Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujung Benua Qiyuan Dimana?
Dimensi gelap itu mendadak senyap. Hanya gema tekad Xu Hao yang baru saja diucapkan yang terasa masih bergetar di udara, seolah ruang itu sendiri menahan napas.
Pria tua berpakaian Konfusian perlahan menghela napas panjang. Suaranya terdengar berat, seakan membawa beban waktu ribuan tahun. "Sayang sekali... waktuku tidak lama. Begitu altar itu aktif, kesadaranku yang terikat di sini akan menghilang. Aku hanyalah sisa jiwa, bukan wujud asli. Namun sebelum itu terjadi, aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk memberimu beberapa pengetahuan penting. Jadi jangan membuang waktu dengan pertanyaan yang tidak berguna."
Xu Hao sempat tercengang. Matanya terbelalak, tapi ia segera menenangkan diri. Ia menunduk sedikit, lalu mengangguk penuh kesungguhan.
Pria tua itu kembali berbicara. "Setiap manusia memang memiliki jiwa. Jiwa itu adalah asal kesadaran, pengendali tubuh, dan bawaan sejak lahir. Namun... inti jiwa yang dibentuk oleh seorang kultivator bukanlah jiwa bawaan tersebut. Inti jiwa adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang baru. Bukan pula jiwa kedua... melainkan jiwa yang terlahir kembali. Ia lebih kuat, lebih murni. Sama seperti seekor ular yang mengganti sisiknya, kultivator yang mencapai Core Formation akan mengganti ‘kulit jiwanya’ untuk membentuk fondasi yang baru."
Xu Hao mendengarkan dengan seluruh perhatiannya. Matanya tajam, napasnya ditahan, seakan sedikit suara pun bisa mengganggu penjelasan yang tengah mengalir.
Pria tua itu melanjutkan, suaranya semakin dalam. "Membentuk inti jiwa berarti menciptakan kembali calon jiwa baru. Jiwa ini akan menjadi dasar kekuatanmu saat kelak mencoba menembus Nascent Soul. Karena itu... tidak boleh ada kegagalan. Jika gagal, jiwa bawaanmu akan hancur bersamaan dengan inti jiwa yang runtuh. Artinya, kematian mutlak."
Xu Hao merasakan punggungnya merinding. Namun ia tidak memotong kata-kata itu, hanya mengangguk perlahan, matanya semakin serius.
Pria tua berpakaian Konfusian itu kemudian berkata, "Untuk melakukan pembentukan inti jiwa, kau harus mencari tempat yang dipenuhi esensi jiwa murni. Tempat-tempat semacam itu sangat langka, tetapi hanya di sanalah inti jiwamu dapat ditempa dengan stabil. Ada pula jalan pintas... dengan merebut atau membunuh kultivator Core Formation lain untuk mengambil inti jiwa mereka."
Mata Xu Hao menyipit. Wajahnya keras, lalu ia menggeleng kuat. "Aku lebih baik membentuk inti jiwaku sendiri, meski membutuhkan waktu lama. Aku tidak akan menggunakan inti jiwa milik orang lain."
Senyum tipis muncul di wajah pria tua itu. Tatapannya berubah lembut, berbeda dari tajamnya sebelumnya. "Kau memiliki pikiran yang benar. Aku berharap di masa depan kau tetap seperti ini... tidak berubah meski jalanmu penuh rintangan."
Xu Hao menatap lurus, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Tenang saja. Di masa depan aku akan tetap menjadi diriku sendiri."
Tubuh pria tua berpakaian Konfusian itu mulai memudar, seolah cahaya dari dalam dirinya perlahan tersapu oleh angin abadi. Suaranya bergema di antara kesunyian dimensi gelap itu, berat namun hangat.
“Rekan Dao… di ujung benua Qiyuan, ada sebuah goa yang kutinggalkan saat aku masih muda. Di sana tersimpan giok hijau yang memelihara esensi jiwa murni. Itu akan membantumu membentuk inti jiwa. Anggaplah ini warisan kecilku untukmu. Semoga bisa menjadi penopang di jalan panjangmu.”
Mata Xu Hao melebar. Ia tertegun, lalu buru-buru maju setengah langkah. “Tunggu… jangan pergi dulu!” Tangan Xu Hao terulur, bergetar penuh harap, namun yang ia sentuh hanyalah kehampaan. Jarinya menembus tubuh samar itu, seakan mencoba meraih kabut.
Pria tua itu tersenyum tipis, matanya penuh kebijaksanaan. “Jangan bersedih, Rekan Dao. Di masa depan, kita pasti akan bertemu lagi. Aku menunggumu di puncak dunia. Aku yakin, seseorang seunik dirimu akan mampu berdiri di sana.”
Kata-kata terakhir itu bergema bagaikan mantra yang membakar hati. Sesudahnya, tubuh sang pria lenyap, sirna seperti debu yang tertiup angin.
Dimensi gelap mendadak bergetar. Dari titik tempat pria tua itu hilang, retakan bercahaya merambat cepat, seperti kaca yang dilempari batu. Suara pecahnya ruang menggema, lalu segalanya runtuh. Cahaya menyilaukan menelan pandangan Xu Hao.
Ketika ia kembali sadar, tubuhnya sudah berdiri di sebuah lembah berbatu. Langit biru terbentang, matahari masih meninggi, sinarnya menusuk tajam di sela bebatuan yang menjulang. Angin siang membawa hawa panas, kontras dengan kesunyian dimensi gelap tadi.
Xu Hao menunduk, kedua matanya bergetar hebat. Tanpa ia sadari, air mata mengalir deras dari sudut matanya, jatuh ke tanah berbatu. Bibirnya bergetar, suaranya lirih nyaris patah.
“Rekan Dao…? Aku… dipanggil Rekan Dao…”
Tiba-tiba tawanya pecah, keras, penuh gejolak, seperti orang gila yang menertawakan dirinya sendiri. Namun di balik tawa itu ada kepuasan dan rasa haru yang tak bisa dibendung.
“Hahaha… hahahahaaa!”
Xu Hao menatap ke langit, air matanya masih menetes di pipi. Suaranya serak namun penuh semangat.
“Ayah… Ibu… lihatlah. Kalian pernah berkata, seseorang hanya dipanggil Rekan Dao bila mereka benar-benar setara. Jika tidak, itu mustahil. Tapi aku… aku dipanggil Rekan Dao oleh seseorang yang kekuatannya entah berada di ranah apa, jauh di atas diriku yang lemah ini!”
Tatapannya menembus langit, seakan mencari wajah orang tuanya di antara awan. “Aku tidak tahu mengapa pria tua itu memanggilku demikian. Tapi… jika aku menceritakan ini pada Paman Cuyo, dia pasti akan mengangguk sambil berkata, ‘Orang tua berpakaian Konfusian itu memang gila dan aneh sekali.’”
Lalu Xu Hao menunduk, langkah Xu Hao perlahan maju. Tubuhnya terlihat seperti kelelahan, namun sorot matanya kini menyala, dipenuhi tekad yang tak tergoyahkan.
“Benua Qiyuan… besar sekali. Aku harus ke sana. Goa itu… giok hijau itu… akan menjadi kunci pembentukan inti jiwaku.”
Langkah Xu Hao masih berat dan pikirannya kosong ketika ia menapaki lembah berbatu yang terpanggang terik matahari. Hawa panas memantul dari dinding-dinding batu, membuat udara bergetar seperti tirai ilusi. Xu Hao menunduk, wajahnya kaku, hanya membiarkan tubuhnya berjalan tanpa arah seakan kaki bergerak sendiri.
Namun setelah beberapa puluh langkah, kesadarannya perlahan kembali. Ia berhenti, menatap ke tanah yang retak-retak oleh panas, lalu bergumam pelan.
“Dua kali aku bertemu dengan pria tua yang menolongku. Tapi keduanya tidak memberiku waktu untuk bertanya lebih banyak.” Xu Hao mendengus kecil, lalu mengangkat kepalanya. “Apa kultivator kuat memang suka bermain peran menjadi misterius?”
Ia menggelengkan kepalanya, seakan menolak untuk memikirkan lebih jauh. “Tidak usah terlalu dipikirkan. Kalau terus kupendam, ini hanya akan mengganggu pikiranku… menggerogoti mental yang seharusnya kujaga.”
Dengan satu tarikan napas panjang, Xu Hao mengangkat tangannya. Cahaya perak berkilau keluar dari cincin pengasihan di jarinya. Dalam sekejap, pedang terbang berwarna perak muncul di hadapannya, tubuhnya memantulkan sinar tajam yang menari di bawah cahaya matahari.
Xu Hao melangkah ke atas pedang itu. Tubuhnya terangkat, lalu pedang melesat ke langit, meninggalkan jejak angin yang membelah udara. Hembusan keras menerpa wajah dan pakaian biru sederhananya, membuat kainnya berkibar liar di udara. Namun mata Xu Hao tetap lurus ke depan, fokus, penuh tekad.
Di antara suara angin yang meraung, Xu Hao bergumam, nadanya separuh getir, separuh kesal.
“Pria tua Konfiusme itu memang keterlaluan. Menyuruhku pergi ke ujung benua Qiyuan. Tapi… ujung yang mana? Ujung benua ada di mana-mana. Ujung timur, barat, selatan, atau utara? Mengapa harus berbicara seakan semuanya jelas?”
Dia terdiam, mengingat kata-kata Paman Cuyo. “Menurut Paman Cuyo… benua Qiyuan adalah benua luas dengan banyak wilayah yang bahkan belum dijamah manusia. Ada tempat-tempat liar yang bahkan para kultivator enggan menapakinya. Kenapa bisa begitu? Apa tempat-tempat itu benar-benar sebahaya itu?”
Pikirannya tenggelam dalam pertanyaan, namun tak ada jawaban. Pedang perak terus membawanya terbang di langit biru dengan kecepatan sedang, cukup untuk menembus angin namun tidak memaksakan tubuhnya yang masih belum pulih sepenuhnya.
Mendadak, wajah Xu Hao menegang. Ingatan tentang altar dalam gua kembali menyeruak. Bayangan wanita bergaun hijau dan pria kekar yang menyiksanya terpantul jelas di benaknya. Luka batin yang mereka tinggalkan seakan masih segar.
Tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Suaranya rendah, mengandung bara api dendam yang menyala.
“Kalian… tunggu saja. Saat aku sudah berada di Ranah Nascent Soul… aku akan membalas semua penghinaan ini.”
Tatapan matanya berubah tajam, sinarnya menusuk bagaikan bilah pedang yang siap menebas. Amarah membuncah, namun di dalamnya ia tahu kenyataan yang tak bisa dipungkiri.
Xu Hao menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. “Sekarang aku bukan siapa-siapa. Dengan Ranah Foundation Establishment tahap akhir, aku bahkan tidak bisa menyentuh bayangan kultivator Nascent Soul. Apalagi melawan mereka. Semua hanya akan berakhir dengan kematian sia-sia.”
Sorot matanya yang penuh amarah melembut sedikit, diganti dengan tekad dingin. Ia tahu bahwa menahan diri adalah satu-satunya jalan. Menunggu, memperkuat diri, lalu membalas dengan kekuatan mutlak.
Pedang peraknya terus melesat di udara, membelah awan tipis. Pakaian biru sederhana Xu Hao berkibar di tengah langit yang luas, sementara hatinya bergejolak dengan campuran kemarahan, tekad, dan harapan samar. Jalan di depannya masih panjang, dan dia tahu setiap langkah hanyalah awal dari pertempuran besar yang menunggu.
Langit siang perlahan berubah warna. Awan-awan putih berganti dengan rona keemasan yang seolah dicat kuas alam. Xu Hao berdiri di atas pedang peraknya, tubuhnya melayang stabil di udara. Angin senja menampar wajahnya, namun ia tetap menatap jauh ke depan. Di bawahnya terbentang pegunungan menjulang, lembah dalam, serta hutan lebat yang tak berujung. Perjalanan ini terasa sunyi, tetapi juga luas dan penuh misteri.
Xu Hao menikmati pemandangan, meski hatinya digelayuti kebingungan. “Ujung benua Qiyuan… yang mana yang dimaksud pria tua itu?” pikirnya. “Setiap arah adalah ujung, lalu ke mana aku harus melangkah?”
Namun ketenangan itu seketika terputus. Dari kejauhan, sosok seseorang terlihat melesat di langit, mendekatinya dengan kecepatan menakutkan. Xu Hao langsung mengerutkan kening. Tanpa ragu, ia menyalurkan Qi ke pedang terbang peraknya, mempercepat laju terbangnya menembus angin sore.
Tetapi, sebelum sempat menjauh, sosok itu sudah muncul tepat sepuluh meter di depannya. Seolah ruang kosong tidak lagi memiliki arti bagi pria tersebut. Xu Hao mendadak menghentikan pedangnya. Sosok itu ternyata seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun, berjubah abu-abu, wajahnya datar tanpa senyum. Tatapannya dingin, penuh tekanan.
“Orang ini… kekuatannya jauh di atasku.” Xu Hao langsung berbalik, melesat dengan sekuat tenaga ke arah berlawanan. Pedang peraknya bergetar oleh dorongan Qi yang berlebihan. Namun sekali lagi, sosok pria berjubah abu-abu itu muncul di hadapannya, sama persis jaraknya. Seakan-akan ruang adalah miliknya.
Pria itu berbicara dengan suara datar. “Jangan lari lagi. Jika kau terus lari, aku akan membunuhmu.”
Xu Hao mengernyit, tubuhnya menegang, lalu berkata. “Apa yang kau inginkan dariku?”
Pria itu menatapnya tanpa emosi, kemudian berkata. “Serahkan Buku Sepuluh Perubahan. Itu bukan sesuatu yang bisa kau gunakan.”
Xu Hao mengepalkan tangan. “Jadi kau ingin merampokku?”
Pria itu menggeleng perlahan. “Bukan merampok. Aku akan memberikan kompensasi untuk itu.”
Xu Hao menatap curiga. “Kompensasi? Tapi aku bisa membaca buku itu. Apa maksudmu aku tidak bisa menggunakannya?”
Pria itu mengangkat alisnya tipis. “Buku itu adalah peninggalan kultivator iblis kuno. Tidak semua orang bisa mempelajarinya. Bahkan jika kau bisa membaca, tubuh dan jiwamu mungkin tidak cocok. Jika kau memaksa, itu hanya akan menjadi racun dalam dantianmu.”
Xu Hao terdiam. Di dalam hatinya, badai kecil berkecamuk. Jika ia menolak, kemungkinan besar ia akan kehilangan buku itu dengan paksa. Dan mungkin nyawanya pun ikut melayang. Ia tidak bisa merasakan aura pria itu, seolah kekuatannya disembunyikan dengan sempurna. Justru itulah tanda paling berbahaya.
Akhirnya, Xu Hao menarik napas panjang. “Kalau begitu… kompensasi apa yang bisa kau berikan?”
Tatapan pria berjubah abu-abu itu menyapu tubuh Xu Hao, lalu berhenti pada jari yang mengenakan cincin penyimpanan. Ia tersenyum samar. “Aku bisa menghapus aroma dan aura tanaman seribu tahun yang ada di cincin penyimpananmu. Dengan begitu, kau tidak perlu khawatir akan diburu para kultivator kuat.”
Mata Xu Hao terbelalak. Jantungnya berdegup keras. “Dia tahu… tentang tanaman seribu tahun…” gumamnya. Ia mencoba menenangkan diri, lalu berkata. “Baiklah. Tapi aku ingin tambahan sebuah informasi.”
Pria itu mengangkat dagu. “Katakan.”
Xu Hao berpikir sejenak, kemudian bertanya dengan suara serius. “Apa kau tahu letak ujung benua Qiyuan… dan sebuah gua yang ada di sana?”
Pria itu menatapnya dalam, lalu berkata datar. “Ujung mana yang kau maksud? Ujung benua Qiyuan itu ada di mana saja. Begitu pula gua. Jumlahnya tak terhitung.”
Xu Hao menghela napas kecewa. “Aku tidak tahu pasti. Hanya seorang pria tua berpakaian Konfiusme yang memberitahuku.”
Pria berjubah abu-abu itu terdiam beberapa saat, seakan mengukur kebenaran kata-kata Xu Hao. Akhirnya ia berkata. “Kalau begitu, pergilah ke arah timur. Dengan kecepatanmu, kau butuh tiga hari perjalanan. Empat hari dari sekarang, sebuah alam rahasia akan terbuka. Banyak kultivator di bawah Ranah Nascent Soul akan datang untuk menjelajahinya. Letaknya cukup dekat dengan ujung timur benua Qiyuan. Jika kau ingin mencari sesuatu, mungkin di sana ada jawabannya.”
Xu Hao termenung, lalu mengangguk. “Baiklah. Terima kasih atas informasinya.”
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebuah buku dari cincin penyimpanannya. Kulit buku itu kusam, namun aura kuno yang samar terpancar darinya. Xu Hao melemparkannya ke arah pria berjubah abu-abu.
Pria itu menyambutnya dengan satu tangan, matanya berbinar puas. Ia segera menyimpan Buku Sepuluh Perubahan ke dalam cincin penyimpanannya.
Xu Hao berkata pelan, tetapi penuh ketegasan. “Sekarang, tepati kata-katamu.”
Pria itu mengangguk. Ia mengangkat jarinya, lalu menyalurkan Qi hijau yang bercahaya lembut. Cahaya itu melesat dan menyelimuti cincin penyimpanan Xu Hao. Aura hijau berputar, lalu menghilang seakan diserap ke dalam.
“Sudah selesai,” kata pria itu. “Dengan itu, aroma dan aura tanaman seribu tahun tidak akan lagi bisa dirasakan siapa pun. Cincin penyimpananmu pun tidak akan membocorkan aura benda apapun di dalamnya.”
Xu Hao menatap cincin itu. Ia bisa merasakan keheningan baru di sekitarnya, seolah seluruh isinya tenggelam dalam kegelapan yang sempurna. Ia mengangguk, puas.
Pria itu lalu melemparkan sebuah buku tipis. Xu Hao meraihnya, melihat sekilas judulnya. Itu adalah sebuah teknik bela diri yang jelas disesuaikan untuk kultivator Ranah Foundation Establishment. Xu Hao terdiam, kemudian menyimpannya ke dalam cincin penyimpanan.
“Terima kasih,” ucapnya dengan suara datar.
Pria berjubah abu-abu itu menatapnya sekali lagi. Kali ini, matanya penuh sindiran. “Kau masih muda. Ku harap kau memiliki sedikit sopan santun. Jika kau bertemu dengan seseorang yang kekuatannya jauh di atasmu, panggil dia dengan sebutan senior. Itu bisa menyelamatkan hidupmu… dan menghindari masalah yang tidak perlu.”
Setelah berkata demikian, pria itu berbalik. Tubuhnya bergetar, lalu melesat bagaikan kilatan cahaya, lenyap di balik cakrawala sore.
Xu Hao berdiri membisu di atas pedang peraknya. Suara angin kembali memenuhi telinganya. Ia bergumam lirih. “Pria itu benar… Paman Cuyo juga pernah berkata begitu.”
Ia menatap ke timur, ke arah tempat yang akan ia tuju. Dalam hatinya, tekad kembali mengeras. Perjalanan menuju timur baru saja dimulai.