NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 - Sepasang Merpati

Di dalam kereta yang melaju menuju, suara roda kayu berpadu dengan denting lembut perhiasan Kencana yang bergetar setiap kali kereta berguncang.

“Ayah,” suara Kencana terdengar kesal, “Kenapa aku harus membantu anak lusuh itu?”

Jagatpati tidak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, memperhatikan sawah dan ladang yang berganti menjadi jalan berbatu.

“Bodoh,” katanya pelan, tapi cukup untuk membuat Kencana menegakkan tubuhnya.

“Itu cara terbaik untuk menarik simpati di saat ini. Semua mata sedang memperhatikan Puspa. Siapa pun yang tampak bersikap manis padanya akan dianggap berhati mulia.”

“Tapi aku harus mengajarinya, Ayah!” sergah Kencana. “Harus duduk di sampingnya, harus berpura-pura ramah, dan membiarkan dia dekat dengan Kakang Wira… Aku tak sudi!”

Suara tamparan tiba-tiba terdengar nyaring di dalam kereta.

Kencana terdiam, pipinya memerah.

Jagatpati menatapnya tajam.

“Dengar baik-baik,” ucapnya dingin.

“Kandidat terkuat penerus tahta saat ini adalah Suraghana dan Wirabuana. Tahun depan, ketika ujian pangeran di Kadewaguruan diumumkan, segalanya akan ditentukan. Dan aku ingin kau—” ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun menjadi bisikan tajam, “—menjadi calon Prameswari. Bukan gadis manja yang sibuk memikirkan cinta.”

Kencana menatap ayahnya tanpa berkedip. Di dadanya, sesuatu bergetar antara takut dan bimbang.

“Jadi… bisa saja aku harus merayu Kakang Suraghana? Karena bisa jadi beliau yang naik tahta?”

“Tentu saja.” Jagatpati tersenyum kecil.

Kencana menelan ludah. “Dan kalau… kalau ternyata Kakang Wira yang terpilih dalam ujian nanti? Bukankah… ada Puspa di sisinya, Ayah?”

Jagatpati bersandar pada sandaran kursinya.

“Maka gadis desa itu,” ujarnya pelan, “tidak akan punya tempat di istana ini.”

Udara di ruangan seketika menegang. Kencana menunduk, jari-jarinya saling menggenggam erat.

Ia takut pada ayahnya,

tapi lebih takut lagi pada bayangan kehilangan Wirabuana, lelaki yang diam-diam ia cintai sejak masa kanak-kanak.

...Taman Istana...

Angin menyatu dengan dedaunan, menggugurkan bunga-bunga tanjung perlahan.

Beberapa kelopaknya menempel di bahu Puspa.

Wira menatapnya sambil tersenyum kecil.

Namun senyum itu perlahan memudar ketika Puspa menoleh dengan ekspresi serius.

“Sebenarnya…” suaranya pelan tapi jelas, “aku ingin marah padamu, Wira.”

“Marah?” Wira mengerutkan kening, separuh bingung. “Padaku? Apa salahku?”

Puspa menunduk sejenak. Jemarinya menyentuh lembut kelopak bunga yang jatuh di pangkuannya.

“Kau berbohong lagi…” katanya lirih.

“Dulu kau bilang, karena Ayahanda adalah Raja pertama Galuh, maka sebelum menjadi raja, Ayahanda dan Ibunda Ratu hanyalah orang biasa.”

Wira menatapnya, kali ini sedikit panik, seperti anak kecil yang ketahuan menyembunyikan sesuatu.

“Tapi…” lanjut Puspa, kini menatapnya lagi, matanya jernih tapi tajam.

“Tadi Paman Jagatpati bilang kalau Ayahanda Raja dan dirinya adalah anak Raja Kandiawan, cucu Raja Putra Suraliman, dan keturunan langsung Raja Maha Guru Manikmaya.”

Nada suaranya bahkan meniru gaya bicara Jagatpati, membuat kalimat itu terdengar penuh wibawa, dan sindiran kecil.

Wira tertegun sesaat… lalu tiba-tiba tertawa kecil.

“Ah… bukan maksudku berbohong,” katanya sambil menunduk.

“Aku hanya… tidak ingin kau merasa tidak nyaman. Lagi pula—” ia berhenti sejenak, menatap wajah Puspa,

“setelah bertemu Ayah dan Ibuku… bagaimana pendapatmu?”

Puspa tersenyum lembut. “Mereka berdua sangat baik,” jawabnya tanpa ragu.

“Nah,” Wira tersenyum lega. “Kau sendiri yang menilai. Kalau sejak awal kukatakan semuanya, aku takut kau malah menjadi kaku dan bingung bersikap.”

Puspa menatapnya sebentar, lalu terkekeh pelan.

“Kalau begitu, kau memang pandai menenangkan orang… sekaligus pandai menyembunyikan sesuatu.” ujarnya pura-pura marah.

Wira meringis kecil, memegangi bahunya. “Aduh… tangan dan punggungku sepertinya terluka karena pukulan Kakang Waja,” katanya sambil bersandar manja di bahu Puspa.

“Mana yang sakit?” Puspa menoleh panik. Ia melihat lebam di lengan Wira, dahi berkerut prihatin.

“Kalian memang… kalau berlatih seserius itu?” tanyanya pelan sambil mengeluarkan cupu kecil dari lipatan kainnya. Dengan hati-hati, ia mengoleskan ramuan berwarna kehijauan ke kulit Wira.

“Kalau tidak serius, kita akan kaget di medan perang nanti,” jawab Wira lirih, menatap wajah Puspa yang begitu dekat.

“Aku tak ingin ada perang,” bisik Puspa.

“Tapi kita harus tetap siap…,” Wira sempat terdiam, lalu menatap cupu kecil di tangan Puspa. “Itu… apa yang kau oleskan?”

Puspa tersenyum kecil, matanya masih menatap lengan Wira yang memar.

“Ini tumbukan daun, bagus untuk luka mu,” ujarnya lembut. “Aku meraciknya sebelum berangkat ke sini. Lebam dan memarnya akan cepat memudar.”

Wira menatapnya tanpa berkedip. Ada rasa kagum yang tidak ia sembunyikan lagi.

“Puspa…” suaranya merendah, nyaris seperti bisikan. “Mari kita menikah segera. Kita bisa tinggal di wilayahku, jauh dari istana.”

Puspa Wira lama, mencoba memastikan apakah kata-kata itu sungguh ia dengar.

“Wira…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris bergetar, “Ayahanda Raja dan Ibunda Ratu menaruh harapan besar pada ketiga putranya. Dan kau… salah satu putra beliau, bukan?”

Wira terdiam. Pandangannya menunduk, jari-jarinya menggenggam rumput di sampingnya.

Hening sejenak di antara mereka, hanya suara gemericik air pancuran taman yang terdengar samar.

“Bukankah kalian ingin membuat Galuh mencapai kemakmuran?” lanjut Puspa, suaranya tenang.

Wira menghela napas dalam. “Tapi sudah ada Kakang Sempakwaja dan Suraghana. Mereka lebih layak. Aku hanya…” ia berhenti sejenak, lalu menatap Puspa kembali, “aku hanya ingin hidup sederhana bersamamu.”

Puspa memindahkan kelopak bunga tanjung yang ia kumpulkan ke atas batu di dekat kolam. Airnya memantulkan wajahnya sendiri di antara cahaya sore.

“Wira…” suaranya lembut, “aku juga ingin begitu. Hidup sederhana.... Tapi sejak aku tahu kau seorang pangeran… bukankah arah tujuan cinta kita juga akan berubah?”

Wira menatapnya. “Kalau semua ini membuatmu tak nyaman...Puspa… kau tak perlu memaksakan diri.”

Puspa menatapnya Wira dengan sorot mata yang teduh. “Aku? Bagaimana mungkin aku tak nyaman, Wira… selama kau ada di sisiku. Tak ada yang membuatku takut…”

Ia berhenti sejenak, menarik napas pelan. “Selain satu hal.”

Wira mencondongkan tubuh sedikit. “Selain satu hal apa?”

“Selain hal-hal yang kau sembunyikan....Kira-kira apa lagi yang kau sembunyikan dariku?” Puspa menatapnya tajam, tapi suaranya tetap lembut. “Kau pangeran, Ayahandamu Raja, Ibunda Ratu seorang bangsawan besar… apa lagi yang belum kuketahui?”

Wira tergelak kecil. “Tidak ada lagi, Puspa. Sungguh. Memangnya apa yang kau pikirkan?”

Puspa menyipitkan mata, pura-pura menahan senyum. “Gadis lain, mungkin?”

Wira menepuk dadanya dramatis. “Aaa… itu tidak mungkin! Tanya saja pada Kakang Sempakwaja dan Suraghana, mereka akan jadi saksi, aku tak sempat menoleh pada gadis manapun selama ini.”

Puspa menyipitkan mata penuh selidik. “Masa pangeran ketiga tidak pernah jatuh cinta?”

Wira memegang tangan Puspa. “Sungguh… aku memang sering bertemu banyak putri di kedaton, dari berbagai kadipaten.”

Puspa mengangkat alis, separuh tersenyum. “Benar kan, jadi memang ada?”

“Dengarkan aku dulu, Puspa,” ucap Wira, mendekat setapak, suaranya lembut tapi tegas. “Semua putri itu… tapi hanya satu yang membuat dadaku berdebar, hanya satu yang membuatku lupa waktu. Kamu...”

Tatapan mereka bertemu. Puspa diam, tapi matanya tak berpaling. Wira mengulurkan tangan, menyentuh lembut ujung jemari Puspa.

Tepat saat jarak di antara mereka nyaris hilang, Puspa cepat-cepat menunduk, pipinya memerah.

“Wira…” bisiknya, suaranya bergetar halus, “apakah… buah mangga itu boleh dipetik?”

Wira mengikuti arah pandangnya. Di ujung taman, sebatang pohon mangga tumbuh rindang, daunnya berkilau terkena sinar matahari sore.

“Tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum. “Kau mau?”

Puspa mengangguk kecil, sedikit malu. “Sejak kemarin aku meliriknya… tapi aku takut. Kalau di hutan, semua buah bisa kupanjat sesuka hati. Tapi disini bisa-bisa aku dicambuk oleh guru.”

Wira tertawa kecil, menatap wajah Puspa yang merona. Lalu melangkah ringan menuju pohon itu, tangannya terulur, memetik satu buah yang tampak paling ranum, kulitnya menguning keemasan, berbau harum.

Puspa menatap penuh antusias saat Wira mulai mengupas buah mangga di tangannya. Aroma manisnya segera memenuhi udara.

Wira menatapnya sambil tersenyum kecil.

“Padahal, kau bisa saja meminta embanmu mengambilkan apa pun yang kau mau, Puspa.”

Puspa menggeleng cepat. “Aku tidak enak hati menyuruh-nyuruh orang yang lebih tua. Mereka pasti sudah cukup repot menjagaku.”

Wira tertawa pelan, lalu mencubit lembut pipinya.

“Lalu… apa gunanya embanmu itu, kalau tidak boleh disuruh?” katanya menggoda, sembari memberikan sepotong mangga yang baru dikupas.

Puspa menerimanya dengan kedua tangan, menggigit pelan. Matanya langsung berbinar.

“Manis sekali,” ujarnya sambil tersenyum malu.

Dua buah mangga sudah habis disantap. Kulitnya tersisa di atas batu, sementara tawa kecil mereka masih menggema di antara pohon-pohon taman istana.

Tanpa terasa, bayangan pepohonan mulai memanjang, matahari condong ke barat, menciptakan warna keemasan yang membungkus keduanya dalam cahaya hangat sore hari.

Puspa menatap langit, menyipit menahan silau, lalu tertawa kecil.

“Kita… lupa waktu, Wira.”

Wira hanya tersenyum. “Kalau setiap lupa waktu seindah ini, aku rela.”

Namun sebelum Puspa sempat membalas, langkah berat terdengar dari arah jalan setapak taman.

Sempakwaja muncul beriringan dengan Suraghana. Senyum lebar menghiasi keduanya.

“Nah, ternyata dua merpati kita lepas di sini, Kakang,” ujar Sempakwaja sambil menahan tawa.

Wira menoleh cepat, sementara Puspa langsung menunduk, menahan malu.

“Salam hormat, Pangeran,” ucap Puspa sopan, membungkuk pelan.

Suraghana menggeleng lembut.

“Ah… panggil kami kakang saja, Puspa. Tak perlu terlalu resmi. Tidak akan ada yang menghukummu”

Sempakwaja menimpali cepat dengan nada bercanda, “Benar Puspa, nah kalau yang sebenarnya punya tugas resmi tapi lupa... Kira-kira..."

Wira menepuk dahinya, wajahnya seketika berubah panik.

“Duh, para Dewa… aku lupa latihan sore dengan para prajurit!” serunya kaget, membuat Puspa spontan tertawa.

“Sudah tugasmu sehari-hari dan kau lupa?” goda Puspa sambil menatap geli. “Wah, aku tidak mau lagi bermain denganmu?”

Suraghana terkekeh pelan. “Tenang saja, Wira. Latihan sudah diambil alih oleh Sempakwaja. Justru kami kemari untuk sedikit bersantai.”

Sempakwaja langsung menepuk dadanya dengan gaya bangga.

“Benar! Aku bahkan sudah memastikan mereka tidak lari dari latihan, meski tanpa kehadiranmu, Wira.”

Ia menatap meja batu tempat kulit mangga berserakan, lalu tersenyum nakal.

“Sebagai ucapan terima kasih, Wira… kupaskan kami mangga juga. Kami kan sudah bekerja keras menggantikanmu. aaaaaa... ” Sempakwaja membuka mulut lebar-lebar seperti anak kecil minta disuapi.

Puspa tak kuasa menahan tawa.

Wira menghela napas panjang, menatap dua kakaknya dengan wajah pasrah, tapi senyum tak lepas dari bibirnya.

“Baiklah, kalian menang. Tapi harus petik sendiri, aku tak mau disuruh lagi.”

“Setuju!” seru Suraghana riang. “Jadi, setelah ini aku akan menghadap Ayahanda dan bilang kalau sore ini Wira.....”

“Baik-baik, Kakang!” potong Wira cepat, wajahnya berubaH panik. “Akan kupetikkan, akan kukupas, sampai kalian bosan!”

Puspa menutup mulutnya, menahan tawa.

Wira pun melangkah ke pohon mangga, berusaha menarik dahan yang rendah. Beberapa buah yang ranum jatuh begitu saja.

pluk!

satu di antaranya tepat mengenai kepalanya.

“Aduh…” Wira meringis, mengusap kepalanya yang berdenyut. Tapi sebelum sempat berkata lagi, sesuatu yang berat menghantamnya.

Bukan mangga.

Melainkan buku tebal.

“Wis—Wisnu! Kamu ngigau ya? Subuh-subuh cekikikan sendiri. Kukira hantu!” suara Rendi menggema samar di telinganya.

Wisnu membuka mata mendadak, kepalanya masih berdenyut. Di sampingnya, Rendi sudah tengkurap lagi, buku yang tadi dilempar kini tergeletak di dada Wisnu.

“Ah… mimpi itu berakhir lagi,” desis Wisnu pelan. Ia melirik ke samping kalung zamrud itu masih tergeletak di dekat bantalnya.

1
SENJA
wakaaka pasti bingunglah kamu ga masuk dalam mimpi 🤣
SENJA
naaah ga jelas kan ini cowok! usir nay! tuman nih orang ga tau malu! 🥴😤
SENJA
ck ... jangan lemah hati oiii ga bener itu orang 😤
SENJA
ahhh payah lu cemen! balas dulu penderitaan puspa! ratain kadipaten jagatpati 😳
Naniksay Nay: bentar kak..... nanti aja rata2innya🤣.....
total 1 replies
SENJA
terserah apa citamu tapi balas dulu kematian puspa! jagatpati harus mati jugalah
SENJA
hukum semua harusnya yang ada di kadipaten itu wira 😳
SENJA
jadi tempat puspa dibakar itu ibu kota kadipaten atau ibu kota galuh? lupa aku 😂 wilayah jagatpati ya?
SENJA
kamu harus tindak tegas itu jagatpati, ga beres ini 😤
SENJA
wilayah yang suram 🥱 kalau di jepang di jaman feodal juga mungkin ini wilayah Shinbata Katsuie yang kaku dan kejam 🥴 beda dengan wilayah Kinoshita Tokichiro yang bebas lepas apa adanya 😂
SENJA
naaah iya harus tegas! mau wilayah jagatpati kek kalau ga beres yah tegur 😌🥱
SENJA
sekarang jagatpati lagi keblinger 😂😂😂
SENJA
di wilayah sunda mungkin gelarnya rakeyan jadinya, kalau di jateng jatim dan wilayah lain rakai atau rakryan yah 🤔
Naniksay Nay: Tergantung pada literatur yang dibaca kak
Sejauh yang saya tahu, “Rakryan” dan “Rakeyan” merupakan dua bentuk ejaan yang sama-sama merujuk pada gelar kebangsawanan di Kerajaan Sunda.
Namun, “Rakryan” lebih sering digunakan dalam sumber-sumber historis, sedangkan “Rakeyan” kadang muncul dalam konteks yang lebih umum atau sebagai bagian dari nama tokoh tertentu.
Gelar tersebut digunakan di kerajaan-kerajaan Jawa dan Sunda pada masa lampau
total 1 replies
Naniksay Nay
🤭diawasi pun licin kaya belut kak🙏
SENJA
naaah ini harus extra pengawasannya 🤭😂
SENJA
daaaan ada kencana si ular beludak 😌
SENJA
kaya reels gitu yah di otak langsung 🤭
SENJA
kaya kamu nay 😁
Yoseph Kun
balik lah guys. puspa mau dibakar... dia wanita. bukan singkong 🤣🤣🤣
Naniksay Nay: 🤭bentar bara api nya belom besar
total 1 replies
Yoseph Kun
di ajak ketemu puspa beneran. malah pilih ketemu puspa di mimpi. wisnu wisnu
SENJA
sama... nayla juga liat 🥱
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!