Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Cahaya dari layar ponsel memantul di mata Shenia yang sayu. Di sana, wajah Alan dan Dea tampak tersenyum manis di depan kamera, seolah mereka benar-benar sepasang kekasih yang bahagia. Wartawan mengerubungi, pertanyaan-pertanyaan berhamburan, dan Dea menjawab semuanya dengan santai, sementara Alan hanya diam, menahan diri agar tak memperburuk situasi.
Shenia menatap lama layar itu. Suaranya tercekat saat berkata pelan, “Kamu… harusnya aku memikirkan ini dari awal kalau kamu sudah jadi milik orang lain.”
Ia menutup ponsel perlahan, menyandarkan kepala di kursi. Di dadanya, ada sesuatu yang mencubit pelan, perasaan yang tak seharusnya masih ia miliki.
Namun tak lama, pandangannya jatuh pada sosok kecil itu, seorang bocah laki-laki dengan senyum dan wajah mirip Alan. Putranya.
Shenia menatap anak itu lama itu lama, jemarinya bergetar. “Maafkan Mama, Nak…” bisiknya lirih. Ia sangat bimbang dan tidak tega menyakiti hati wanita lain. “Tapi kalau Mama berhenti sekarang, kamu nggak akan selamat.”
Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tahu misi yang sedang dijalankannya berbahaya, melibatkan hal-hal yang tak seharusnya disentuh oleh siapa pun. Tapi kini, hatinya koyak.
Karena untuk menyelamatkan anaknya, ia harus terus memanipulasi dunia yang sama tempat Alan berada, meski itu berarti menumbalkan perasaan seseorang yang mencintai pria itu dengan tulus.
Shenia menarik napas panjang, menatap langit malam dari balik jendela. “Aku janji, setelah ini selesai… aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggu hidupmu selamanya.”
Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia tahu, tak ada jalan keluar yang benar-benar bersih dari luka.
__
beberapa hari kemudian...
Kantor Sanganna Group siang itu tampak sibuk. Namun bagi Chesna, langkah menuju ruang kerja Gideon terasa lebih berat dari biasanya. Ya, pemandangan Gideon bersama seorang gadis hari itu masih teringat jelas. Hatinya memang terluka tapi ia mencoba memakluminya.
"Gideon memiliki seseorang. Aku bukan lagi gadis yang ia sukai dulu. Lagi pula, siapa yang mengingat cinta saat remaja ketika sudah sedewasa ini?" Chesna menguatkan hatinya. "Anggap saja dua belas tahun penantianku sebagai bagian dari cerita sedih perjalananku." bisiknya lagi.
Bukan karena urusan bisnis atau kerja sama klinik miliknya, tapi kali ini ia harus menemui Gideon karena nama yang terus berputar di kepalanya, Shenia. Tambah lagi, berita tentang Alan, kembarannya yang tiba-tiba memiliki seorang kekasih, padahal jelas Alan tidak mungkin menyukai gadis bernama Dea itu.
Sudah sangat lama Chesna lost kontak dengan sahabatnya itu. Hanya satu orang yang mungkin tahu keberadaannya, Gideon, sepupunya.
Sekretaris hanya sempat menatap ragu sebelum membiarkan Chesna masuk tanpa janji.
Begitu pintu terbuka, Gideon sedang berdiri dengan tongkat penyanggah di depan jendela besar, jas hitamnya rapi, tatapannya tajam menembus panorama kota di luar sana.
“Pak Gideon,” sapa Chesna pelan.
Gideon menoleh. "Sepertinya janji temu kita bukan hari ini," kali ini ia terlihat sama sekali tidak bersemangat oleh kedatangan Chesna. Jelas saja, hatinya masih terbakar cemburu dan kehilangan harapan untuk berjung atas cintanya.
Nada itu membuat langkah Chesna sedikit goyah, tapi ia tetap tersenyum sopan. “Aku tidak datang sebagai rekan kerja hari ini. Aku datang sebagai teman. Aku ingin menanyakan tentang Shenia.”
Gideon diam sejenak, lalu berjalan ke meja kerjanya, mengambil beberapa dokumen seolah tak tertarik pada topik itu.
“Shenia sudah dewasa. Dia bisa menjaga dirinya sendiri,” ujarnya singkat.
“Apa Kamu juga nggak tahu di mana dia?”
Tatapan Gideon sedikit menajam, tapi masih berusaha menjaga jarak. “Kau tahu aku baru saja bisa melihat dunia.” Jawab Gideon, cuek.
Chesna menatapnya lekat-lekat. “Kenapa kamu bicara seolah semuanya bukan urusanmu, padahal dia sepupumu sendiri?”
“Karena aku belajar untuk tidak ikut campur urusan orang lain.” jawabnya, nada suaranya dingin tapi bergetar halus di ujung kalimat.
Keheningan menggantung di antara mereka. Suara pendingin ruangan terdengar samar, menambah dinginnya suasana.
Chesna menunduk, lalu berucap pelan, “Aku nggak tahu apa yang berubah darimu, Gideon… tapi kamu bukan orang yang seperti ini dulunya. Ada apa denganmu belakangan ini?”
Gideon menatapnya tajam, matanya memantulkan emosi yang berusaha ia sembunyikan. “Mungkin kamu cuma baru benar-benar mengenal aku sekarang.”
Chesna terdiam. Ia ingin membalas, Ia sedikit bingung kenapa Gideon seperti berusaha mengabaikannya.
Ia hanya tersenyum kaku, menahan getir.
“Baiklah,” katanya akhirnya, melangkah mundur. “Maaf sudah mengganggu. Aku harap kamu bisa kabari aku kalau ada berita tentang Shenia.”
Begitu pintu tertutup, Gideon menatappintu itu lama.
Tangannya mengepal, napasnya berat.
Kenapa masih sesakit ini, padahal aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti berharap?
___
Lobi The Chasteo Hotel terasa dingin pagi itu. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal memantulkan cahaya keemasan, tapi suasananya justru menusuk. Shenia berdiri di tengah ruangan dengan langkah ragu, menatap logo besar hotel di dinding marmer tempat yang dulu hanya ia dengar dari kisah-kisah tentang Alan, pria yang kini jadi sosok besar.
Ia menarik napas panjang sebelum melangkah ke arah resepsionis. “Saya ingin bertemu Tuan Alan Hartama.”
Petugas sempat menatapnya ragu. “Maaf, Nona, beliau sedang tidak menerima tamu tanpa janji.”
Namun sebelum Shenia sempat menjawab, sebuah suara dalam dan dingin terdengar dari arah tangga besar.
“Tak perlu. Aku sudah melihat siapa yang datang.”
Shenia menoleh cepat. Alan berdiri di ujung anak tangga, mengenakan setelan hitam yang sempurna, tapi matanya menyala dengan amarah yang tak bisa disembunyikan. Langkah-langkahnya berat, penuh tekanan.
“Alan…” suara Shenia nyaris bergetar.
“Jangan panggil namaku seolah kita masih punya urusan yang belum selesai,” potong Alan tajam. Ia menatapnya dari kepala sampai kaki, seolah memastikan wanita di hadapannya benar-benar nyata. “Ternyata kamu masih hidup.”
Shenia menunduk. “Aku bisa jelaskan.”
“Jelaskan apa?” Alan mendekat, suaranya meninggi. “Kamu menghilang tanpa jejak, Shenia!"
Matanya merah, nadanya pecah antara marah dan sakit hati.
Shenia menatapnya, air mata sudah menggenang tapi ia menahan agar tidak jatuh. “Aku nggak punya pilihan, Alan. Ada hal yang nggak bisa aku-”
“Jangan berani-berani bilang kamu nggak punya pilihan,” Alan memotong lagi, suaranya dingin. “Kamu memilih pergi. Kamu memilih bikin aku terlihat bodoh,”
Keheningan menyelimuti ruangan. Beberapa staf yang tadinya melintas kini menunduk, pura-pura sibuk agar tak ikut menyaksikan.
Alan menatapnya tajam, lalu berkata pelan tapi mematikan,
“Keluar dari sini, sekarang.”
“Alan, tolong dengar aku dulu, aku-”
“Tidak ada lagi yang perlu didengar.” Ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi. “Tidak perlu lagi muncul di depanku.”
Shenia berdiri mematung di tempatnya, menggenggam tas erat-erat. Tubuhnya gemetar menahan tangis, tapi wajahnya tetap tegar.
Shenia merasa sangat malu. Semua orang disana sedang menatapnya. Ia pun berbalik, dalam hati ia berbisik lirih, “Aku memang pantas dibenci. Tapi aku harus lakukan kehinaan ini… demi anak kita.”
___
Bersambungg...
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??