Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Wajah Dion
Malam itu sebuah restoran bintang lima di pusat kota dipenuhi cahaya temaram dari chandelier kristal yang menggantung elegan.
Musik klasik lembut mengalun, menyatu dengan aroma wine dan hidangan khas Eropa yang terhidang di meja-meja berlapis taplak satin putih.
Rachel Aurora masuk anggun mengenakan gaun merah panjang berpotongan elegan, dengan bordiran pernak-pernik yang berkilau setiap kali ia bergerak.
Rambutnya ditata rapi dengan gaya sanggul modern, bibirnya dipoles merah menyala senada dengan gaunnya. Semua mata sempat menoleh padanya—sosok cantik dan penuh percaya diri.
Dion sudah menunggu di meja VIP dekat jendela, mengenakan kemeja putih rapi dan jas hitam sederhana. Meski tampil gagah, wajahnya tampak sedikit canggung melihat Rachel begitu glamor.
Mereka mulai makan malam, tetapi ketegangan cepat muncul. Rachel meletakkan sendok garpunya dengan suara ting di piring, matanya menatap tajam Dion.
“Dion, sebenernya kamu ada hubungan apa sih sama Citra?!” suara Rachel meninggi, penuh rasa cemburu.
“Kamu suka sama dia, ya?!” cecar Rachel dengan gusar.
Dion menghela napas, meneguk minumannya sebelum menjawab singkat. “Gak kok, Chel. Gue cuma… ngerasa iba aja karena udah sempet jailin dia waktu ospek.”
Rachel mengernyit, wajahnya memerah menahan emosi. “Iba? Jangan bohong deh! Kamu keliatan banget belain dia akhir-akhir ini. Padahal dia itu siapa, Dion?”
Dion tersenyum miring, nada suaranya meremehkan. “Lagian siapa juga yang mau sama dia? Dari penampilannya aja udah kelihatan… dia tuh kayak anak pembantu, Chel. Baju selalu sederhana, nggak ada gaya sama sekali. Jauh banget sama kita.”
Rachel terdiam sesaat, lalu tersenyum sinis, merasa menang.
Namun, di balik senyuman itu, ada rasa tidak puas yang menggelayut—karena ketakutannya sebenarnya bukan soal Dion jatuh cinta pada Citra, tapi soal Dion mulai peduli pada orang lain selain dirinya.
Di meja VIP itu, Rachel tersenyum puas setelah mendengar Dion meremehkan Citra. Ia menyeruput wine dengan anggun, sementara Dion sibuk memotong steak di piringnya.
Mereka berdua tidak sadar, tepat di balik pilar dekat meja, seorang pelayan restoran berdiri diam, pura-pura merapikan gelas di meja kosong.
Pelayan itu—dengan seragam hitam-putih rapi—sebenarnya bukan sembarang pelayan. Ia adalah orang yang sengaja “dititipkan” oleh Raka malam itu, dibayar khusus untuk memperhatikan setiap gerak-gerik Dion dan Rachel.
Pelayan tersebut memasang telinga tajam, mencatat dalam benaknya setiap kata-kata Dion: tentang “iba”, tentang “anak pembantu”. Mata pelayan itu sedikit menyipit, lalu pura-pura tersenyum ramah ketika seorang tamu lain lewat.
Setelah Rachel dan Dion larut dalam obrolan mereka, si pelayan mundur perlahan, kembali ke area staff only. Dari balik saku celemeknya, ia mengeluarkan ponsel tipis, mengetik cepat sebuah pesan:
“Rak, semua jelas. Dion bilang ke Rachel kalau dia cuma kasihan ke Citra. Bahkan dia hina Citra—dibilang kayak anak pembantu. Gue pastiin omongan itu bener-bener keluar dari mulutnya.”
Pesan terkirim. Layar ponsel menampilkan nama penerimanya: Raka Aditya Pratama.
Di tempat lain, Raka yang tengah berada di ruang kerjanya tersenyum tipis membaca laporan itu. Ia bersandar di kursi, mengetuk-ngetuk meja kayu dengan jemarinya.
“Bagus,” gumamnya. “Jadi Dion udah nunjukin aslinya. Gua nggak akan biarin Cit terus-terusan disakitin.”
Wajah Raka mengeras, bukan hanya marah karena Citra dihina, tapi juga karena ada kesempatan emas untuk menjatuhkan Dion di hadapan semua orang.
Keesokan paginya, rombongan siswa kelas X tiba di sebuah villa besar di kawasan Puncak, Bogor. Udara dingin menusuk kulit, kabut tipis menggantung di antara pepohonan pinus yang menjulang.
Suasana jauh berbeda dengan hiruk pikuk sekolah—di sini lebih tenang, tapi juga menyimpan ketegangan karena hari terakhir ospek biasanya penuh acara penutupan dan “kejutan” dari kakak OSIS.
Citra turun dari bus bersama Kiara dan Afifah, membawa tas ransel kecil. Ia menghirup udara dingin sambil merapatkan jaketnya.
“Wih, adem banget ya, Cit,” ujar Kiara sambil menggosok tangannya.
“Iya, kayak di luar negeri,” tambah Afifah sambil terkekeh.
Di halaman villa, Dion dan Rachel sudah lebih dulu berdiri bersama kelompok OSIS lain, terlihat santai seolah mereka pemilik tempat.
Rachel tampil mencolok dengan jaket merah branded, sementara Dion tampak cool dengan hoodie hitam.
Namun, di sudut halaman, Raka berdiri dengan wajah serius. Ia masih memikirkan pesan dari pelayan restoran semalam. Pandangannya beberapa kali mengarah ke Dion, tatapannya penuh perhitungan.
Acara hari itu dimulai dengan games ringan, lalu pembagian kelompok. Para siswa tampak bercanda dan bersenang-senang, tapi di balik semua itu, Raka menyimpan rencana. Ia ingin momen di Bogor ini jadi ajang membuka kedok Dion di depan semua orang.
Saat makan siang bersama di aula villa, Rachel duduk manis di samping Dion. Tangannya dengan sengaja menggandeng lengan Dion, membuat beberapa siswi berbisik-bisik iri.
Citra yang duduk agak jauh hanya menunduk, pura-pura tak peduli, meski hatinya terasa sesak.
Raka memperhatikan itu dari kejauhan. Ia mengetuk-ngetuk sendok ke gelas, seakan menunggu waktu yang tepat. “Sabar, Cit… lu bakal tahu siapa Dion sebenarnya,” batinnya.
Malam itu halaman villa dipenuhi cahaya oranye dari api unggun besar. Kayu-kayu kering berderak, percikan api sesekali meloncat ke udara, sementara dinginnya udara Bogor sedikit terusir oleh hangatnya bara.
Para siswa duduk melingkar, bernyanyi riang ditemani gitar yang dimainkan salah satu kakak OSIS. Suasana cair—ada yang bertepuk tangan, ada yang bercanda, bahkan beberapa pasangan teman baru mulai terlihat akrab.
Citra duduk di sisi lingkaran bersama Kiara dan Afifah. Senyumnya tampak lebih tulus malam itu, meski masih sesekali ia melirik ke arah Rachel yang duduk manja bersandar di lengan Dion.
Tak lama, Raka menghampiri Citra. Ia menepuk bahu Citra pelan, lalu duduk di sampingnya. “Cit, lu kedinginan nggak? Nih, pakai jaket gua aja,” katanya sambil menyodorkan jaketnya.
Citra sempat terdiam, wajahnya agak merah karena perhatian itu. “Enggak, Rak. Gue fine kok. Makasih ya,” jawabnya sambil menunduk, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum kecil.
Percakapan mereka berlanjut ringan—tentang sekolah, tentang acara ospek, hingga Raka tanpa sadar berhasil membuat Citra merasa nyaman. Tawa kecil keluar dari mulut Citra, sesuatu yang jarang terlihat selama ospek.
Namun, dari seberang lingkaran, Dion yang sedang memantau jalannya acara sebagai panitia, tiba-tiba menoleh. Pandangannya langsung tertuju pada Citra dan Raka yang terlihat akrab di bawah cahaya api unggun.
Dahi Dion berkerut, rahangnya menegang. Ada rasa gusar yang tak bisa ia sembunyikan. Rachel yang duduk di sampingnya ikut memperhatikan arah pandangan Dion, lalu ikut menatap ke arah Citra dan Raka. Senyum Rachel perlahan memudar, berganti tatapan tajam penuh kecemburuan.
Dion berusaha mengalihkan pandangan, tapi matanya terus saja kembali ke arah Citra yang sedang tertawa kecil bersama Raka.
Tangannya mengepal di pangkuan, seolah ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak—meski ia sendiri tak mau mengakuinya.
Api unggun terus menjilat langit malam, suara gitar masih mengiringi lagu riang, tapi Rachel mulai gelisah.
Ia menyadari perubahan ekspresi Dion—sorot matanya yang tajam, rahangnya yang mengeras, dan cara pandangnya yang tak lepas dari Citra.
Rachel mencondongkan tubuhnya, berbisik dengan nada menekan.
“Dion… kamu ngeliatin apa sih dari tadi?”
Dion terperangah, buru-buru mengalihkan pandangan.
“Nggak… nggak ngeliatin apa-apa,” sahutnya singkat, berusaha datar.
Rachel menajamkan tatapan, mengikuti arah mata Dion barusan—dan benar saja, pandangan itu jelas-jelas menuju Citra yang sedang tertawa kecil bersama Raka.
Senyum Rachel lenyap sepenuhnya. Ia menegakkan duduknya, suaranya lebih keras kali ini.
“Kamu serius, Dion? Jangan bilang kamu cemburu sama Citra.”
Dion terdiam. Lidahnya kelu, seolah otaknya berusaha keras mencari alasan lain. “Chel, jangan ngaco deh. Gua cuma lagi mantau anak-anak biar tertib.”
Rachel tertawa pendek, getir. “Mantau? Atau sebenernya hati kamu yang nggak tenang liat dia deket sama Raka?”
Dion menoleh cepat, menatap Rachel. “Udah, jangan mikir aneh-aneh. Gua nggak ada apa-apa sama dia.”
Tapi bagi Rachel, jawaban itu justru makin meyakinkan. Ia tahu betul tatapan seorang lelaki ketika hatinya terganggu. Dan malam itu, jelas sekali Dion bukan gusar karena tugas panitia—tapi karena Citra.
Rachel menggertakkan gigi, genggamannya di lengan Dion semakin kuat. Api unggun yang berderak seakan jadi saksi, bagaimana rasa curiga berubah menjadi cemburu yang membakar hati Rachel.
*
*
*