Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. NYAMAN
Gadis itu berdiri di depan meja dapur, mengenakan sweater putih dan apron bergambar kelinci kecil di sudutnya, pemberian Elias. Rambut cokelatnya digelung asal, beberapa helai jatuh di leher. Ia sibuk memotong wortel dengan ritme ringan, sambil bersenandung pelan lagu yang entah dari mana asalnya.
Lampu dapur membuat kulitnya tampak lembut seperti porselen, dan untuk sesaat, semua bayangan gelap yang menempel di benak Elias seolah lenyap.
Ia bersandar di pintu, hanya mengamati tanpa suara. Pemandangan yang selalu candu untuk Elias lihat.
Ruby menatap mangkuk besar di depannya, mencicip sedikit saus dressing dengan sendok kayu, lalu tersenyum puas pada dirinya sendiri.
"Hmm, perfect," ucap Ruby seolah puas dengan salad yang dibuatnya.
Elias tidak menahan senyum tipis yang akhirnya muncul di wajahnya. Lega akhirnya mendengar Ruby, tanpa ketakutan, tanpa canggung di rumah ini.
"Membuat makanan kelinci lagi, Bunny?" ujar Elias dengan senyum mengejek di wajah.
Ruby menoleh, seolah baru menyadari kehadirannya. "Oh! Elias, kau sudah pulang!" katanya dengan nada riang, sedikit gugup tapi tulus. "Aku baru saja selesai bikin salad. Mau coba?"
Elias menatapnya beberapa detik, sebelum menjawab pelan, "Aku pikir aku hanya akan melihat, tapi sepertinya aku tak punya alasan untuk menolak."
Ruby tersenyum, memindahkan sebagian salad ke mangkuk kecil dan menyerahkannya. "Aku tambahkan ekstra wortel karena aku tahu kau suka yang renyah. Jangan salahkan aku kalau ini terlalu manis."
"Apa kau ingin menjadikanku kelinci sepertimu? Sejak kapan aku suka dengan wortel, huh?" ujar Elias.
"Terima saja, biar kau tahu bagaimana enaknya wortel itu," kata Ruby yang tetap memberikan banyak wortel ke mangkuk untuk Elias.
Elias menerima mangkuk itu, tapi bukan saladnya yang ia nikmati pertama kali, melainkan pemandangan di depannya. Gadis itu yang kini tampak begitu tenang, begitu nyata, begitu hidup.
Rasanya semua ketegangan di dada yang menumpuk sejak pagi mendadak luluh seperti kabut disapu matahari.
Ia mencicip saladnya perlahan. "Besok kau harus membuat Raven makan makanan kelincimu ini. Jangan hanya siksa aku dengan wortel-wortelmu ini, Bunny."
"Berhentilah mengejekku dan saladku atau aku akan ubah isi kulkas menjadi sayuran semua," ancam Ruby yang jelas tidak menakutkan sama sekali.
"Oh, silahkan. Aku bisa pesan makanan dari luar," balas Elias tak mau kalah.
"Dasar pria tua menyebalkan," cibir Ruby sebal.
Elias tertawa mendengar ucapan kesal Ruby, seakan hal itu membuat harinya semakin lebih baik setelah kekacauan yang terjadi. Jadi bagaimana mungkin gadis yang memberikan Elias rada tenang di tengah gemparnya dunia harus sampai terluka? Tidak akan, Elias tidak akan sudi.
Ruby menatapnya, matanya menyendu. "Kau kelihatan lelah. Ada sesuatu yang terjadi di kantor?"
Elias menatap wajah gadis itu beberapa saat kemudian menggeleng pelan. "Tidak ada yang tidak bisa kutangani. Mungkin aku hanya kurang istirhat akhir-akhir ini. Ayahmu terlalu berbuat ulah."
"Benarkah?" Ruby mencondongkan kepala sedikit, seolah mencoba membaca sesuatu dari matanya. "Kau yakin? Kau yakin kau baik-baik saja? Aku tidak mau tiba-tiba melihat kau pingsan di ruang tengah nanti."
Elias hanya tersenyum samar. "Sekarang aku yakin."
Ruby memiringkan kepala, tidak mengerti maksudnya, tapi tidak bertanya lagi. Ia kembali ke saladnya, menambahkan daun mint kecil di atasnya. "Kau tahu, aku selalu suka membuat salad ketika gugup. Kau mungkin bisa melakukan sesuatu yang membuatmu aman dan nyaman. Seperti membaca buku atau jalan-jalan."
Elias terdiam. Kata-kata itu menembus lebih dalam dari yang Ruby sadari. "Kau perhatian sekali."
"Aku tidak perhatian, aku hanya khawatir tiba-tiba kau kejang-kejang dan disangka kerasukan karena terlalu lelah. Atau mungkin itu lebih baik, jadi aku punya alasan menyirammu atau menarik kakimu. Atau mungkin aku biarkan saja jadi kau akan kejang-kejang lalu kehilangan nyawa dan aku bisa menguasai rumah ini," canda sang gadis dengan tawa khas penjahat yang dibuat-buat. Drama kecil yang dibuat Ruby.
"Kau diam-diam punya jiwa psikopat, ya. Aku sepertinya harus berhati-hati agar aku tidak menjadi korban dari gadis kelinci yang membunuh dengan wortelnya," balas Elias.
Ruby mengerutkan dahi. "Jujur saja, kapan kau akan berhenti melihatku seperti kelinci."
"Sampai kau kehilangan minat dengan wortel?" ejek Elias.
"Itu artinya selamanya kau tidak akan berhenti dengan ejekan kelincimu itu!" seru Ruby dengan sedikit menggebrak meja.
Tawa Elias kembali memenuhi ruangan. Entah kenapa membuat Ruby marah justru kesenangan untuk dirinya. Mungkin karena gadis itu mudah sekali marah karena hal kecil dan juga dia ... menggemaskan saat marah.
"Berhenti menatapku seperti itu atau kucolok matamu dengan garpu ini," tukas Ruby yang pastinya hanya sekedar kata, tidak mungkin gadis itu sampai berani melakukannya.
Elias menatap gadis itu; lembut, tulus, dengan sedikit ketakutan yang masih tersisa di tepi pandangannya. Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Elias merasa dadanya tak sesak lagi. Namun ia menjadi sering takut sekarang kalau-kalau gadis satu ini akan terluka, terutama saat Elias tidak ada di dekatnya.
"Apa?" tuntut Ruby ketika mendapati Elias terus menatapnya.
Elias menunduk, menyentuh kepalanya perlahan. "Kau aman, Ruby. Selama aku di sini, kau selalu aman. Jangan khawatirkan apa pun," katanya.
"Kau bicara seolah pahlawan, kau tidak cocok. Kau lebih cocok menjadi penjahatnya yang membuat keonaran," canda Ruby.
Elias tertawa kecil, lembut. "Aku bukan pahlawan. Tapi sepertinya menjadi penjahat bukan sesuatu yang buruk untuk dilakukan sekarang."
"Huh?"
"Lupakan. Otak kelincimu itu tidak akan sanggup memikirkan apa yang otakku pikirkan," kata Elias dengan senyum mengejeknya.
Ruby menatap tajam Elias seraya mengarahkan garpu ke arah sang pria seolah memberikan peringatan untuk Elias agar berhenti mengejek Ruby.
Keheningan indah mengisi dapur sesaat. Elias dengan senyum di wajah melanjutkan makan salad buatan Ruby
Hanya bunyi sendok dan pisau yang bersentuhan, aroma sayuran segar, dan cahaya hangat yang membuat ruangan itu terasa seperti dunia kecil yang terpisah dari kekacauan di luar.
Ruby mengangkat mangkuk besar ke meja makan, lalu menatap Elias dengan ekspresi puas. "Lihat? Tidak perlu bom, tidak perlu perang dunia, cuma wortel dan daun selada sudah cukup bikin dunia terasa damai."
Elias menatapnya lama, tersenyum samar. "Kau benar, Bunny."
"Bunny lagi?" Ruby kembali melemparkan tatapan tajamnya yang sia-sia itu.
"Ya, Bunny," kata Elias, masih dengan nada lembut itu. "Karena hanya kau yang bisa membuat salad wortel seperti itu dengan ekspresi penuh semangat."
"Diam atau kucincang kau," ancam Ruby.
"Kelinciku yang lucu dan menggemaskan sekarang berubah menjadi kelinci psikopat. Aku sedih," ucap Elias dengan gaya dramatis.
Ruby mengomel lebih keras kali ini, dan Elias hanya tersenyum, senyum yang tulus, jujur, dan mungkin satu-satunya hal yang menahan dirinya untuk tidak kembali ke kegelapan yang menunggunya di luar dinding rumah itu.
Untuk malam itu, Elias Spencer bukan pria yang dikejar dendam, bukan CEO yang sedang memerangi korupsi dan kebusukan. Ia hanya seorang pria yang pulang ke rumah, melihat gadis yang ia lindungi membuat salad kesukaannya, dan merasa dunia, untuk sesaat, berhenti berputar terlalu cepat
Walau Elias harus menghadapi kenyataan nantinya bahwa orang misterius yang ia kenal lama, justru adalah orang yang paling dekat dengannya.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya