean, apa mereka juga tidak waras seperti anaknya, mengapa menyiapkan pernikahan? Sementara mempelainya saja belum jelas.
Rara menghela napas pelan, Rara ingin menghargai orang tua, apalagi mereka keluarga sangat berkuasa, dan Rara juga memiliki hubungan bisnis dengan mereka.
"Tapi maaf, Om, Tante! Saya tidak bisa menerima lamaran itu! Sekali lagi maaf, kalau ini mengecewakan, Om dan Tante! Tapi pernikahan ini memang tidak bisa terjadi," jawab Rara pelan.
"Nak, kedatangan kami ke sini untuk melamarmu secara resmi, bukan untuk menanyakan kau bersedia menjadi menantu kami atau tidak!" ujar Lidya tersenyum menatap calon menantunya itu.
Lidya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya, kotak itu terlihat mewah. Rara tahu itu kotak perhiasan, dan isinya adalah cincin. Sudah pasti isinya adalah cincin, karena kedatangan Lidya bersama suaminya adalah untuk melamar.
Rara mengkerutkan dahi mendengar ucapan Lidya, Lidya berkata seolah Rara tidak punya pilihan. Yang benar saja, Rara punya hak menentukan jalannya sendiri, dan menolak mentah-mentah lamaran mereka.
Rara tidak ingin menyerah kepada keluarga berkuasa ini, tidak peduli apapun resikonya, termasuk kehilangan semua hartanya, jika keluarga Richard tetap memaksakan kehendaknya.
"Sekali lagi saya mohon maaf, Om, Tante! Dengan penuh sesal saya menolak lamaran Om dan Tante," ucap Rara dengan tegas. Namun, tetap dengan bahasa dan nada yang sangat sopan.
"Jef, perlihatkan padanya!" perintah Brian pada asisten pribadinya yang sedari tadi hanya diam saja.
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan like, vote dan komen.
Terima kasih.