"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA IBARAT CLAY
Suasana pagi di Manggala High School terasa riuh. Suara langkah kaki para siswa, tawa kecil, dan dering bel peringatan lima menit sebelum pelajaran pertama bergema di seluruh halaman. Semua murid bergegas menuju kelas masing-masing, kecuali satu orang yakni Athar, sang ketos datar dan dingin.
Di tengah halaman depan, Athar berdiri bersedekap, menatap ke arah gerbang sekolah yang masih terbuka. Tatapannya tajam tapi ada binar iseng di sana, terutama saat ia melihat siluet motor sport yang baru berhenti di depan sekolah.
Dari motor itu, Thalia turun dengan tergesa-gesa, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, masih sempat menenteng paperbag sarapan dari sang bunda.
Athar tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat, senyum yang menandakan satu hal aksi iseng segera dimulai.
“Dion,” panggilnya pelan.
“Ya, Bos?”
“Tutup gerbang.”
Dion yang sedang mengunyah permen karet langsung berhenti.“Loh? Bos, masih ada lima menit lagi, lho. Nggak tega banget..”
Athar menatapnya tajam, tanpa membalas ucapan Dion, Tatapan itu sudah cukup mewakili jika Athar tidak bisa di bantah.
“Oke, oke… tutup, tutup…” Dion langsung membuang permennya dan berjalan ke arah Pak Maman yang menjaga gerbang.
“Pak, tutup dulu, Bos yang nyuruh.”
Pak Maman satpam berwibawa dengan kumis tebal menatap bingung.“Lho, Den Athar… kenapa ditutup? Ini kan masih ada waktu, kasihan anak yang belum masuk.”
Athar hanya menatapnya tanpa ekspresi, kedua tangan tetap di saku.“Peraturan Pak.”
Sementara itu, Thalia baru saja berhenti tepat di depan gerbang yang kini sudah tertutup.
langsung menatap jam tangannya, lalu ke arah sekolah.
“Apa-apaan sih? Ini masih ada lima menit, kenapa gerbangnya ditutup?” gumamnya kesal.
Thalia menoleh ke arah Pak Maman, suaranya naik satu oktaf.“Pak Maman yang tampan dan berwibawa, bukain gerbang dong, plis...Lia mau masuk nih”Nada manjanya sukses bikin Pak Maman kikuk dan menggaruk kepala yang tak gatal.
“Aduh, Nona Thalia… bukan saya yang mutusin, ini Den Athar yang nyuruh ditutup.”
Thalia menatap ke arah halaman, dan benar saja, Athar berdiri di sana, bersedekap, menatapnya dari jauh dengan wajah datar tapi jelas menahan senyum.
Mata mereka bertemu.
“HEH, KETOS TEMBOK!” teriak Thalia dari luar gerbang.
“Bukain! Ini masih ada lima menit, ngapain lo tutup?!”
Athar tetap diam di tempatnya, lalu melangkah pelan mendekati gerbang.
Langkahnya tenang, aura dominannya terasa. Begitu sampai di depan gerbang, ia berkata datar, tapi nadanya seperti sengaja menantang.
“Mau masuk?”
“YA IYALAH!” jawab Thalia ketus, menatapnya dengan tatapan tajam.
Athar mengangkat alis, menunduk sedikit, dan dengan nada rendah namun memancing emosi berkata,
“bilang ‘mohon’ dulu.”Singkatnya
Thalia mendengus, matanya membulat.
“Mohon? Mohon apaan dah?! Emang lo dewa yang bisa ngabulin permohonan gue?”
Dion, Raka, dan Rafi yang menonton dari jauh langsung menunduk menahan tawa.
Raka berbisik pelan,
Doni menatap temannya "Kayaknya si bos sengaja deh, bikin si Thalia terlambat"
“Fix, bos kena virus Thalia.”Rafi menimpali,
“Iya, hobinya sekarang ngehukum cewek itu mulu. Pelanggarannya aja kadang absurd, mungkin ketularan si Thalia.”Ucap Raka
Dion langsung tertawa pelan,“Nggak heran, kalau si Thalia mulai nyolot gini, bos malah makin betah ngelihatnya.”
Dan benar saja Athar masih menatap Thalia tanpa bergeming, sedikit mencondongkan tubuh.“Jadi gimana? mau mohon? "
Thalia menatapnya tak kalah tajam.
“OGAH...ATHAR PUTRA MANGGALA!” serunya lantang hingga beberapa siswa yang lewat menoleh.
“Bukain, nggak?! Awas aja kalo gue telat dan dihukum gara-gara lo! FIX, lo musuh gue mulai hari ini!”
Athar tersenyum kecil, setengah menahan tawa, setengah menikmati amarahnya.
“Terserah.."katanya lirih, sebelum memberi isyarat pada Pak Maman untuk membuka gerbang.
Saat gerbang terbuka dan Thalia melangkah masuk dengan langkah cepat dan ekspresi kesal, Dion berbisik ke Rafi,
“Bos tuh ya… Ada-ada aja kelakuannya.”
“Iya,” sahut Rafi, menahan tawa. “Tapi liat tuh mukanya pas Thalia marah. Ketos dingin itu senyum, bro. Jarang banget.”
Athar melirik Thalia yang berjalan melewatinya sambil mendengus.
Di balik ekspresi datarnya, sudut bibirnya terangkat lagi.“Selamat datang, musuh kecil,” gumamnya pelan.
Tring... Tring,
Bel masuk berbunyi saat Thalia dan Athar sudah duduk di mejanya, dan tak lama Pak Roni datang.
"Pagi anak-anak.. bapak absen dulu ya.. " Setelah menyapa dan mengabsen muridnya.
Pak Roni, mulai berjalan keliling kelas sambil berkata riang,
“Baik, anak-anak, hari ini kita belajar seni rupa, kita akan membentuk clay! Buatlah sesuatu yang bermanfaat ya, boleh vas, gantungan kunci, atau asbak. Bebas, asal jangan abstrak banget ya, nanti saya bingung nilainya.”
Pak Roni mulai berjalan dan membagikan clay ke setiap meja sambil berkata, “Nah, anak-anak, gunakan imajinasimu, bentuk clay ini jadi sesuatu yang bermanfaat, ya.”
Saat clay sampai di meja Thalia dan Athar, Thalia menatap gumpalan tanah liat itu lama, lalu nyeletuk dengan muka serius tapi nada absurd khasnya,
“Pak, clay ini mirip cinta, ya...”
Seluruh kelas langsung menoleh. Pak Roni, agak bingung, bertanya, “Lho, maksudnya bagaimana, Thalia?”
Thalia dengan polos menjawab sambil menekan clay di tangannya,
“Lembek di awal, kalau nggak dijaga bisa retak… tapi kalau dibentuk bareng orang yang tepat, bisa jadi indah. Kalau sama yang salah, jadinya cuma... benjol-benjol nggak jelas, Pak.”
Kelas pun langsung meledak tertawa, Athar sampai hampir menjatuhkan clay-nya, sementara Pak Roni cuma bisa garuk-garuk kepala sambil bilang,“Thalia, kamu ini ngomongnya kayak orang habis patah hati, ya…”
Thalia dengan santai menjawab,
“enggak, Pak. Cuma sering lihat drama Korea aja.”
Seluruh kelas pun kembali bersorak, “Wuuuh Thaliaaa!” diiringi tawa heboh dari semua murid.
Suasana kelas mulai hening. Semua sibuk dengan adonan clay masing-masing.
Cia dan Sasa, yang duduk di depan Thalia, tampak asyik membuat pot bunga kecil warna pastel.
“Lia, kamu mau bikin apa?” tanya Sasa tanpa menoleh.
“Hmm… gantungan kunci, mungkin,” jawab Thalia santai sambil menekan-nekan clay di tangannya.
Athar menatap dari samping, lengan bajunya tergulung, jari-jarinya cekatan membentuk sesuatu yang tampak seperti pisau kecil dari clay, entah ide dari mana.
Beberapa menit berlalu.
Dan tiba-tiba… suara cekikikan mulai terdengar dari bangku sebelah mereka.
Raka menunduk, Rafi menutup mulut, Dion bahkan hampir keselek tawa.
Cia dan Sasa menatap ke arah Thalia, dan langsung membeku lalu meledak tertawa.
“LIA! Itu… itu kamu bikin apa??” tanya Cia sambil menahan perutnya.
Thalia menatap hasil karyanya sendiri, lalu membeku juga. Bentuk clay-nya… yah, bagaimana pun dipandang, susah menyangkal kalau itu mirip alat vital pria.
Warna naturalnya nggak membantu sama sekali.
“APAAN NIH!?” seru Thalia panik, pipinya memanas.
“Gue cuma asal bentuk! Gue kira ini kayak… botol mini…”
Athar yang di sebelahnya mencondongkan badan, bibirnya menyungging senyum setan.
Dengan suara rendah dan nada jahil, ia berbisik,
“lo bayangin punya gue, ya?”
Thalia langsung menoleh cepat, menatap Athar dengan mata membulat lebar.
“Enak aja!! NGGAK YA!”
Athar menahan tawa, wajahnya santai tapi matanya jelas menikmati ekspresi panik Thalia.
“Oh? tau bentuknya kan?” godanya lagi dengan nada rendah tapi jelas terdengar oleh geng sebelah yang sudah mulai menahan tawa keras-keras.
Thalia mendengus, wajahnya merah padam tapi tetap balas lirih,“Ya gak tau lah! Emang gue pernah liat?!”
Athar tersenyum miring, menatapnya lekat-lekat.“Mau lihat, gue tunjukin.”Ucap Athar memegang celananya.
Thalia melotot melihat yang akan di lakukan Athar. “ATHAR PUTRA MANGGALA!” suara Thalia meledak spontan, membuat seluruh kelas menoleh.
Pak Roni yang sedang menilai karya Cia langsung terkejut,
“Lho! Kenapa, Thalia?!”
Thalia cepat-cepat menutupi wajah dan menjawab gugup,“Enggak, Pak… ini… clay saya nempel… susah dilepas.”
Athar hampir tertawa tapi menahannya, berpura-pura sibuk membentuk clay di tangannya. Raka dan Rafi di belakang sudah tertunduk menepuk-nepuk meja sambil terbatuk pura-pura biar nggak ketahuan mereka juga denger.
Pak Roni cuma mengangguk polos,
“Oh, kalau susah lepas nanti dibantu pakai air ya. Lanjutkan dan jangan ribut-ribut lagi.”
Begitu guru menjauh, Thalia menatap Athar tajam dengan ekspresi maut.“Lo ya! Kalau gak ingat ini kelas, sumpah udah gue timpuk clay ini ke muka lo!”
Athar tersenyum datar tapi sudut bibirnya terangkat lagi.“Lo lucu kalau marah”
“BODO!” seru Thalia, melempar serpihan clay kecil ke arah Athar.
Athar hanya menangkis dengan senyum kecil, dan dalam hati, ia menikmati setiap detik kekacauan kecil yang dibuat gadis itu.