Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 Acara Sudah di Depan Mata
Keesokan harinya di kediaman Arman Wicaksono, angin berhembus lembut. Membuat pepohonan bergoyang pelan, bunga-bunga bermekaran indah mengeluarkan semerbak wangi yang menenangkan.
Di halaman rumah, sebuah mobil mewah telah terparkir rapi, beberapa art tampak memasukkan barang-barang yang akan dibawa ke dalam bagasi mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Perjalanan yang cukup jauh membuat mereka harus bersiap dari waktu subuh. Alin berdiri lalu berputar berulang kali di depan cermin. Kali ini ia memakai gamis panjang yang dibalut dengan hijab pashmina, membuat kadar manis nya bertambah.
Begitu pula sang ibu, yang juga menggunakan gamis dan hijab panjangnya. Sementara pak Arman ia berdiri dengan mengenakan jas yang bermodelkan pakaian muslim. Begitu pula dengan sang asisten yang telah rapih dengan pakaian formalnya.
Hal ini guna menghormati peraturan pesantren yang mengharuskan menggunakan pakaian sopan saat masuk ke lingkungan pesantren.
Tepat pukul setengah tujuh, akhirnya persiapan telah selesai. Supir telah bersiap di sebelah pintu mobil, Alin dan kedua orang tuanya tampak menuruni tangga. Langkah mereka pelan namun tegas, berjalan bersama menuju mobil.
Namun baru saja mereka melangkahkan kaki di halaman, sesosok wanita membuat mereka saling berpandangan sebentar. Ia berdiri dngan wajah berseri, tubuh dibalut gamis dan hijab pashmina.
Dia Mika sahabat Maya, ditangannya dua kantong paper bag tersampir. "Halo semuanya, saya gak telat kan," Ucapnya penuh percaya diri.
Pak Arman mengerutkan kedua alisnya, lalu memandang Alin yang kini tengah tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang putih.
Alin buru-buru menghampiri Mika, lalu merangkul bahunya. "Kak Mika beneran mau ikut? Alin kira kemarin kakak bercanda doang," bisiknya pelan.
Mika menoleh ke arah Alin," Ya ampun, bisa-bisanya ya lo anggep gue bercanda! gue kan mau ketemu soulmate gue, kebetulan gue gak ada tugas kuliah."
Pak Arman melangkah mendekat, dibelakang nya buk Rani tampak mengikuti. "Alin, siapa yang mengajak anak ini?"
Alin tampak gelagapan, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tapi sebelum dia menjawab Mika lebih dulu bersuara. "Hehe maaf ya om, saya itu kan sahabat nya Maya, jadi saya mau ikut kebetulan kemarin Alin bilang katanya kalau mau ikut gak papa kok,"ucapnya polos.
Pak Arman menatap Alin dengan wajah datar, Alin yang kehabisan ide langsung menarik tangan Mika untuk masuk kedalam mobil. "Ah, kayaknya ini udah waktunya berangkat deh, pah ayo nanti sosialisasi papah bisa telat loh," ia tersenyum kikuk.
Denis menatap pak Arman, "Benar pak, kita bisa telat jika tidak segera berangkat."
Alin mengagguk cepat lalu segera masuk kedalam mobil, begitu pula mika dan buk Rani. Mereka duduk di bangku belakang dengan tenang. Denis segera ikut masuk, diikuti oleh pak Arman dengan wajah tegasnya.
Kini mereka mulai melanjutkan perjalanan menuju pesantren. Mobil melaju melewati berbagai tempat dang bangunan. Hiruk pikuk kota telah menjadi tontonan setiap harinya.
Alin dan Mika sesekali bercanda di jok belakang, disambut tawa kecil dari buk Rani. Berbeda dengan pak Arman ia justru tengah sibuk membicarakan bahan sosialisasinya dengan sang asisten.
Langit tampak bersinar terang, seolah merestui perjalanan kali ini. Jalanan pun terbilang tidak begitu ramai, hingga mobil bisa melaju dengan tenang. Jalanan kota dengan suasana riuh, menjadi pemandangan yang menemani sepanjang perjalanan.
...****************...
Di sisi lain, pesantren Nurul Hikmah tengah dalam keadaan sibuk. Berulang kali beberapa Ustadz dan ustadzah memeriksa setiap dekorasi. Memastikan semuanya dalam keadaan baik.
Panggung kecil di tengah aula di hias sedemikian rupa, meja kecil tersampir di sudutnya. Banner dengan tulisan besar dan indah telah terpasang kokoh. Bunga-bunga hiasan memperindah setiap sudut panggung.
Karpet dan tikar telah dibentangkan, beberapa sofa juga tampak teronggok rapi di beberapa tempat. Karena sosialisasi kali ini bersifat umum, para tamu nya bukan hanya para santri dan santriwati tapi juga warga sekitar. Para pemangku adat dan perangkat desa, seperti sebelum-sebelumnya pak Arman memang selalu memberikan sedikit santunan untuk warga sekitar di sela-sela sosialisasi nya.
Selain acara sosialisasi, sebenarnya ada acara lain yakni silaturahmi dan juga syukuran kecil atas kesembuhan kiai Bahar. Walau begitu para tamu juga baru mendapatkan informasi nya setelah undangan disebarkan.
Kiai Bahar dan Ustadzah Uhaira tampak tersenyum tipis melihat dekorasi yang sederhana namun indah itu. Hasil kreatif dari para santri dan santriwati nya, Azzam tampak berdiri di atas panggung.
Ditemani beberapa Ustadz dan santri lainnya, mereka tengah memeriksa sound system agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Wajah tampan nya itu, tampak tersenyum puas saat melihat hasil akhir dekorasi.
Dari sudut panggung beberapa pemain rebana dan musik islami tampak menaiki panggung. Mereka lalu duduk dengan rapi membuat pola yang simetris. Nadia dan Bila juga menaiki panggung mereka berdua kali ini sebagai pelantun sholawat. Keduanya tampak cantik dan anggun, Nadia berulang kali tersenyum manis.
Matanya melirik diam-diam ke arah Azzam yang tengah berdiri di sudut lain. Ia tersenyum kecil, menatap penuh kagum ke arah sosok tampan itu. Azzam yang merasa diperhatikan hanya melirik sekilas lalu tersenyum tipis, sebelum akhirnya berjalan menuruni panggung.
Nadia cukup kesal akan hal itu, Azzam sama sekali tidak menunjukkan wajah terpesonanya. Padahal ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk tampil secantik mungkin.
Sementara disekitarnya justru para laki-laki menatap diam-diam kearahnya. Membuatnya seketika memutar bola matanya malas, lalu kembali fokus dengan sholawat yang akan dilantunkan.
Namun sebelum itu ia sempat melirik ke arah Rita dan Putri yang tengah berdiri di dekat pintu aula. Nadia mengagguk kecil seolah memberikan isyarat, Rita dan Putri yang mengerti langsung tersenyum tipis sembari mengangguk pelan.
Ditangannya sebuah botol kecil yang mencurigakan tampak digenggam erat.
......................
Sementara itu di tempat lain Maya tampak baru saja selesai berlatih lagi. Ia berulang kali membaca teks pembawa acara lalu menghafalkan nada-nada tilawahnya. Wajahnya telah dipoles make up sederhana yang tipis, hijab pashmina dengan gamis panjang menjadi penampilan nya kali ini.
Sinta,Zahra, Rara dan Dewi tampak menghampiri Maya. Mereka datang dengan pakaian senada, semuanya tampak tersenyum manis.
"Halooo bintang pesantren!!! gimana? udah siap tampil belum," Rara merangkul bahu Maya pelan.
"Of course dong, masa iya seorang bintang pesantren ini gak siap hanya untuk tampil di depan banyak mata, tenang aja gue pasti bisa," Maya berkacak pinggang sembari menaik turunkan alisnya.
Dewi ikut merangkul bahu Maya, "Iya dong lo harus bisa buktikan ke dunia kalo lo itu adalah the real bintang yang paling bersinar, oh iya lo udah liat ustad Azzam belum?."
Sinta dan Zahra saling berpandangan lalu tersenyum tipis. " Belum tuh, kenapa emangnya? gue kan lagi fokus jadi siswi yang paling aduhai disini," Maya mengibaskan hijabnya dengan gaya ala drama queen nya.
"Ngga aduhai juga dong Maya, minimal paling berpengaruh gitu," Zahra menimpali.
Maya mencebikkan bibirnya, "Aduh udah deh, kenapa si jadi bahas ustadz satu itu."
Rara berbisik pelan, "Pokoknya kalau kamu liat dia secara langsung, terkhusus hari ini ustadz Azzam mirip banget pangeran dari kayangan tau."
Semuanya mengagguk sembari membayangkan wajah ustadz idolanya itu. "duhh, kalian ini ya, Ustadz paling nyebelin seantero pesantren itu jadi mirip pangeran? Lucu banget haha!!, kalau gitu kayaknya gue cocok jadi bidadari nya deh," ucap Maya acuh tak acuh.
Teman-temannya saling berpandangan sembari tertawa kecil, namun seketika tawa itu redup saat suara seseorang terdengar dari arah belakang mereka.
"...sepertinya bidadarinya sudah turun dari langit, ya?”
Sontak keempat gadis itu langsung menoleh bersamaan. Suara berat tapi lembut itu begitu khas suara yang sudah tak asing bagi semua santriwati di pesantren Nurul Hikmah.
Maya yang tadinya masih bercanda kini langsung terpaku. Matanya membulat kecil, napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Di sana, berdiri sosok yang baru saja jadi bahan obrolannya...Ustadz Azzam.
.
.
✨️ Bersambung ✨️