Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Suasana di vila Aurelius berubah total sejak kelahiran bayi kembar itu. Ruangan-ruangan yang dulu terasa sunyi kini dipenuhi tangis, tawa, dan suara langkah kaki yang riuh. Mommy Amara bahkan menambahkan seorang perawat bayi khusus untuk membantu Anya, sementara Andara hampir setiap hari datang hanya untuk bermain dengan keponakan barunya.
“Lihat, Kak! Mereka senyum!” teriak Andara suatu pagi, matanya berbinar saat melihat salah satu bayi mengerucutkan bibir mungilnya.
Anya yang masih duduk di sofa tersenyum lemah. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tampak sedikit lelah, tapi sinar bahagia jelas terpancar. “Itu bukan senyum, Dara. Mereka mungkin sedang kentut.”
Semua orang di ruang tamu tertawa, termasuk Adrian yang baru saja turun dengan pakaian santai. Ia mendekati istrinya, lalu menunduk mencium keningnya. “Tapi kalaupun benar kentut, tetap lucu. Karena mereka anak kita.”
Mommy Amara menggeleng sambil tersenyum, “Aku tidak pernah melihat Adrian sebahagia ini. Kau benar-benar berubah sejak jadi ayah.”
Adrian mengangkat bahu, menatap kedua bayinya dengan mata berbinar. “Bagaimana aku tidak berubah, Mom? Mereka berdua adalah separuh jiwaku, sama seperti Anya.”
Anya tersipu, pipinya memerah.
---
Meski kebahagiaan memenuhi rumah, kenyataan tidak semudah itu. Malam-malam panjang terasa melelahkan. Tangisan bergantian dua bayi membuat Anya hampir tidak tidur sama sekali.
Suatu dini hari, Anya duduk di kursi goyang sambil menggendong bayi perempuan mereka yang terus menangis. Matanya berat, tubuhnya letih.
Adrian yang baru selesai menidurkan bayi laki-laki mereka menghampiri, lalu mengambil bayi itu dari pelukan Anya. “Sayang, kau harus istirahat. Biarkan aku yang ganti.”
Anya menggeleng pelan. “Tidak, Mas. Aku ibu mereka. Sudah tugasku.”
Adrian menatapnya serius. “Tapi kau juga manusia, bukan mesin. Kalau kau tumbang, bagaimana mereka? Kau harus jaga dirimu juga.”
Tangis bayi sedikit reda saat berada di dekapan Adrian. Ia mengayunkannya lembut sambil bersenandung kecil. Anya menatap suaminya dengan air mata menetes.
“Mas… aku takut. Takut aku tidak cukup baik untuk mereka. Aku bahkan sering bingung harus lakukan apa saat keduanya menangis bersamaan.”
Adrian berjongkok di hadapannya, menatap matanya dalam. “Sayang, kau sudah jadi ibu terbaik. Tidak ada buku yang bisa menyiapkan kita untuk ini. Tapi kita belajar bersama. Aku di sini, kita lakukan semua berdua. Kau tidak sendirian.”
Anya mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepala di bahu Adrian. Untuk pertama kalinya sejak melahirkan, ia merasa bebannya sedikit berkurang.
---
Kabar kelahiran bayi kembar Aurelius menjadi berita utama di berbagai media. Foto-foto bayi yang hanya ditampilkan dari belakang, dengan Adrian dan Anya tersenyum, tersebar luas. Publik bersorak, ucapan selamat membanjiri akun media sosial mereka.
Namun, sebagaimana biasa, tidak semua komentar bernada manis. Beberapa akun anonim kembali melontarkan fitnah.
“Pasti pakai bayi tabung, mana mungkin langsung kembar.”
“Kasihan bayinya, punya ibu penuh gosip.”
“Anya cuma numpang nama besar suami.”
Suatu sore, Anya menangis diam-diam setelah membaca komentar itu. Ia merasa dunia tidak pernah puas menyerangnya.
Adrian menemukan istrinya di kamar, menatap layar ponsel dengan mata berkaca. Tanpa banyak bicara, ia mengambil ponsel itu dan mematikannya.
“Cukup, Sayang. Jangan biarkan dunia luar meracuni kebahagiaan kita. Mereka tidak tahu apa-apa. Yang tahu hanya kita.”
Anya menatapnya, bibirnya bergetar. “Kenapa mereka tidak pernah berhenti membenciku, Mas?”
Adrian menariknya ke pelukan. “Karena mereka tidak bisa menyentuh kebahagiaan yang kita punya. Itu membuat mereka iri. Tapi dengar aku, Anya. Kita tidak hidup untuk mereka. Kita hidup untuk keluarga kita.”
Tangisan Anya pecah di bahu Adrian, tapi kali ini bukan karena lemah, melainkan karena hatinya tersentuh oleh keyakinan suaminya.
---
Meski Dimas sudah ditangkap, trauma masih menghantui. Suatu malam, Anya terbangun karena mimpi buruk. Ia melihat bayinya hampir tertabrak mobil dalam mimpinya.
“Mas!” jeritnya sambil memeluk kedua bayi yang tertidur di boks mereka. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kening.
Adrian yang terbangun panik segera memeluknya dari belakang. “Sayang, itu hanya mimpi. Mereka aman, lihat…” Ia mengangkat bayi laki-laki mereka, lalu menunjukkan napasnya yang teratur. “Lihat, dia tidur nyenyak. Adiknya juga.”
Namun Anya masih menangis. “Aku tidak bisa… aku tidak bisa hilangkan rasa takut ini…”
Adrian menatapnya penuh iba. Ia tahu trauma itu tidak bisa hilang begitu saja. Besoknya, ia diam-diam memanggil seorang psikolog keluarga ke vila.
Awalnya Anya menolak, merasa dirinya tidak gila. Namun setelah berbicara, ia mulai menyadari bahwa tidak apa-apa meminta bantuan.
Psikolog itu berkata lembut, “Bu Anya, rasa takut setelah melalui ancaman bukan kelemahan. Itu luka. Dan setiap luka butuh waktu untuk sembuh. Jangan lawan sendirian.”
Sejak saat itu, Anya perlahan mulai belajar berdamai dengan ketakutannya.
---
Bulan berganti. Bayi-bayi Aurelius tumbuh sehat. Mereka diberi nama Arka Adrian Aurelius dan Alea Anindya Aurelius.
Setiap pagi, Andara datang membawa kamera, mendokumentasikan momen lucu mereka. “Aku akan jadi tante paling hits! Suatu hari, Arka dan Alea bisa lihat betapa mereka dibanjiri cinta sejak kecil,” ujarnya sambil tertawa.
Mommy Amara sering membacakan doa-doa di telinga mereka, sementara Daddy menggendong keduanya dengan bangga. “Mereka penerus keluarga kita. Tapi yang paling penting, mereka anak-anak yang lahir dari cinta sejati.”
Anya mendengar itu sambil tersenyum. Ia merasa hatinya semakin kuat. Kini, bukan hanya dirinya yang harus ia lindungi, tapi juga dua jiwa kecil yang mempercayakan hidup mereka padanya.
---
Namun kedamaian itu tidak bertahan lama. Suatu hari, Adrian mendapat kabar dari pengacaranya bahwa meski Dimas sudah dipenjara, ada pihak lain yang mencoba melanjutkan permainan kotor. Beberapa saham perusahaan Aurelius digoyang oleh investor misterius yang membeli secara diam-diam.
Adrian menatap layar laptop dengan rahang mengeras. “Ini bukan kebetulan. Ada yang mencoba menyerang kita dari sisi lain.”
Daddy yang duduk di sampingnya menghela napas. “Musuh bisnis selalu ada. Tapi setelah Dimas, kita harus lebih waspada. Bisa jadi ada yang bekerja sama dengannya dari awal.”
Adrian menoleh ke arah kamar tempat Anya dan bayi-bayi mereka tertidur. Matanya dingin. “Aku tidak akan biarkan siapa pun menyentuh keluargaku lagi. Jika mereka ingin perang, maka aku siap.”
---
Malam itu, Adrian kembali duduk di balkon bersama Anya, sama seperti malam-malam sebelumnya.
“Mas,” kata Anya lirih, menatap langit berbintang. “Meski semua ini berat, aku merasa kuat. Karena aku punya kalian. Kau, Arka, dan Alea.”
Adrian meraih tangannya erat. “Dan aku juga merasa sama, Sayang. Tidak ada ancaman, tidak ada gosip, yang bisa meruntuhkan kita. Selama kita bersama.”
Anya tersenyum, lalu menyandarkan kepala di bahu Adrian. Dua bayi mereka tertidur lelap di dalam kamar, dunia luar boleh saja bergolak, tapi di sini—di balkon vila Aurelius—cinta menjadi benteng yang tak tergoyahkan.
---
Hari-hari berlalu dengan campuran suka dan duka. Anya semakin percaya diri menjalani perannya sebagai ibu, Adrian semakin mantap sebagai pelindung keluarga, dan keluarga Aurelius semakin solid menghadapi serangan dari luar.
Namun bayangan ancaman masih menggantung. Pertempuran mungkin sudah dimenangkan, tapi perang belum tentu usai.
Satu hal yang pasti, Anya sudah tidak lagi gadis rapuh yang selalu menjadi sasaran gosip. Kini, ia adalah seorang ibu, seorang istri, dan seorang perempuan kuat yang berdiri tegak di samping pria yang ia cintai.
Dan cinta mereka, bersama dua malaikat kecil yang baru lahir, akan terus menjadi cahaya di tengah kegelapan.
---
Bersambung…
apalagi dukungan keluarga sangat penting untuk menyelesaikan setiap masalah
di sini aku mendapatkan banyak pelajaran terutama bahwa keluarga merupakan dukungan pertama dan nomor satu untuk melewati setiap rintangan dunia luar..
Terima kasih banyak kak inda