Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nightmare
Menemui pagi tidak pernah semelegakan ini sebelumnya. Sudah tiga hari berturut-turut Suri mengalami mimpi buruk. Tersesat di padang ilalang dan menjadi korban tabrak lari ternyata belum apa-apa, jika dibanding dengan mimpinya yang semalam.
Sehabis menerima permintaan maaf Dean, Suri pergi tidur dengan hati yang lebih tenang. Senyum bahkan terukir di bibirnya. Ia menarik selimut dengan pikiran optimis, bahwa tidurnya akan nyenyak dan esok hari menyambut mentari dengan semangat.
Namun segala kelegaan itu buyar ketika dalam tidurnya, Suri malah menemukan bencana yang lebih besar.
Awalnya Suri menemukan dirinya terdampar di dalam sebuah bangunan mal besar. Lampu-lampu gemerlap tergantung di langit-langit tinggi. Musik elegan diputar di salah satu barber shop nomor satu di kota. Aroma mentega dari roti yang sedang dipanggang, menari-nari di udara, bercampur dengan wewangian mahal dari toko parfum enam blok di seberang. Suri berjalan sendirian mengitari seisi mal dengan total 9 lantai tersebut. Anehnya, meski terkesan mewah dan berkelas, suasana di sana begitu riuh.
Hal itu membuat Suri cepat merasa lelah. Ketenangan seakan hanya Suri dapatkan saat kakinya menjejak di lantai satu. Begitu naik eskalator, bising berdengung di telinganya begitu jelas. Kata-kata yang berputar di sana terlalu padat dan tumpang-tindih, sampai Suri tidak bisa menangkap dengan jelas apa saja yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya.
Mencapai lantai dua, Suri temukan lebih banyak keriuhan. playground di sisi kiri dipenuhi anak-anak. Belasan pilihan permainan tersuguh apik, dan mereka semua sibuk mengerahkan energi di sana. Beberapa anak tampak bersitegang memperebutkan sesuatu. Salah satunya sampai main tangan, memukul kepala anak lain dengan palu mainan, lalu terdengarlah suara tangis membahana.
Suri menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. Bukannya ia benci pada anak-anak dan suara tangisnya. Suri hanya tidak bisa mendengar sesuatu yang terlalu bising setelah bangun dari koma.
Karena enggan mengalami situasi yang tidak nyaman, Suri bergegas pergi meninggalkan area playground. Kakinya melangkah jauh ke sisi kanan. Pandangannya berpendar, memindai tempat mana yang harus ia tuju demi meredam kebisingan.
Sampai akhirnya ia temukan toko buku dengan pencahayaan redup. Papan nama di bagian atas pintu toko berwarna cokelat gelap, huruf-hurufnya diukir warna emas dengan font sambung. Penampakannya jadi mencolok, sekaligus merepresentasikan toko buku itu sendiri, yang tampak redup namun menyimpan begitu banyak cahaya di dalamnya. Cahaya yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Berupa pengetahuan yang tertuang dalam berbagai bahasa.
Tanpa memikirkan apa pun lagi, Suri memasuki toko buku tersebut. Aroma kertas mendobrak indera penciumannya, disusul wangi pengharum ruangan bernuansa floral. Sejenak, Suri bisa mendapatkan kedamaian yang diinginkan. Hiruk-pikuk di luar, terutama yang berasal dari playground, seketika redam.
Tidak hanya sekadar berdiam diri menikmati keheningan yang indah, Suri mulai berjalan menyusuri rak demi rak di toko buku itu. Beberapa judul buku dari penulis terkenal dipajang paling depan, dijadikan display sebagai pemikat agar pengunjung sudi mendekat. Dengan begitu, buku-buku dari penulis baru yang dipajang di sebelahnya akan punya kesempatan untuk dilirik. Trik marketing yang cukup fair menurut Suri, jujur saja.
Di antara beberapa rak dan ragam pilihan buku yang tersedia, hati Suri terpikat oleh satu buku dengan judul yang terasa familier di otaknya. Suri meraih buku itu dari rak, memperhatikan cover dengan warna latar perpaduan biru dan merah muda. Tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok laki-laki dan perempuan. Ekspresi mereka tampak... Ah, sulit bagi Suri untuk menjelaskan. Pada bagian tengah, judul ditulis dengan huruf kapital. Hanya terdiri dari dua kata: 49 DAYS. Namun dua kata itu sudah cukup untuk membuat Suri bertanya-tanya apa maknanya.
Ketertarikan Suri akhirnya jadi makin kuat. Matanya bergerak menyapu seluruh permukaan sampul, mencari-cari nama sang penulis. Biasanya nama penulis tercetak lebih kecil dengan font dan warna huruf yang berbeda dari judul. Tetapi sudah Suri cari, bahkan sampai membolak-balik buku itu, nama penulis yang dia cari tetap tidak bisa ditemukan.
Hal yang sama terjadi saat Suri membuka halaman demi halaman di dalam buku itu. Selain nama penulis, tidak ada pula kata pengantar, lembar terima kasih, bahkan list nama editor serta penata lay out dan lain-lain pun tidak tercantum di sana.
Suri bingung. Saat ingin mencari lebih jauh soal isi bukunya, hening yang sejak tadi menjadi teman tahu-tahu hilang ditelan keributan.
Entah dari mana datangnya, puluhan orang masuk secara bersamaan ke dalam toko buku. Mereka semua berteriak ketakutan. Gerakannya semrawut. Saling dorong, saling senggol, tidak peduli meski yang lebih tua atau lebih lemah jatuh tersungkur karena mereka. Setiap kepala bergerak egois, memikirkan keselamatan sendiri.
Sedangkan Suri yang masih tidak tahu apa yang terjadi, justru menarik langkahnya menuju pintu keluar. Bukannya menerobos kerumunan, Suri lebih memilih mencari rute aman. Dia berjalan merambat di pinggir, lengan dan bahu menempel di dinding. Langkahnya pendek-pendek, juga hati-hati demi tidak menyakiti orang lain.
Kemudian saat akhirnya berhasil keluar, kaki Suri mendadak lemas. Rasanya seperti Harry Potter tiba-tiba menyulap kedua kakinya menjadi jelly. Alih-alih lantai luas dengan eskalator beberapa meter di depan, Suri malah menemukan sebuah tembok besi.
Dengan sisa kekuatan, Suri balik badan. Namun harapannya pupus diinjak kenyataan, kala yang dihadapinya adalah pintu besi yang tertutup rapat setelah satu kedipan mata.
Kini, Suri terjebak di sana. Dalam sebuah lift dengan kapasitas 15 orang. Sendirian, menanggung kepanikan dan hawa dingin yang meringsek menghajar setiap inchi tulang. Lampu indikator pada tombol-tombol lift di sana, semuanya padam. Menandakan benda kotak ini sedang stuck. Kabar buruk bagi Suri yang menderita Claustrophobia. Tidak masalah ketika di dalam lift ada setidaknya satu orang, namun menjadi masalah besar ketika Suri sendirian.
Dalam waktu singkat, kepanikan menguasai diri. Napas Suri mulai sesak. Detak jantungnya semakin tidak beraturan. Produksi keringat meningkat lebih cepat. Seluruh tubuh Suri panas dan bergetar hebat. Tubuhnya merosot ke lantai, dan itu semakin memperburuk keadaan karena dinginnya lantai lift membuat kepanikannya semakin meningkat.
Suri ingin berteriak minta tolong, tetapi suaranya hanya seperti tertahan di pangkal tenggorokan. Kepanikan yang menyerang terasa semakin menyeramkan, mencekik tenggorokan. Suri memejamkan matanya. Hampir pasrah pada apa pun yang terjadi. Entah dirinya ditemukan pingsan atau bahkan sudah mati--jadi tulang.
"Suri," Dan lagi-lagi sebuah suara yang memanggil dirinya, menjadi penyelamat. Suri tersentak dari mimpi buruk itu. Bangun dalam keadaan tubuh basah kuyup.
Kalau kemarin tidak ada siapa pun saat dirinya bangun, pagi ini dia temukan Dean berdiri di dekat meja belajar. Dahinya berkerut samar. Seperti menyimpan pertanyaan sendiri di kepalanya tentang apa yang terjadi pada Suri.
"Sedang apa?" tanya Suri.
"Menunggumu bangun."
"Kenapa?" Dean berbalik. Dengan kedua tangan masuk ke saku, ia berjalan menuju pintu dan berkata, "Sarapannya sudah siap. Cepat bersihkan dirimu, ganti baju, lalu turun untuk makan."
"Kau memasak lagi untukku?"
Tubuh Dean sudah berada di tengah-tengah pintu, terpaksa berbalik lagi. "Iya," jawabnya, "cepat bergerak. Ini sudah siang, asal kau tahu."
Mendengar itu, kepala Suri menoleh ke arah meja belajar. Jam weker kecil di sana menunjukkan pukul sembilan lewat delapan.
"Cerewet sekali," gerutunya. Saat menemukan Dean menatap datar, dia segera melanjutkan, "Aku akan segera turun. Pergilah duluan." Sambil mengibas-ngibaskan tangan.
Untungnya Dean tidak sedang menyebalkan. Hantu tampan itu meninggalkan kamar Suri tanpa memulai pertikaian. Bahkan dengan baik hatinya, ia menutup pintu kamar Suri rapat-rapat.
"Kenapa akhir-akhir ini sering mimpi buruk sih? Apa sebenarnya yang terjadi dengan otakku? Efek koma?"
Namun Suri tidak mendapatkan jawaban. Tidak pula berusaha mengulik lebih jauh. Dia lebih memilih turun dari ranjang, lalu masuk kamar mandi untuk memberikan badan. Siapa tahu saja habis mandi nanti otaknya sedikit mendapat pencerahan.
Bersambung.....