Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
Sejak insiden di apartemen itu, Ratna tidak bisa tidur nyenyak. Bayangan saat Luna mendorongnya masih terus terngiang di kepalanya, tapi bukan hanya itu yang membuatnya gelisah.
Ada satu hal yang benar-benar tidak masuk akal di pikirannya, bagaimana bisa Anisa, menantu yang begitu lembut dan sopan, tiba-tiba pergi tanpa pamit, lalu Luna tinggal di apartemen Bima dengan seenaknya?
Ratna memegang tangan suaminya, Amar, dengan wajah tegang.
“Mas… aku nggak tenang. Ada yang janggal dari pernikahan mereka.”
“Maksud kamu?” Amar menatap serius.
“Aku ingin kamu selidiki. Aku ingin tahu bagaimana Bima bisa menikah dengan Anisa, tapi tetap tinggal serumah dengan Luna. Aku nggak percaya Nisa pergi tanpa alasan. Aku yakin… ada sesuatu yang disembunyikan Bima dari kita.”
Amar terdiam sejenak. Ia tahu istrinya tidak akan berbicara seperti itu tanpa alasan.
Akhirnya, ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Aku akan minta orang untuk cari tahu semuanya.”
Amar memanggil salah satu anak buah kepercayaannya, Reno, untuk menyelidiki status pernikahan Bima dan Anisa.
Ia meminta Reno mengecek langsung ke KUA setempat, juga ke catatan sipil bila ada pencatatan tambahan.
Beberapa kemudian, Reno datang kembali ke rumah keluarga Bima dengan wajah canggung dan napas berat.
“Tuan…” ucap Reno hati-hati sambil menyerahkan berkas.
“Ada hasilnya?” tanya Amar.
Reno mengangguk pelan.
“Ada, tapi… mungkin Tuan harus siap dengar ini.”
Amar dan Ratna saling berpandangan, jantung mereka mulai berdegup cepat. Amar membuka map itu perlahan, matanya menelusuri setiap baris tulisan dengan seksama.
Namun makin lama ia membaca, wajahnya berubah tegang, bahkan Amar sempat mengepalkan tangannya di atas meja.
“Tidak mungkin…” suaranya nyaris bergetar.
“Apa maksud laporan ini, Reno?”
Reno menunduk.
“Setelah saya cek ke KUA setempat, tidak ada pencatatan pernikahan atas nama Bima Prasetya dan Anisa Putri Tuan. Bahkan setelah saya konfirmasi ulang dengan kantor catatan sipil… tidak ada penerbitan surat nikah atau akta nikah atas nama mereka.”
Ratna langsung terperanjat.
“Apa maksudnya ini?! Jadi pernikahan mereka… palsu?”
Reno menelan ludah.
“Kemungkinan besar, Nyonya. Dari keterangan pejabat KUA, mereka tidak pernah menikahkan atau melakukan akad atas nama tersebut.
Dengan kata lain… pernikahan Bima dan Nisa tidak sah secara hukum maupun agama.”
Ruangan itu hening sesaat. Ratna menutup mulutnya, menahan tangis.
“Ya Tuhan… jadi selama ini Nisa hidup di rumah itu hanya sebagai… apa?”
Suaranya parau, matanya mulai berkaca-kaca.
BRAAAK.....
Amar memukul meja keras.
“Anak kurang ajar!” bentaknya. “Berani-beraninya dia mempermainkan pernikahan! Mempermainkan seorang gadis yang bahkan sudah kita anggap keluarga.”
Ratna menggigit bibirnya, matanya menatap kosong.
“Tidak salah kalau Nisa menderita selama ini… ternyata dia cuma dijadikan boneka kontrak oleh Bima. Aku malu,Mas . Aku malu sebagai orang tua.”
Amar menarik napas dalam, lalu menatap Reno tajam.
“Cari tahu lebih jauh. Aku ingin tahu siapa yang membuat pernikahan itu palsu. Dan aku ingin tahu di mana Anisa sekarang. Apa pun caranya, temukan dia.”
“Baik, Tuan.” Reno menunduk dan segera pergi.
Ratna menatap keluar jendela dengan mata sembab, suaranya lirih tapi tajam penuh penyesalan.
“Anisa… maafkan Mama, Nak. Kalau saja Mama lebih cepat tahu semuanya… kamu nggak akan terluka sejauh ini. Mas cari Anisa. Kita harus mendengarkan langsung dari Anisa apapun yang terjadi.”
"Iya sayang. Aku akan segera menemukan nya."
...****************...
Di ruang kerjanya yang tenang, Jovan duduk bersandar di kursinya, menatap layar laptop dengan sorot mata tajam namun penuh beban.
Baru saja Damian menyelesaikan laporan penyelidikan tentang Anisa, laporan yang membuat dada Jovan terasa sesak.
“Jadi… semuanya benar?” suara Jovan dalam, nyaris bergetar.
Damian mengangguk pelan.
“Benar, Bos. Tidak ada catatan pernikahan atas nama Bima Prasetya dan Anisa Putri, baik di KUA maupun di catatan sipil. Berdasarkan keterangan dari pihak administrasi setempat, tidak pernah ada pencatatan akad atas nama mereka. Dan saya juga mendapatkan informasi kalau orang tua Bima memberikan Anisa sebuah villa untuk dijadikan panti asuhan. Saya menduga kuat… mereka menikah kontrak, dan juga saya mendapatkan informasi ternyata Bima dan Luna sudah berhubungan lebih dari 3 tahun ini. Namun kedua orang tua Bima tidak merestui hubungan mereka karena latar belakang Luna."
"Latar belakang?."
"Iya bos, Ibu Luna adalah seorang wanita yang bekerja di rumah bordir, bahkan siapa ayah dari Luna saja ibunya sendiri tidak tahu."
"Jadi dia anak di luar nikah?"
"Sepertinya begitu,bos."
Jovan terdiam lama. Tangannya mengepal di atas meja, matanya menatap kosong pada berkas di depannya. Bayangan wajah Anisa, gadis yang lembut, pekerja keras, dan selalu menunduk sopan meski jelas menyimpan luka terlintas di benaknya.
“Dan apa kamu bilang… keluarga Bima memberikan dia sebuah villa?” tanya Jovan pelan.
“Ya, Bos. Villa itu dijadikan panti sosial. Tapi dari informasi yang saya dapat, Anisa sudah pergi dari sana. Sepertinya dia sedang mencari tempat baru untuk menampung adik-adiknya panti.”
Hening kembali menyelimuti ruangan itu.
Jovan menyandarkan tubuhnya, menarik napas panjang.
Perasaannya campur aduk antara marah karena Anisa dipermainkan, tapi juga kagum karena di tengah kehancuran hidupnya, gadis itu masih memikirkan anak-anak panti, bukan dirinya sendiri.
“Gadis itu benar-benar luar biasa…” gumamnya lirih.
Damian menatap Bosnya, sedikit tersenyum.
“Saya juga berfikir seperti itu bos. Dia terlalu baik untuk dunia sekejam itu.”
Jovan kemudian berbalik, menatap Damian dengan tatapan tegas.
“Damian.”
“Ya,Bos?”
“Bantu aku… tapi jangan sampai dia tahu.”
“Maksud Anda?”
Jovan berdiri, berjalan pelan ke arah jendela besar yang menghadap ke langit senja.
“Aku ingin dia mendapatkan tempat baru untuk panti. Rumah yang layak, besar, dan aman untuk anak-anak. Tapi jangan beritahu dia kalau rumah itu dariku. Kau tawarkan saja seolah-olah itu rumah yang dijual murah.”
Damian sempat terkejut.
“Anda ingin membelikannya rumah?”
“Bukan ingin, Damian. Aku akan membelinya.”
“Tapi Bos…”
“Tidak ada tapi.” suara Jovan tegas. “Kamu tahu berapa banyak dia sudah berkorban? Dia bahkan rela menikah kontrak demi menyelamatkan panti yang hampir disita. Dunia sudah cukup kejam padanya. Aku tidak akan membiarkan dia kehilangan tempat tinggal untuk anak-anak itu juga.”
Damian mengangguk dalam, menunduk hormat.
“Baik, Bos. Saya akan mengatur semuanya. Harga yang akan saya tawarkan padanya…?”
“Katakan saja lima puluh juta. Aku akan lunasi sisanya. Tapi pastikan rumah itu sudah aku beli atas nama perusahaan, agar tidak mencurigakan.”
Sore harinya, Anisa datang menemui Damian di ruangan nya karena Damian baru saja memanggilnya Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tetap tulus.
Damian menyerahkan map berisi foto dan surat rumah.
“Nona Anisa, saya kebetulan tahu kalau anda tengah mencari rumah dan kebetulan ada seseorang yang ingin menjual rumah ini. Letaknya strategis, cukup besar untuk dijadikan panti asuhan , dan harganya… cukup terjangkau.”
"Bapak tau dari mana?." ucap Nisa heran pasalnya ia tidak pernah menceritakannya pada siapapun di kantor ini.
"Kamu tidak perlu tau. Yang jelas saya hanya ingin membantu."
“Berapa, Pak?” tanya Anisa hati-hati.
“Hanya lima puluh juta.”
Mata Anisa langsung membesar.
“Lima puluh juta? Serius, Pak? Untuk rumah sebesar ini?”
Damian mengangguk kecil, pura-pura tersenyum santai.
“Ya, mungkin pemiliknya ingin cepat-cepat pindah ke luar negeri. Jadi dia menjualnya murah.”
Air mata nyaris jatuh di pelupuk Anisa.
“Ya Tuhan… saya benar-benar bersyukur, Pak. Akhirnya anak-anak panti punya tempat lagi. Terima kasih banyak. Saya nggak tahu harus bagaimana membalasnya.”
Damian menatapnya sekilas dalam hati ia tahu, senyum bahagia itu seharusnya menjadi milik Jovan.
Tapi sesuai perintah, ia hanya mengangguk dan berkata,
“Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, itu sudah cukup.”
"Baik tuan, terima kasih banyak."
"Sama-sama Nisa.
Jovan berdiri menghadap jendela besar di ruangan nya, menatap langit dengan segelas kopi di tangan.
Ia tahu, rumah itu hanyalah hal kecil dibandingkan luka yang dialami Anisa.
Namun setidaknya… ia sudah melakukan satu hal untuk membuat hidup gadis itu sedikit lebih tenang.
“Mulai sekarang, kamu nggak akan sendirian lagi, Anisa…Ada aku...” bisiknya lirih, seolah berbicara pada angin malam yang membawa namanya.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama