NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bangkitnya tawa tajam

Di saat pedang sudah mulai diayunkan, orang tersebut berusaha menghindar kemudian berlari sekuat tenaga yang dia miliki.

“Jangan kabur, dasar sialan, kamu tidak akan bisa lolos dari sini!” teriak orang yang tadi hendak memenggalnya.

Meski dirinya terus dikejar, orang tersebut tetap berlari dengan sekuat tenaga hingga semakin dekat dengan Arga.

Saat tubuhnya melewati rumah kosong tempat Arga berdiri, ia menatap Arga sekilas.

Arga sempat terpaku ketika tatapan singkat itu menghampirinya. Sepasang mata dari balik topeng hitam menyalakan api yang aneh—campuran antara harapan dan peringatan. Tatapan itu seperti pesan tanpa kata, seakan berkata: “Jangan ikut campur, atau bersiaplah terbawa arus.”

Nafas orang itu makin tersengal, langkahnya goyah, tapi ia tetap memaksa tubuhnya melaju. Darah segar mulai menetes dari sela jari yang menekan perutnya, meninggalkan jejak di sepanjang jalan gelap.

Gerombolan pria yang mengejar pun semakin dekat. Suara langkah sepatu mereka menghentak keras, disertai teriakan penuh amarah.

“Cepat tangkap dia! Jangan sampai kabur lagi!”

Arga menggenggam erat koper usangnya.

Dadanya berdegup kencang, pikirannya bimbang. Ia bisa saja berbalik dan pergi, berpura-pura tidak melihat. Tapi setiap langkah orang bertopeng itu justru mendekatkannya pada posisi Arga.

Dan pada momen berikutnya—orang itu tersandung tepat di depan Arga. Tubuhnya jatuh keras, wajahnya terangkat menatap Arga sekali lagi. Kali ini lebih dekat, lebih jelas, lebih… putus asa.

“Tol—long…,” suaranya parau, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat hati Arga bergetar.

Gerombolan pria sudah hanya berjarak beberapa meter. Pedang dan senjata tajam berkilat di bawah cahaya bulan.

Arga menghela napas panjang, tatapannya berubah tajam. Dalam batinnya ia bergumam, “Aku baru saja kehilangan rumah… sekarang bahkan ketenangan pun tidak diberikan padaku.”

Merasa masih ada waktu untuk menyembunyikan orang tersebut dari kejaran kelompok itu, Arga dengan cepat berlari lalu menarik tubuh orang bertopeng yang sudah tersungkur di depannya.

“Kamu mau bawa aku ke mana?” bisik orang tersebut, suaranya berat karena luka.

Arga hanya menatap sekilas tanpa menjawab, lalu segera menariknya masuk ke dalam rumah kosong terdekat. Nafas keduanya saling bertaut, tergesa namun penuh kewaspadaan.

Begitu berhasil masuk, Arga menutup pintu rapat-rapat. Tangannya bergetar namun cepat, mencari sesuatu di sekitar untuk memperkuat pintu. Ia menemukan sepotong kayu besar yang tergeletak, lalu segera menyelipkannya sebagai pengganjal.

“Kayu itu tidak akan bisa menahan mereka,” ucap orang bertopeng, menatap Arga dengan sorot mata tajam meski tubuhnya masih lemah.

Arga tidak menanggapi. Rahangnya mengeras, dan ia terus berusaha menahan pintu dengan kayu seadanya. Baginya, setiap detik berharga.

Tak lama kemudian, dari arah luar terdengar suara teriakan lantang disertai dentuman keras ketika pintu mulai digedor.

“Buka pintunya, dasar pengecut!” teriak salah satu dari gerombolan pria.

Gedoran semakin keras, kayu penahan bergetar hebat. Debu beterbangan dari kusen pintu yang rapuh.

Arga menoleh sekilas ke arah orang bertopeng. “Kalau mereka sampai berhasil masuk, apa yang akan terjadi denganmu?” tanyanya datar, meski jelas sorot matanya serius.

Orang bertopeng itu terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. Suaranya lirih, namun mengandung beban berat.

“Kalau mereka berhasil… bukan hanya aku. Kamu juga akan ikut terlibat, dan nyawa kita sama-sama jadi taruhannya.”

Pintu kembali digedor, kali ini lebih keras, retakan mulai terlihat di bagian kusen. Suara tawa kasar dari luar menyusup ke dalam rumah, membuat suasana makin mencekam.

Arga mengepalkan tangannya, lalu menarik napas dalam. Dalam batinnya ia bergumam, “Sepertinya aku tidak bisa terus diam.”

Keadaan orang yang memakai topeng kian melemah. Nafasnya makin berat, gerakan tangannya yang sejak tadi memeluk koper hitam pun terlepas perlahan. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya benar-benar terpejam. Tubuhnya jatuh tergeletak di lantai berdebu dengan suara pelan.

“Bangun! Jangan pingsan dalam keadaan seperti ini,” ucap Arga cepat sambil menggoyang tubuh orang tersebut.

Namun, bukan rasa panik yang mendorongnya, melainkan rasa curiga. Arga ingin memastikan apakah orang itu sungguh-sungguh pingsan… atau hanya pura-pura demi menguji dirinya.

Setelah beberapa detik tak ada reaksi, Arga menunduk. Jemarinya menyentuh leher orang tersebut, mencari denyut nadi. Lalu ia mendekatkan telinganya ke hidungnya, memastikan ada hembusan napas.

“Ternyata dia memang benar pingsan…” ucap Arga pelan, nadanya kini lebih pasti.

Tatapan polosnya berubah drastis—sorot matanya kini tajam, dingin, dan bibirnya melengkung dengan senyum tipis penuh kepuasan.

“Baik,” gumamnya lirih, berdiri tegak. “Kamu lebih baik istirahat dulu… soal masalah, biar aku yang urus.”

Arga menatap koper usangnya di sudut ruangan. Pandangannya sempat berhenti, seolah teringat betapa koper itu adalah satu-satunya peninggalan dari pengusiran hina tadi. Ia melangkah pelan, lalu meraih koper tersebut. Dari dalamnya ia mengeluarkan satu potong baju yang kusut.

Dengan gerakan mantap, Arga mengikatkan baju itu ke wajahnya, menutupi sebagian besar muka.

Dari luar, gedoran pintu semakin keras. Suara kayu yang ditahan mulai retak, disertai teriakan kasar.

“Cepat keluar, dasar pengecut! Atau kami bakar rumah ini sekalian!”

Arga berdiri tegak di tengah ruangan, wajahnya kini tersembunyi di balik kain. Tangannya mengepal, sorot matanya membara. Ia menoleh sebentar ke arah orang bertopeng yang pingsan di lantai, lalu kembali menatap pintu yang terus diguncang.

“Kalau memang takdirnya begini… biar aku hadapi mereka sekarang.”

Dalam keadaan siap, wajahnya sudah tertutup kain, Arga melangkah maju mendekati pintu yang hampir terbuka paksa.

Tubuhnya tegap, leher diputar perlahan hingga berbunyi, otot-otot yang kaku diregangkan. Gerakannya seperti binatang buas yang bersiap menerkam.

“Mungkin malam ini, waktunya aku untuk melakukan pemanasan,” gumam Arga, sambil menarik kaki kanannya ke belakang, penuh keyakinan.

BRRAKK!

Pintu itu terhempas keluar akibat tendangan kerasnya. Kayu tebal itu melayang dan menghantam beberapa orang yang sebelumnya mencoba menerobos masuk.

“Ap—apa yang terjadi?! Siapa yang berani melakukan ini?!” teriak mereka panik, saling melirik dengan wajah terkejut.

Dari dalam ruangan gelap, terdengar suara berat yang menekan suasana.

“Aku… yang melakukannya.”

Semua mata tertuju ke arah kegelapan. Minimnya cahaya membuat mereka tak bisa jelas melihat siapa yang bersembunyi di dalam sana.

“Kalau berani, sini hadapi kami!” bentak salah satu orang sambil mengacungkan pedangnya.

Hening sejenak. Lalu—

HA HA HA HA!

Suara tawa berat menggema dari dalam, bukan tawa biasa, tapi tawa orang yang haus pertarungan, haus darah, dan penuh kebuasan.

“Sialan, jangan pikir kami takut dengan tawamu itu!” ucap salah seorang pria sambil mengacungkan pedang ke arah gelap di dalam ruangan.

Dengan langkah penuh percaya diri, pria itu melangkah masuk menembus malam.

Bayangan tembok dan pintu tua menganga, menyisakan udara dingin yang berhembus.

“Hati-hati, di sana gelap,” bisik salah satu kawannya memberi peringatan.

Namun pria itu mengibaskan tangan, tidak mau ambil pusing. “Aku berani, tidak seperti kalian yang hanya bisa bersembunyi di belakang.”

Tatapannya tajam menyapu ruangan. Suara lantang kembali keluar dari mulutnya.

“Siapapun yang ada di dalam, jangan salahkan aku jika kau akan kubuat mati!”

Dari dalam kegelapan, terdengar suara berat yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Coba buktikan omonganmu itu.” Suara itu milik Arga.

Tubuh pria itu refleks menegang. Meski sebelumnya penuh percaya diri, kini langkahnya melambat. Pedangnya digenggam lebih erat. Ia menoleh ke segala arah, waspada akan kemungkinan serangan mendadak.

Cahaya bulan yang menembus celah atap membuat bayangan bergerak di lantai berdebu. Dan di sana, tepat di depannya, berdiri sosok Arga. Wajahnya tersembunyi oleh penutup dari baju yang menjuntai, hanya matanya yang berkilat dingin menatap lurus.

Langkah pria itu goyah sejenak, tapi gengsi menahannya.

“Akhirnya aku bisa melihat dirimu…” gumamnya, mencoba terdengar berani.

Arga tidak menjawab, hanya menurunkan sedikit posisi tubuhnya, siap menyergap kapan saja. Keheningan mendadak begitu mencekam, hanya terdengar derit kayu tua yang disentuh angin.

Pria itu mulai melangkah lebih dalam, menajamkan pandangan. Keringat dingin menetes di pelipisnya.

Lalu—dalam sekejap—Arga menghilang dari titik yang tadi.

“Hah!?” pria itu tersentak, pedangnya berayun liar ke samping.

Namun terlambat. Dari sisi gelap, Arga muncul cepat seperti bayangan, menendang keras pergelangan tangan lawan hingga pedang terlepas.

Brak!

Senjata itu terlempar menghantam dinding.

Pria itu terhuyung, matanya membelalak melihat Arga berdiri tepat di sampingnya dengan tatapan tajam menusuk.

“ternyata kau hanya besar mulut saja. " bisik Arga dingin.

Tanpa memberi kesempatan, Arga meninju perut pria itu hingga tubuhnya terlipat menahan sakit. Suara batuk berdarah terdengar keras.

Dari luar, kawan-kawan pria itu menelan ludah. Mereka mendengar suara benturan dan jeritan singkat. Salah satu bergumam dengan wajah pucat, “Astaga…apa yang sebenar nya terjadi di dalam!.”

Beberapa detik setelah suara pukulan dan jeritan melengking memecah kesunyian malam, kini terdengar teriakan keras, penuh rasa takut, seperti seseorang yang melihat ajal tepat di depan mata.

"Jangan...!" itu adalah teriakan terakhir yang sanggup terdengar dari dalam.

Setelah itu, hening. Tak ada lagi suara langkah, jeritan, ataupun desah napas. Sunyi seakan menelan seluruh bangunan tua itu, hanya angin malam yang berdesir menambah rasa mencekam.

Orang-orang yang menunggu di luar saling bertatapan, wajah mereka pucat seperti tidak berisi darah. Tidak ada satu pun yang berani bergerak.

Hingga akhirnya, salah satu dari mereka—seorang pria muda dengan tangan gemetar—memberanikan diri maju.

“Kalau kita terus diam di sini, maka kita semua mungkin bakal mati ketakutan di sini,” gumamnya lirih, meski jelas ia sendiri ketakutan.

Ia mulai menaiki anak tangga kayu yang berderit setiap kali dipijak. Langkahnya pelan, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat gagang pedang. Setiap tarikan napasnya berat, seakan dinding tua itu bisa runtuh hanya karena suara.

Sampai di ujung tangga, ia menoleh ke belakang. Teman-temannya masih di bawah, menatap dengan sorot mata penuh cemas, tapi tak satu pun yang berani ikut.

dari luar kusen,Ruangan itu terlihat gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus pecahan kaca jendela. Lantai kayu penuh noda hitam basah. Bau amis menusuk hidungnya—bau darah segar.

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!