Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Rumah Kita
"Rumah yang waktu itu jadi dibeli, Sel?"
"Jadi, malahan katanya nanti sore rumah itu udah ada yang nempatin.
"Dibayar kontan?"
Yang ditanyai itu mengangguk. "Kontan, mana nggak pake nawar lagi belinya. Gila nggak mantan lakimu itu, beli rumah udah kayak beli permen aja."
Lina mendengus. Di pagi menjelang siang ini, moodnya sudah benar-benar rusak saat mengendarai mobilnya menuju rumah Sela, tanpa sengaja ia melihat ada beberapa orang yang menurunkan banyak barang dari truk besar dan dibawa ke dalam rumah besar dengan halaman yang sangat luas itu.
Mood Lina benar-benar hancur total. Niatnya datang ke rumah Sela hendak mengajak temannya itu cuci mata di mall malah disuguhkan pemandangan yang memunculkan rasa tak terima dalam hatinya.
Bagaimana bisa mantan suaminya itu bisa berlaku tidak adil seperti itu?
Jika dibandingkan rumah mereka yang dulu dengan rumah yang sekarang dibeli oleh mantan suaminya itu, perbedaannya jelas sangat mencolok.
Rumah yang dulu mereka tempati dan diberikan begitu saja padanya sebagai harta gono gini itu harganya tak sampai harus menguras isi rekening terlalu dalam. Bahkan rumah serta halamannya saja tak seluas bila dibandingkan dengan rumah yang entah dibelikan untuk siapa oleh mantan suaminya itu. Dari desain bangunannya juga bikin sakit hati saat mengingatnya.
Lalu mengenai perbandingan harga, jelas tidak perlu dipertanyakan lagi. Sampai-sampai Lina rasanya ingin mengamuk begitu mengingat seberapa mahal harga rumah dengan halamannya yang menurutnya sangat luas itu.
"Udah deh, Lin, nggak usah dipikirkan lagi. Lagi pula, bukannya kamu lebih merasa bebas sekarang. Bebas melampiaskan hasr4t liarmu yang sulit terpuaskan itu dan kamu juga nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi buat ngebawa seberapa banyak pun laki-laki ke atas ranjangmu."
"Dari mana kamu tau kalau rumah itu dibeli secara kontan?" Lina tak menggubris apapun yang Sela katakan. Sebaliknya pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan akan rumah mewah dengan halaman super luas itu.
Sela menghela napas. Sikap Lina yang keras kepala dan suka semaunya sendiri itu seringkali membuatnya kesal. Tapi, karena mereka sudah berteman lama, Sela masih bisa mengatasinya.
Tidak ingin teman yang punya 'hobi' yang sama dengannya itu semakin rusak moodnya, Sela segera menjawab, "Salah satu pegawainya Daffa yang memberitahuku. Awalnya aku nggak tertarik sama sekali buat nyari tau apapun mengenai apa yang mantan suamimu itu lakukan. Tapi, lelaki itu, sambil genj0t, mulutnya terus aja ngoceh, bilang kalau salah satu teman bossnya beli rumah nggak pake nawar lagi. Kontan dan langsung ditransfer uangnya. Termasuk semua perabotan yang diantar pake truk besar itu."
"Kau 'main' sama pegawainya Daffa?" tanya Lina dengan ekspresi tak percaya.
"Kalau soal duit, sudah pasti aku bakalan buka kakiku di hadapan aki-aki yang bangkotan itu. Tapi kalau soal kepuas4n, aku juga butuh nyari yang masih perkasa, Lin. Sama kayak kamu, hasr4tku juga nggak akan terpuaskan bila hanya mengandalkan genj0tan dari aki-aki yang udah bau tanah itu." jawab Sela ringan, seolah mereka hanya sedang membahas membeli pakaian saja.
Lina tak lagi mengatakan apa-apa. Sambil duduk meringkuk di atas sofa di ruang tamu rumah Sela, yang sifatnya ditempatkan persis di dekat jendela, wanita yang mengenakan kemeja ketat berwarna putih sebagai atasan dan celana jeans sebagai bawahan itu, duduk melamun sambil membayangkan wajah tampan nan menawan mantan suaminya.
Dari semua pria yang dikenalnya, baik yang pernah naik ke atas ranjangnya ataupun hanya saling mengulum dan meremas di sofa di ruang private sebuah klub, hanya Armand satu-satunya yang paling tampan diantara mereka semua.
Lalu mengenai kekayaan, sudah jelas Armand adalah pemenangnya.
Hanya saja, hasr4t Lina terlalu menggelegak. Dirinya selalu merasa kurang bila hanya bercinta dengan satu pria saja.
Jadilah Lina selalu berpetualang. Membawa banyak pria ke atas ranjangnya, bahkan setelah dirinya menikah. Ketidak-beradaan suaminya di rumah, membuatnya leluasa membawa pria mana pun masuk ke rumah yang mereka tempati dulu.
Rasanya benar-benar mendebarkan sekaligus memicu adrenalin, merasa antusias tiap kali memikirkan bisa bercinta dengan pria mana pun tanpa diketahui oleh suaminya.
Untungnya pembantu hanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Sedangkan untuk yang menjaga keamanan, karena kompleks tempat tinggal mereka dulu terkenal sangat aman, jadinya Lina tidak meminta mantan suaminya mempekerjakan security untuk menjaga rumah mereka dulu.
Segalanya seakan dipermudah. Lina juga perlu menahan desah4n serta engahan napasnya kala ia sedang mendaki puncak menuju kepuasan.
Namun, seperti kata pepatah, 'sepandai-pandainya menyimpan bangk4i, suatu saat pasti akan ketahuan juga'.
Hari itu rupanya merupakan hari apes bagi Lina. Tanpa disangka mantan suaminya pulang tanpa pemberitahuan dan memergokinya dalam keadaan dimana bukti 'tongkat" Dani yang menegak masih terbenam dalam dirinya.
Lina menghembuskan napas berat saat mengingat kembali hal itu.
Penyesalan sudah pasti Lina rasakan. Tapi, Lina juga merasa kesal sekaligus marah.
Kenapa mantan suaminya itu tidak mau memaafkan dirinya?
Atau, menurut pikirnya, Lina mau mantan suaminya itu tetap menjadi suaminya dan tak mempermasalahkan mengenai dirinya yang suka berpetualang dengan banyak pria.
Toh pada akhirnya Lina akan selalu kembali ke rumah. Kembali ke dalam pelukan mantan suaminya yang hangat.
Egois, ya, tentu saja Lina tak membantah bila dirinya disebut egois karena menginginkan hal yang tidak tahu malu dan juga tidak masuk akal itu. Namun, bukankah tiap manusia mempunyai sisi egois dalam dirinya?
"Ke sana yok, Sel." tiba-tiba saja Lina bersuara setelah merasa putus asa dengan isi kepalanya yang tak terpenuhi.
"Mau ngapain, hm? Mau bikin keributan?" Sela mengangkat sebelah alis saat memandang wanita yang duduk di sampingnya itu. Saat melihat Lina mengedikkan bahunya santai, Sela mendengus seraya mengatakan, "Gila kamu, Lin. Mikir dong pake otak, jangan pake dengkul. Emangnya kamu nggak ngeliat ada dua security yang berjaga di depan pagar?"
"Security?" Lina bertanya dengan nada tak percaya.
Sela langsung mengangguk. "Mereka udah mulai bekerja kemarin siang. Dua orang buat ngejaga waktu siang hari dan dua orang lagi ngejaga pas malam."
"Gila." Lina berdecak kesal. "Mas Armand sampe segitunya cuma buat ngejaga entah siapapun perempuan yang pengen dia nikahin."
Rasa tak rela Lina semakin membesar.
Ini tidak bisa dibiarkan. Lina tidak akan membiarkan mantan suaminya itu bahagia selain dengannya.
*****
"Selamat datang di rumah kita, Dek."
Nissa masih terdiam bagaikan patung. Di tengah ruang tamu yang jauh lebih luas dan pastinya lebih modern dari rumah ibu mertuanya di desa, Nissa mengedarkan pandangannya ke seluruhnya ruangan.
Belum pernah seumur hidupnya, ia melihat rumah sebagus dan semewah ini. Meski hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu, orang awam seperti Nissa pun mengetahui pasti kayu yang digunakan untuk membangun rumah ini kualitasnya pasti lah sangat bagus. Sampai-sampai membuat Nissa masih belum bisa mengucapkan sepatah kata pun sejak menginjakkan kaki di dalam rumah ini.
Rumah kita!
Satu kalimat pendek tersebut entah mengapa bisa langsung menimbulkan rasa hangat dalam hati Nissa.
Sekarang dirinya memiliki tempat yang bisa disebutnya sebagai rumah. Bukan rumah dimana dirinya hanya sekedar menumpang, tapi rumah dimana dirinya bisa tinggal dengan leluasa di sana tanpa harus memikirkan apapun.
"Mikirin apa sih, istri Mas yang cantik ini?"
Nissa tersentak. Pelukan erat di pinggang, bisikan tepat di telinga, serta dada bidang yang menempel erat di punggungnya, membuat Nissa kesulitan bernapas.
Kemudian, hembusan napasnya menjadi memburu saat merasakan telapak tangan besar itu membelai lembut perutnya.
"Mas nggak sabar pengen ngeliat anak Mas tumbuh di dalam sini, Dek." suara Armand lembut merayu, menghembuskan napas tepat di telinga Nissa, yang tubuhnya langsung tenggelam dalam pelukannya. "Mas nggak ngelarang kalau kamu mau kuliah setelah lulus ujian paket C nanti. Tapi, sambil kuliah bukan berarti kamu nggak boleh hamil, kan? Nggak ada larangan juga. Jadi, malam nanti, pasrahkan dirimu sama mas ya, Dek. Biarkan Mas mulai menanam benih di 'lahanmu' yang belum pernah terjamah itu."
Sungguh, sekarang ini Nissa rasanya ingin pingsan saja. Bisikan di telinganya dengan suara serak mendayu itu seakan bisa mengalirkan aliran listrik ke sekujur tubuh, menciptakan gelenyar gelisah dan membuatnya pikirannya jadi memikirkan hal yang tak seharusnya ia pikirkan.
Salahkan saja hal itu pada Lala. Karena sebelum berangkat ke kota, kakak angkatnya itu telah lebih dulu menceritakan banyak hal padanya, mengenai hubungan antar lawan jenis dan juga beberapa kata yang baru kini Nissa ketahui apa artinya, memenuhi kepala Nissa dengan hal-hal yang selama ini tidak pernah sekali pun pernah terpikirkan olehnya.
"Kamu nggak mau ya, Nis, hamil anak Mas?"
"Buk... bukannya gi... gitu, Mas." tergagap Nissa berusaha menjawab perkataan suaminya. Karena malu, Nissa terus menatap ke depan dan tak berani menoleh ke arah pria yang kini bisa ia rasakan sedang menyusupkan wajah di celah lehernya.
"Berarti malam ini, Mas boleh memiliki kamu seutuhnya, kan?" tanya Armand lambat-lambat. Bahkan pria yang sudah berusaha keras mengendalikan naluri liar dalam dirinya itu kini mengecup ringan leher istrinya yang putih mulus tanpa noda.
Tubuh Nissa sontak menggelinjang. Napasnya tertahan. Desah4nnya tak dapat dibendung saat merasakan kecupan di lehernya yang membuat bulu di sekujur tubuhnya meremang.
Yang lebih membuat Nissa bingung, dari jilatan di lehernya itu terasa ada aliran panas yang menjalar hingga ke pangkal pah4, yang menyebabkan area sensitifnya berdenyut tanpa ia ketahui alasannya kenapa bisa sampai seperti itu.
'Ada apa ini?'
'Kenapa reaksi tubuhnya seperti ini?'
"Mas... " suara Nissa bergetar saat memanggil suaminya itu. Napasnya bahkan tertahan saat kembali merasakan kecupan yang menjalar dari leher hingga ke telinganya. "Nan... nanti ada orang yang liat. Mba... mbak Lala atau satpam di luar." imbuhnya susah payah.
"Lala baru besok nyusul sama Fandy, Dek." Armand kini menggigit kecil daun telinga gadis yang tenggelam dalam pelukannya itu. "Kalau satpam, mereka nggak akan berani masuk ke sini tanpa Mas panggil. Jadi, sore ini sampai besok sorenya lagi, kita bebas ngapain aja di sini. Bahkan telanj4ng bul4t juga nggak akan ada yang bisa liat."
"Mas... " kedua mata Nissa membuka lebar. Perkataan frontal suaminya membuat ia merinding jadinya.
"Sumpah, Dek, Mas udah nggak kuat lagi nahan lama-lama." Armand berbisik lirih. Sambil terus mengecupi leher putih istrinya, Armand menyibak rambut panjang gadis mungilnya itu ke samping. Kemudian, kecupan bertubi Armand layangkan di tengkuk mulus beraroma harum bunga mawar tersebut. "Izinkan Mas untuk memilikimu sekarang ya, Nis. Kamu bisa merasakan sendiri betapa Mas sangat ingin menenggelamkan diri Mas di dalam dirimu."
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, sengaja Armand semakin merapatkan erat tubuh bagian bawahnya ke tubuh gadis mungil yang dipeluknya itu. Merasakan tubuhnya yang dipeluknya itu bergetar serta suara helaan napasnya terdengar putus-putus, Armand tersenyum senang karena berhasil membuat istrinya yang polos mengerti apa yang ia mau.
Armand sudah bersiap menjulurkan lid4h, hendak menjilati tengkuk mulus nan putih itu, namun suara bell yang terdengar berulang-ulang sudah lebih dulu menggagalkan niatnya tersebut.
Umpatan dari bibir Armand terucap sangat pelan. Ia merutuki siapapun yang sudah berani mengganggu waktu pribadinya bersama istrinya.
Siapapun itu orangnya, yang sudah berani merusak momen intimnya bersama sang istri, Armand tak akan membiarkannya begitu saja. Lihat saja, Armand akan membikin perhitungan dengan orang kurang kerjaan itu.
Dengan berat hati Armand pun melepaskan Nissa dari lingkupan kedua tangannya setelah terlebih dahulu mengucap ringan tengkuk yang kini terlihat sedikit memerah itu.