Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi Pagi dan Rahasia yang Terungkap
Keesokan harinya, pukul setengah tujuh pagi, sinar matahari yang hangat menyusup ke kamar Valeria. Ia terbangun dengan perasaan damai, senyum kecil terukir di wajahnya saat ia melihat boneka beruang di sampingnya. Malam yang penuh ketegangan itu terasa seperti kenangan jauh.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk pelan. "Val, udah bangun?"
Suara itu milik Tante Kiara. Valeria bangkit dan membuka pintu.
"Pagi, Tante," sapa Valeria.
"Pagi," balas Tante Kiara. " Tante mau ajak kamu jogging. Biar lebih sehat dan seger. Mau, enggak?"
Valeria terkejut, namun matanya berbinar. Ia tidak pernah diajak melakukan hal seperti itu. "Mau!" jawabnya bersemangat.
"Ayo pergi!" ajak Tante Kiara kepada Valeria.
Tepat saat itu, Diandra keluar dari kamarnya yang akan berjalan menuju dapur. Ia menghentikan langkahnya saat melihat Kiara dan Valeria di depan kamar valeria.
"Kamu mau ke mana, Kiara?" tanya Diandra, suaranya terdengar dingin.
"Jogging, Mbak. Mau ikut? Kita mau jogging ke taman," jawab Kiara, mencoba terdengar santai.
Diandra menggeleng. "Enggak, jam delapan Mbak harus berangkat."
"Oke kalau gitu," kata Kiara, kembali bersiap untuk pergi.
Namun, mata Diandra tak sengaja melirik ke dalam kamar Valeria. Ia terdiam, matanya terpaku pada boneka beruang besar yang tergeletak di atas kasur. Wajahnya berubah curiga.
"Boneka dari mana? Sejak kapan kamu punya boneka itu?" tanya Diandra, suaranya tajam.
Kiara menatap Valeria. Valeria menatap Kiara. Keduanya saling bertukar pandang panik. Kiara menghela napas, berusaha tetap tenang.
"Online, Mbak. Kemarin Kiara beli," jawab Kiara, cepat.
"Benarkah? Tapi semalam Mbak lihat, enggak ada boneka," kata Diandra, tidak percaya.
Kiara melanjutkan kebohongannya, "Semalam di taruh di kamar aku. Baru pagi ini Kiara kasih ke Valeria, Mbak."
Diandra menatap Tante Kiara dan Valeria bergantian, lalu melirik kembali ke boneka di kasur. Kebohongan Kiara terdengar masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Diandra merasa ragu. Namun, ia terlalu lelah dan terburu-buru untuk menanyakannya lebih lanjut.
"Ya udah," kata Diandra, suaranya dingin. "Pokoknya kalian jangan aneh-aneh. Mbak mau ke dapur."
Diandra berbalik dan mulai menuruni tangga. Di saat yang sama, Tante Kiara dan Valeria pun berjalan menuruni tangga dan menuju pintu depan untuk pergi ke taman.
"Mbak, kita berangkat dulu, ya!" pamit Kiara.
"Hati-hati," balas Diandra, tanpa menoleh.
Mereka pun keluar. Saat mereka keluar, Damian yang baru saja ingin menghubungi Valeria melihat mereka berdua pergi.
Damian terdiam saat melihat Valeria dan Tante Kiara keluar dari rumah. Tangannya yang sudah siap menghubungi Valeria, perlahan ia turunkan. Napasnya terhela lega. Mereka aman. Ia melihat mereka berjalan santai menuju taman, tampak seperti pagi yang normal.
Damian tersenyum, hatinya dipenuhi kelegaan. Ia memutuskan untuk tidak menghubungi Valeria, membiarkan gadis itu menikmati pagi yang damai. Damian pun berbalik, berjalan kembali ke motornya, dan pulang. Ia tidak ingin mengganggu waktu Valeria dan tantenya.
...****************...
Di taman, Valeria dan Tante Kiara berjalan pelan, menikmati udara pagi yang sejuk. Mereka terdiam sejenak, sampai akhirnya Tante Kiara membuka percakapan.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya, suaranya lembut.
Valeria mengangguk. "Aku baik-baik aja, Tante. Terima kasih banyak, Tante."
"Tidak perlu berterima kasih," balas Kiara. "Yang penting, kamu harus lebih hati-hati lain kali. Mama kamu itu curigaan."
Valeria mengangguk lagi. Meskipun percakapan itu penuh peringatan, hati Valeria terasa hangat. Ia memiliki Tante Kiara di sisinya.
Tak jauh dari mereka, Fara dan Aluna juga sedang berolahraga. Tawa mereka terdengar dari kejauhan. Tak lama kemudian, Revan, Kian, dan Liam baru saja tiba di taman. Mereka melihat Fara, Aluna, serta Valeria dan Tante Kiara di kejauhan.
"Valeria!" seru Aluna, suaranya terdengar dari kejauhan.
Tante Kiara menoleh ke arah Aluna dan Fara. Ia menatap Valeria, memberikan isyarat seolah berkata, "Kalau mau menyapa atau bergabung dengan mereka, tidak apa-apa. Kalau tidak, Tante akan tetap menemani."
Valeria menggeleng. "Enggak, Tante. Aku mau sama Tante aja," katanya, keputusannya sudah bulat.
Valeria mengangkat tangannya, melambai. "Hai, Aluna! Gue duluan, ya!"
"Iya, Valeria," balas Aluna, terdengar bingung.
Tante Kiara menoleh ke arah mereka dan tersenyum tipis. "Ya udah, Aluna, Fara, kalau begitu kami permisi, ya."
"Iya, Tante," balas Fara dan Aluna serempak, masih terlihat bingung dengan situasi itu.
Valeria dan Tante Kiara pun berjalan pergi. Mereka tidak melihat tatapan terkejut dari Revan, Kian, dan Liam yang sedari tadi menyaksikan semuanya dari jauh. Revan menatap punggung Valeria, matanya dipenuhi keheranan.
Tante Kiara dan Valeria melanjutkan lari-lari kecil mereka di taman. Setelah beberapa saat, Tante Kiara memecah keheningan.
"Sebenarnya kalau kamu mau gabung juga enggak apa-apa, Val. Lagian Mama kamu juga enggak bakal tahu, kan," ucapnya.
Valeria terdiam sejenak. Ia melihat Fara dan Aluna di kejauhan, lalu menghela napas.
"Tante, memang bisa aja aku gabung sama mereka," kata Valeria, suaranya pelan. "Tapi masalahnya, aku masih kesal sama Fara. Aku memang udah maafin dia, tapi aku masih belum lupa apa yang dia lakukan sama aku. Tante, aku masih sebel setiap lihat dia."
Tante Kiara berhenti berlari. Ia menoleh ke arah Valeria, menepuk pundaknya dengan lembut, dan tersenyum tulus.
"Tidak apa-apa, Val," katanya, suaranya dipenuhi pengertian.
"Luka itu enggak bisa sembuh dalam semalam. Wajar kalau kamu masih merasa kesal."
"Memaafkan itu bukan berarti melupakan. Yang penting, kamu sudah memaafkan dia. Tapi, rasa kesal itu... biarkan aja. Itu bagian dari proses kamu. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya," lanjut Kiara, menatap mata Valeria.
Valeria terdiam, lalu ia mengangguk. Hatinya terasa lebih ringan. Ia tidak merasa sendirian lagi.
"Ya udah, ayo kita lanjut. Nanti jam delapan kita udahan, habis itu kita cari sarapan dekat-dekat sini," ajak Tante Kiara.
"Iya, Tante," jawab Valeria.
Mereka pun melanjutkan olahraga mereka. Langkah mereka terasa lebih ringan. Suasana pagi yang sejuk dan percakapan yang terbuka membuat hati Valeria terasa lebih damai.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Sementara itu, di tempat lain di taman, Revan, Kian, dan Liam menghentikan lari mereka. Mereka duduk di bangku, dan Revan masih menatap ke arah Valeria dan Tante Kiara yang semakin menjauh.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
"Gue enggak ngerti," kata Revan, suaranya dipenuhi kebingungan. "Kenapa dia kayak menghindar gitu?"
"Lo lihat sendiri, kan? Tadi dia bahkan enggak mau gabung sama Fara dan Aluna," timpal Liam.
"Iya, aneh banget. Biasanya kalau ketemu langsung nyamperin," tambah Kian.
Revan menghela napas. "Apa yang terjadi sebenarnya?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
Di saat yang sama, Aluna dan Fara duduk di bangku taman. Keheningan terasa canggung di antara mereka. Aluna masih menatap ke arah Valeria yang menjauh, sementara Fara menundukkan kepala.
"Aluna," panggil Fara pelan, suaranya bergetar. "Gue minta maaf."
Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap Fara, menunggu.
"Gue tahu, gue salah besar. Gue udah bohongin lo dan gue udah ngelakuin hal jahat ke Valeria. Gue... gue cuma terlalu iri dan cemburu," kata Fara, akhirnya mengakui kesalahannya. "Gue iri sama lo, dan gue cemburu sama Valeria."
Aluna menghela napas, lalu memeluk Fara.
"Fara, udah," kata Aluna, suaranya lembut. "Lo enggak usah bahas itu lagi. Gue sudah maafin lo, kok."
...Hanya ilustrasi gambar. ...
Fara membalas pelukan Aluna, tetapi air matanya menetes. "Tapi, lo jadi jauh sama Valeria. Padahal kalian baru aja dekat, tapi gue malah ngancurin kedekatan kalian. Sekarang kalian jadi jauhan," ucap Fara, dipenuhi penyesalan.
Aluna mengusap air mata Fara. Ia menatapnya dengan lembut.
"Fara, udah, stop. Jangan salahin diri lo lagi," kata Aluna. "Gue sama Valeria, kita masih temenan, kok. Dekat atau enggak, kita masih dekat. Ya, mungkin Valeria masih butuh waktu buat menerima semua ini, dan menerima lo."
Fara mengangguk, merasa sedikit lega. Kata-kata Aluna memberinya harapan. Ia tahu, meskipun Valeria masih marah, tidak semua hal sudah hancur.
"Kita tunggu saja," kata Aluna, suaranya dipenuhi harapan. "Semoga Valeria mau memaafkan kita sepenuhnya, dan hati dia terbuka lagi."
Fara mengangguk. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Alih-alih merasa sedih, hatinya kini dipenuhi harapan. Ia merasa lega karena setidaknya ia sudah jujur pada Aluna.
"Ayo," ajak Aluna, menepuk pundak Fara. "Kita lanjutin jogging."
Mereka pun berdiri dan mulai berlari pelan, melanjutkan olahraga mereka.
...****************...
Tak terasa, waktu sudah tepat pukul delapan. Tante Kiara melihat jam tangannya dan menghentikan langkahnya.
"Hah, Valeria, sudah jam delapan. Udahan, yuk. Ayo kita cari makan," ajaknya.
Wajah Valeria langsung berbinar. "Ayo, Tante! Kita mau makan apa?"
"Apa, ya? Bubur, kamu mau enggak?" tanya Kiara.
"Boleh!" jawab Valeria, antusias.
"Let's go, kita cari tukang bubur," kata Kiara, lalu keduanya berjalan meninggalkan taman.
Valeria dan Tante Kiara tiba di warung bubur pinggir jalan. Mereka memesan dua porsi bubur ayam, lalu duduk di bangku panjang, menikmati suasana pagi yang ramai. Udara terasa lebih ringan setelah olahraga dan percakapan mereka.
Tak lama, pesanan mereka tiba, hangat dan mengepul. Tepat saat itu, langkah kaki terdengar di belakang mereka.
Valeria dan Kiara mendongak. Di sana, di pintu masuk warung, berdiri Revan, Kian, dan Liam. Mata mereka bertemu. Pandangan mereka dipenuhi keterkejutan.
Tante Kiara tersenyum. Ia menatap Revan, Kian, dan Liam yang masih berdiri di depan pintu warung, terlihat kaget.
"Eh, kalian juga mau sarapan di sini?" sapa Kiara. "Ayo, sini! Gabung saja sama kita. Buburnya enak, lho!"
Revan, Kian, dan Liam saling berpandangan. Mereka masih canggung, tetapi tawaran Tante Kiara terasa tulus. Mereka pun mengangguk dan berjalan mendekat.
"Permisi, Tante," kata Revan. "Kita duduk di sana saja."
Tante Kiara menggeleng. "Sudah, enggak apa-apa. Di sini saja. Ayo," katanya, menepuk bangku di sampingnya.
Mereka pun duduk. Revan duduk di samping Tante Kiara, sementara Kian dan Liam duduk di seberangnya. Suasana terasa canggung. Valeria hanya menunduk, sibuk dengan buburnya.
Tante Kiara tersenyum tulus. Ia menepuk bahu Revan dan berkata,
"Ayo, Revan, kalian juga pesan. Tenang aja, Tante yang akan bayar."
Revan, Kian, dan Liam terkejut dengan kebaikan itu. Mereka saling berpandangan, lalu Revan tersenyum canggung.
"Eh, enggak usah, Tante," jawab Revan. "Biar kita saja yang bayar."
"Tidak apa-apa," balas Kiara, suaranya tegas tapi lembut. "Sudah sana, cepat pesan. "
Revan akhirnya menyerah dan mengangguk. Ia dan teman-temannya pun memesan. Setelah pesanan mereka datang, mereka semua duduk dalam keheningan yang canggung.
Suasana hening saat mereka menyantap bubur. Tante Kiara memecah keheningan dengan senyuman.
"Revan, kalau dilihat-lihat, kamu tambah tinggi, ya?" tanya Kiara, mencoba memancing percakapan. "Padahal waktu kecil kamu tuh lebih pendek dari Valeria. Apa memang gitu, ya, pertumbuhan laki-laki itu cepat banget tumbuhnya?"
Revan yang sedari tadi menunduk, langsung mengangkat kepalanya. Ia menoleh ke arah Kiara, lalu melirik sekilas ke arah Valeria yang masih fokus pada buburnya.
Revan tersenyum canggung. Ia menggaruk tengkuknya, lalu menatap Tante Kiara.
"Iya, Tante. Enggak sadar juga sih. Tahu-tahu sudah setinggi ini," jawab Revan. Ia kemudian melirik Valeria. "Waktu kecil, kita selalu main di taman bareng. Enggak nyangka, ya, Tante, sekarang sudah pada gede semua."
Valeria yang sedari tadi hanya menunduk, mengangkat kepalanya perlahan. Ia melihat Revan, tatapan matanya bertemu sejenak, namun ia langsung kembali menunduk ke arah buburnya.
Tante Kiara menatap Revan dengan senyum penuh kenangan.
"Bagaimana kabar Mama dan Papa kamu, Revan?" tanyanya.
"Sudah lama Tante enggak main ke sana. Terakhir, waktu kamu dan Valeria umur tujuh tahun, itu juga pas Tante antar Valeria ke ulang tahun kamu."
Valeria yang mendengarnya langsung mengangkat kepala. Ia memandang Tante Kiara, lalu menatap Revan. Kenangan tentang pesta ulang tahun itu muncul kembali di benaknya. Revan pun ikut terdiam, matanya menatap Valeria, mengingat kembali kenangan manis itu.
Revan tersenyum tipis. Wajahnya dipenuhi kenangan. "Mama dan Papa baik, Tante. Mereka sering nanya kabar Tante juga," jawabnya, suaranya lembut.
Revan kemudian menoleh ke arah Valeria, menatapnya lekat. " Gue juga masih ingat, Val. Pesta ulang tahun yang waktu itu tema nya superhero? Dan kita main lempar-lemparan kue sampai akhirnya dimarahin Mama gue ."
Valeria yang mendengarnya mengangkat kepalanya. Bibirnya membentuk senyum kecil, namun ia tidak mengatakan apa-apa. Kenangan itu terlalu kuat, terlalu nyata.
Valeria terdiam, senyumnya menghilang. Di dalam hatinya, ia membatin, " Ya, dan pulang nya gue yang dimarahin habis-habisan sama mama saat di rumah." Kenangan saat ia dimarahi Mama Diandra setelah pesta ulang tahun itu kembali terlintas di benaknya.
Revan yang melihat Valeria melamun, menyadarkannya. "Val, lo kenapa?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Valeria terkesiap. Ia menatap Revan, lalu menggeleng pelan.
"Enggak apa-apa," jawabnya, suaranya bergetar.
Tante Kiara yang menyadari perubahan ekspresi Valeria, segera mengalihkan pembicaraan. Ia tersenyum ke arah Revan, Kian, dan Liam. "Revan, Kian, dan Liam, kalian sudah lama berteman dekat, atau baru dari SMA ini saja?"
Kian menjawab, "Aku sama Liam, kita dulunya satu sekolah di SMP yang sama. Dan sekarang kita sekolah di sekolah yang sama dengan Revan."
Liam menimpali, "Ya, Tante. Kita baru kenal Revan pas masuk sekolah ini. Dan kita dekat dan jadi teman itu pas kelas 11."
"Benar, Tante. Pas kelas 10 kita beda kelas," Kian menambahkan. "Kalau aku sama Liam, kita sekelas."
Revan kemudian ikut berbicara. "Aku kelas 10 bareng Valeria, Tante. Dan kelas 11 ini baru kita enggak sekelas. Aku sekelas dengan Kian, Liam, dan Aluna. Ya, sekarang dengan Fara juga. Sedangkan Valeria, ia sekelas sama Damian, Keira, dan Naila."
Valeria mendongak, terkejut mendengar Revan menyebut nama-nama itu. Tante Kiara juga terlihat terkejut.
Tante Kiara mengangguk-angguk kecil, seolah mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Di dalam hati, ia membatin, "Hm, jadi Fara sekelas dengan mereka. Syukurlah, Fara tidak sekelas dengan Valeria." Ada kelegaan yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Ia tahu, alasan kenapa Valeria menghindari Fara.
Ia menatap Revan, Kian, dan Liam, kemudian senyum kecil terukir di wajahnya.
Tante Kiara melihat jam tangannya.
"Sudah jam segini, Val. Ayo kita pulang," katanya, lalu menoleh ke arah para laki-laki. "Revan, Kian, Liam, kami permisi duluan, ya."
"Iya, Tante. Makasih traktirnya," jawab Revan.
"Iya, Tante, terima kasih banyak," timpal Liam.
"Iya, sama-sama," balas Kiara.
"Bye, semua," kata Valeria, melambaikan tangannya.
"Bye, Valeria," balas Kian.
"Bye, Val," ucap Revan dan Liam serempak, menatapnya.
Tante Kiara kemudian berjalan ke Abang Bubur untuk membayar. Ia menghitung jumlah porsi yang dimakan.
"Totalnya berapa, Bang?" tanya Kiara.
"Berapa tadi? Dua porsi ?" tanya tukang bubur, kebingungan.
Kiara tersenyum. "Lima porsi, Bang. Sama yang duduk di sana,"
jawabnya sambil menunjuk ke arah Revan, Kian, dan Liam.
Para laki-laki terkejut. Mereka tidak menyangka Tante Kiara benar-benar akan membayarkan bubur mereka. Setelah Kiara membayar, ia melambaikan tangan.
Setelah Valeria dan Tante Kiara pergi, keheningan menyelimuti meja Revan, Kian, dan Liam. Mereka masih terkejut dengan kebaikan hati Tante Kiara.
"Gila, baik banget tantenya Valeria," kata Liam, memecah keheningan. "Bubur lima porsi dibayarin semua."
"Iya, Tante Kiara baik banget," timpal Kian, masih takjub.
Revan tidak merespons. Pikirannya masih melayang. Matanya menatap ke arah tempat Valeria dan Tante Kiara menghilang.
"Kenapa dia kayak menghindar gitu, ya?" gumam Revan, lebih pada dirinya sendiri. "Dia bahkan enggak mau gabung sama Fara dan Aluna. Ini aneh."
Kian dan Liam saling berpandangan, menyadari betapa bingungnya Revan.
"Menurut lo, apa yang terjadi, Van?" tanya Kian.
"Gue enggak tahu," jawab Revan, frustasi. "Kayaknya ada masalah. Tapi, dia enggak mau ngomong."
"Mungkin kita bisa tanya ke Damian," usul Liam. "Dia pasti tahu sesuatu."
"Hm, benar juga," kata Kian. "Akhir-akhir ini mereka dekat, dan mereka juga sepertinya cukup dekat. Siapa tahu Valeria cerita ke Damian."
"Ya udah, gue akan hubungi Damian. Kita janjian di kafe biasa aja," kata Revan, akhirnya membuat keputusan.
"Iya, ya udah kita pulang, mandi, ganti baju, baru ke kafe. Enggak mungkin kan dengan pakaian gini dan bau keringat," kata Liam, menunjuk pakaian olahraga mereka.
"Ya, benar. Kita pulang, setelah itu kita berangkat lagi ke kafe. Ya, sekitar jam... sekarang jam 08.30, jam 10.00 kita kumpul di kafe. Langsung ketemuan di sana aja," kata Kian, menyetujui.
"Oke, nanti gue hubungi Damian," kata Revan.
"Ya udah, yuk sekarang kita pulang," ajak Liam.
Setelah membuat rencana, Revan, Kian, dan Liam bergegas menuju parkiran motor. Sesampainya di sana, Revan mengeluarkan ponselnya. Ia mencari kontak Damian, lalu menekan tombol panggil.
Di saat yang sama, Damian sedang berada di kamarnya. Suasana di kamarnya tenang, hingga ponsel di sampingnya berdering.
Damian mengambil ponselnya. Di layar, tertera nama "Revan."
Tanpa ragu, ia menggeser tombol hijau.
"Halo?" sapa Damian.
"Damian, bisa ke kafe biasa, tempat kita biasa kumpul, jam 10.00?" tanya Revan tanpa basa-basi.
"Bisa," jawab Damian singkat.
"Oke, sampai ketemu di sana," kata Revan, dan panggilan pun berakhir.
Damian terdiam sejenak, bingung mengapa Revan tiba-tiba menghubunginya. Ia tidak punya firasat apa pun tentang apa yang akan terjadi.
Di parkiran, Kian dan Liam sudah menunggu dengan tidak sabar.
"Gimana, Van? Mau dia?" tanya Kian.
Revan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Dia akan datang," jawabnya, wajahnya terlihat serius.
"Oke," kata Kian.
"Ya udah, yuk, sekarang kita pulang," ajak Liam.
"Ya, hati-hati, kalian," kata Revan.
"Lo juga, Van," balas Kian.
Mereka pun mengendarai motor masing-masing, berpisah, dan menuju ke rumah mereka.
...****************...
Sesampainya di rumah, Valeria dan Tante Kiara disambut oleh keheningan. Rumah itu terasa sepi.
"Sepertinya Mama kamu sudah berangkat, Val," kata Kiara, memecah keheningan.
"Iya, Tante. Soalnya sepi seperti tidak ada kehidupan," jawab Valeria, suaranya terdengar pelan.
"Ya udah, kamu mandi terus siap-siap. Setelah itu kita berangkat belanja," ajak Kiara, tersenyum hangat.
"Iya, Tante. Kalau begitu, Valeria mau langsung ke kamar dan mandi," kata Valeria.
"Iya, sayang. Tante juga sama," balas Kiara. "Ayo kita siap-siap dan dandan yang cantik."
Mereka pun tertawa bersama, lalu melangkah ke kamar masing-masing. Di kamar, Valeria mulai memilih pakaian untuk pergi ke mal. Ia mengambil dress hitam selutut, jaket jeans biru, topi hitam dan sneakers putih. Setelah menyiapkan semuanya, ia bergegas menuju kamar mandi.
Di saat yang sama, di dalam kamarnya, Tante Kiara juga memilih pakaian yang senada. Ia mengambil dress hitam panjang, jaket jeans, topi hitam dan sneakers putih. Ia kemudian melangkah ke kamar mandi.
Beberapa jam kemudian, Valeria dan Tante Kiara akhirnya siap. Keduanya terlihat anggun dalam balutan dress hitam dan jaket jeans yang senada. Valeria tersenyum, merasa jauh lebih baik. Ia dan Tante Kiara pun berjalan keluar dari rumah.
"Sudah lama Tante enggak jalan-jalan begini," kata Kiara.
"Valeria juga, Tante. Sejak Mama ngatur semuanya, Valeria enggak pernah punya waktu buat diri sendiri," jawab Valeria jujur.
Mereka naik ke mobil. Tante Kiara melajukan mobilnya menuju mal.
...****************...
Revan, Kian, dan Liam sudah sampai di parkiran kafe tempat mereka biasa berkumpul. Mereka memarkirkan motor dan berjalan menuju pintu masuk. Tepat saat itu, sebuah mobil hitam berhenti di depan kafe. Pintu mobil terbuka, dan Damian keluar dari sana.
Mata mereka bertemu.
Suasana terasa tegang. Tidak ada yang memulai percakapan. Mereka berempat hanya berdiri di tempat, seolah sedang mengukur satu sama lain. Revan memandang Damian dengan tatapan penuh pertanyaan, sementara Damian menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Liam memecah keheningan dengan pertanyaan santai.
"Tumben, Dam, pakai mobil?" katanya. "Biasanya motor. Baru lihat gue lo bawa mobil."
"Iya, soalnya udah lama mobilnya enggak dipakai-pakai. Jadi sekarang gue pakai. Sayang kalau enggak dipakai, cepat rusak nanti," jawab Damian dengan tenang.
Revan mengangguk setuju. "Iya, sih, benar," katanya.
Suasana kembali sedikit tegang. Mereka masih berdiri, belum ada yang bergerak. Suasana pun menjadi canggung. Tiba-tiba Kian memecah keheningan yang canggung.
"Ehm, ya udah, yuk kita masuk ke dalam," katanya. "Enggak mungkin kan kita jauh-jauh ke sini, tapi ngobrolnya cuma di parkiran."
Revan mengangguk. "Iya, ya udah, yuk kita masuk."
Mereka berempat pun berjalan bersama. Liam dan Kian berjalan di depan, sementara Revan dan Damian mengikuti di belakang. Sesampainya di dalam, mereka memilih meja di sudut yang agak tersembunyi.
Setelah memesan minuman, mereka semua duduk. Suasana kembali terasa berat. Kali ini, tidak ada lagi topik basa-basi tentang mobil.
Damian menyesap minumannya sebelum meletakkannya kembali di meja. Ia menatap Revan, Kian, dan Liam bergantian.
...Hanya ilustrasi gambar. ...
"Jadi kita mau bahas apa?" katanya. "Biasanya kalau kita kumpul kayak gini, ada sesuatu yang ingin dibahas."
Revan langsung mengangguk. "Iya, soal Valeria. Kita, termasuk gue, masih bingung dengan sikap Valeria yang seolah-olah menghindar dari Fara dan Aluna." Ia menghela napas. "Lebih tepatnya terhadap Fara, jelas banget dia enggak mau dekat dan menghindarinya. Gue tahu Valeria belum benar-benar bisa memaafkan Fara, walaupun kita tahu Valeria memang sudah memaafkan Fara dan Aluna."
Kian menambahkan, "Ya, mungkin Valeria cerita sama lo kenapa dia seperti itu. Menghindari Fara dan seperti memilih untuk jauh dan enggak dekat dengan dia. Pasti bukan hanya soal dia belum bisa sepenuhnya memaafkan aja. Pasti ada alasan lain di baliknya."
Damian menghela napas panjang. Ia mengangguk, lalu menatap Revan di depannya. "Iya. Dia memang bukan hanya belum sepenuhnya memaafkan Fara. Dan bukan juga karena dia masih kesal dan sebel sama Fara, ya walaupun itu termasuk juga. Tapi, alasan lainnya karena mamanya dia melarang untuk Valeria dekat dengan Fara dan Aluna, dan harus menjauh dari mereka."
Revan, Kian, dan Liam terkejut mendengar pengakuan itu.
"Dilarang dekat dan menjauh dari Aluna dan Fara?" tanya Liam, bingung. "Oke, kalau dia menjauh dan enggak dekat dengan Fara, tapi Aluna... dia kan sekarang dekat dan mereka juga temenan?"
Damian mengangguk. "Ya, Valeria juga bilang dia mau tetap temenan sama Aluna walaupun mamanya melarang. Tapi menurut gue, selama mamanya enggak tahu, enggak masalah sih," jawab Damian.
Revan menghela napas panjang. Ia menunduk, mencerna semua yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa saat, ia mengangkat kepalanya, menatap Damian dengan tatapan kosong.
"Jadi... gitu?" gumam Revan, suaranya pelan dan penuh keterkejutan.
Kata-kata itu menggantung di udara. Kian dan Liam terdiam, menunggu reaksi Revan. Mereka juga terkejut dengan fakta yang baru mereka ketahui. Masalahnya ternyata bukan hanya tentang pertemanan, tapi juga tentang larangan dari orang tua.
Revan menghela napas panjang. Tatapannya kini berubah, dari bingung menjadi penuh pengertian. Ia menatap Kian, Liam, dan Damian secara bergantian.
"Gue ngerti sekarang," katanya pelan. "Kenapa Valeria seperti itu."
Ia lalu melanjutkan, suaranya terdengar lebih dewasa. "Kita juga enggak bisa memaksa Valeria untuk dekat dengan Fara. Kita harus tunggu sampai saatnya Valeria yang mau dekat dengan sendirinya, seperti yang ia lakukan kepada Aluna."
Revan kemudian menatap Damian. "Tapi, yang harus kita pikirkan sekarang, bagaimana caranya Tante Diandra enggak tahu kalau Valeria dekat dan berteman sama Aluna?"
Damian mengangguk, menyetujui. "Betul. Selama ini aman karena mereka cuma ketemuan di sekolah atau kalau pas jam pulang. Tapi kalau sering main bareng, Tante Diandra bisa tahu."
"Ya udah," kata Revan. "Mulai sekarang kita harus bantu Valeria supaya Tante Diandra enggak curiga. Kita harus pastikan Valeria dan Aluna bisa tetap jadi teman tanpa ketahuan."
Kian mengangguk mantap. "Ya, kita harus bantu mereka agar kedekatan dan pertemanan antara Aluna dan Valeria tetap dekat," katanya.
Liam mengerutkan dahi. Ia memikirkan hal lain yang lebih rumit.
"Lalu Fara? Sekarang kan Aluna sama Fara aja? Ya walaupun gue tahu mereka sepupuan dan itu wajar. Tapi, yang jadi masalah, Valeria belum bisa gabung dengan mereka. Itu artinya Fara setiap hari akan bersama Aluna dan Valeria..."
"Lo enggak usah bingung," potong Damian, menenangkan. "Valeria enggak sendiri, dia masih ada Keira dan Naila. Gue juga akan nemenin dia." Damian kemudian menatap Revan, Kian, dan Liam.
"Dan kalian coba bersikap netral aja. Tidak memihak Valeria, Aluna, atau Fara. Dan tidak usah gabung dengan mereka. Kita-kita aja, para lelaki."
Mereka semua terdiam, mencerna strategi Damian. Revan mengangguk, menyetujui. "Benar. Itu ide yang bagus."
Damian menatap Revan dengan serius. "Tapi, Van, Tante Diandra memang gitu, ya, sifatnya keras dan tegas?"
Revan mengerutkan dahi. "Memang kenapa?"
"Enggak, maaf ya," kata Damian, mengangkat tangannya. "Lo jangan marah. Semalam gue ajak Valeria ke festival."
"APA?!" Revan tersentak kaget.
Damian tersenyum tipis. "Santai, Van. Gue bilang jangan marah. Mau gue lanjutin enggak?"
Revan mengangguk cepat. "Ya, lanjut terus."
"Terus gue ke rumahnya," Damian melanjutkan. "Awalnya gue ketemu sama Tante Kiara dan bilang gue mau ngajak Valeria jalan-jalan malam. Tapi kemudian mamanya datang. Saat gue mau bersalaman, gue udah mengulurkan tangan, tapi mamanya enggak balas dan gue juga disuruh pulang. Dia bilang Valeria enggak boleh jalan-jalan atau keluar malam."
Revan mengerutkan kening, bingung. "Ya, Valeria memang dilarang keluar malam. Tapi terkadang Tante Diandra fine-fine aja pas gue ajak Valeria keluar malam. Dia ngebolehin, ya dengan batasan enggak boleh sampai terlalu malam."
"Kok beda sikapnya ke lo dan sikapnya ke gue?" tanya Damian, ekspresinya berubah jadi bingung. "Hah, pilih kasih ini mah. Apa mamanya enggak suka sama gue?"
"Gue enggak tahu," jawab Revan. "Tapi biasanya dia orangnya selektif, sih. Dia pemilih antara siapa saja yang boleh dekat dengan Valeria dan berteman dengannya, termasuk seseorang yang bisa membuat Valeria terpengaruh. Apa itu bisa membuat nama baik Valeria rusak atau enggak, Tante Diandra sangat menjunjung kehormatan keluarga."
Revan terdiam sejenak. Matanya membulat saat ia mengingat sesuatu. "Tunggu. Jangan-jangan kasusnya Valeria enggak boleh dekat dengan Aluna dan Fara karena itu juga?"
Kian mengangguk. "Ya, gue juga paham maksud lo setelah lo bilang dia selektif, pemilih antara siapa aja yang boleh dekat dengan Valeria dan berteman dengannya, termasuk seseorang yang bisa membuat Valeria terpengaruh dan merusak nama baik Valeria. Masih ingat kasus itu kan, yang Valeria difitnah di grup? Itu sama aja udah merusak nama baik Valeria, dan jika masalahnya membesar dan tersebar di mana-mana, itu juga bisa mempengaruhi reputasi keluarga."
Liam menatap mereka berdua, bingung. "Jadi maksudnya?"
Kian menghela napas, melihat kebingungan di wajah Liam.
"Maksudnya gini, Bro. Lo ingat kan, kasus di grup waktu itu? Waktu Fara bikin gosip enggak benar tentang Valeria?"
Liam mengangguk, masih tidak mengerti. "Ya, terus kenapa?"
"Tante Diandra itu kan orangnya sangat menjaga nama baik dan kehormatan keluarga," jelas Revan. "Waktu kejadian itu, dia pasti tahu kalau itu bisa merusak reputasi Valeria dan keluarga. Nah, di mata Tante Diandra, Fara itu ibaratnya racun. Dia orang yang bisa membuat masalah dan merusak nama baik Valeria. Makanya, Tante Diandra langsung melarang Valeria dekat sama Fara, bahkan sama Aluna sekalian, karena Aluna kan sepupuan dan sering bareng Fara."
"Dan itu juga yang jadi alasan Tante Diandra lebih suka Valeria dekat sama lo, Van," tambah Damian. "Karena lo dari keluarga baik-baik, enggak ada masalah, dan lo kenal Valeria dari kecil. Beda sama gue yang baru dia kenal dan berani-beraninya ngajak anak gadisnya jalan-jalan malam."
Liam terdiam, mencerna semua informasi itu. "Oh, jadi gitu. Jadi semua ini bukan karena Valeria, tapi karena ibunya?"
Revan mengangguk. "Ya, kurang lebih begitu."
Bersambung....