Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih Untuk Tinggal
Drevian menemani Liora hingga malam. Ia merasa mengantuk dan ingin tidur. Tapi sekejap Liora terbangun
"Drevian, kamu belum pulang?" tanya Liora
"Kamu belum makan malam kan? Aku tadi gak tega bangunin kamu. Mau makan apa aku belikkan." ujar Drevian
"Aku tidak selera." balasnya
"Liora, kalau kayak gitu kapan mau sembuhnya?"
Livia lelah menjaga toko seharian tanpa bantuan Liora. Ia lalu pergi ke kamarnya dan membaringkan tubuh ke ranjang
"Hari yang melelahkan." gumamnya
Livia mempercayakan Drevian untuk menjaga Liora dan yang pasti tidak melakukan hal-hal aneh dikamar Liora.
"Kamu ini susah juga ya dibilangi kalau sakit." gumam Drevian
Drevian lalu turun ke dapur dan mencari dikulkas makanan apa yang mau dimasak. Kebetulan Drevian juga tahu memasak jadi Ia memasak sup ayam dalam waktu satu jam. Lalu memberinya pada Liora.
"Ini makan." ujar Drevian
Liora melihat sup ayam dan nasi di nampan itu. Ia ingin mengambilnya tapi tangannya tak sanggup.
"Ya Tuhan, Liora."
Drevian lalu menyuapi Liora sesendok dan menunggu Liora mengunyahnya dengan pelan. Wajah Liora masih pucat dan demamnya belum turun.
"Hambar." ujar Liora
Drevian terbelalak. Tak biasanya Ia masak dengan rasa yang hambar. Ia lalu mencoba sesendok sup dan rasanya pas bahkan ada rasa garam.
"Oh, kamu kan lagi sakit, Liora. Wajar saja kamu rasa hambar. Aku suapin lagi ya" tiba-tiba Drevian bersikap lembut
Liora mengunyah dengan pelan. Waktu makannya hampir mencapai satu jam. Dan disitu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Drevian mengantuk karena sudah menjaga Liora seharian.
Setelah satu jam menyuapi Liora, Drevian lalu memberikan obat penurun demam dan menunggu Liora tidur sambil mengganti plester kompres baru.
Drevian turun dari kamar Liora dan menyimpan piring kotor serta nampan itu ke wastafel lalu mencucinya tanpa ragu.
Suara kaki terdengar menuruni tangga. Itu Livia, dia heran kenapa Drevian bisa ada didapur mereka.
"Drevian." panggil Livia
Drevian membalikkan badan.
"Kamu ngapain disini?" tanya Livia
"Aku tadi melihat dikulkas kalian ada ayam. Jadi aku masak sup untuk Liora." ucapnya santai
"Kau bisa memasak?" tanya Livia tertawa sedikit mengejek
"Ya bisalah! Jangan sepela padaku!" gerutunya
Livia malah melepaskan tawanya sambil mengejek. Ia tak menyangka seorang Drevian yang dingin bisa memasak untuk gadis yang dicintainya apalagi sedang sakit.
"Astaga, perutku sakit." ujar Livia
Drevian mengernyit merasa Livia memang perempuan yang agak gila. Berbeda dengan Liora dengan sifat lembutnya walau agak ngeselin juga.
"Pulanglah, ini sudah malam." ujar Livia
"Tidak." balasnya
"Hah? Kau tidak mau pulang? Apa jangan-jangan kau mau tidur sama Liora?! Dasar laki-laki tidak tahu malu-"
"DIAMLAH!" bentak Drevian
Amarahnya naik karena Livia terus saja mengejeknya. Emangnya Livia pikir dia laki-laki apaan?
"Aku mau menginap disini. Mana kamar kosong?" tanyanya ketus
"Di samping kamar Liora sebelah kanan itu kamar kosong. Itu kamar ayah dan ibunya. Hati-hati kalau kau takut." ejeknya lagi
Drevian menahan emosinya lalu pergi ke kamar itu meninggalkan Livia sendirian didapur. Ia masuk lalu menghidupkan lampu. Kamar itu tidak terlalu luas, tapi dilengkapi dengan kasur untuk dua orang, lemari dan bahkan meja kerja sang ayah Liora.
Ia lalu membersihkan kamar itu dan duduk ditepi kasur menatapi foto-foto yang dipajang dinding kamar orang tua Liora.
Ada foto saat Liora masih kecil, dia begitu manis dan membuat hati Drevian merasa hangat. Ada juga foto Liora bersama ayahnya saat sedang masih bayi. Selanjutnya, Ia juga melihat foto Liora yang digendong oleh ayahnya.
Entah kenapa hati Drevian merasa sakit melihat foto itu. Sejak kecil, Drevian hanya dimanfaatkan orang tuanya untuk mewarisi perusahaan ayahnya. Bahkan fotonya bersama ayahnya saja tidak ada. Drevian iri pada Liora yang sempat mendapatkan peran ayah dikehidupannya.
Drevian lalu membaringkan tubuhnya dan menarik selimut. Ia mengabari Zeke untuk tidak pulang malam ini
"Zeke, aku tidak pulang. Aku menginap di rumah Liora. Jaga baik-baik studio kita. Jangan sampai Selena membuat onar."
Kring...
Pesan masuk dari Boss
Zeke mendengar ponselnya berbunyi dan membaca pesan dari Drevian. Kebetulan Zeke sedang istirahat di kamarnya.
"Baik boss, dimengerti." balas Zeke.
Karena sudah berbuat baik, Drevian memutuskan untuk membuat kamar khusus untuk Zeke. Karena setelah kepergian Drevian dari rumahnya, Ia tinggal bersama Zeke dengan kakek-neneknya. Jadi Ia bersimpati untuk membalas kebaikan Zeke karena sudah membantunya sejak SMA hingga sekarang.
Malam itu, Drevian tidak bisa tidur. Ia selalu kepikiran Liora. Bagaimana kalau sakit Liora makin parah? Itu yang ada dibenaknya sekarang. Ia menatap langit-langit kamar itu dan mencoba untuk tidur tapi tetap saja tidak bisa.
Drevian lalu keluar dari kamar itu dan memutuskan untuk memeriksa keadaan Liora. Gadis itu tidur pulas, Drevian kembali duduk ditepi kasur Liora dan memegang tangan Liora.
"Liora, ku mohon cepatlah sembuh."
Gumam Drevian. Ia menarik tangan Liora dan mencium punggung jarinya. Tak mungkin Ia tidur bersama Liora. Mereka bukan suami-istri.
Sekilas, Livia melihat dari celah pintu yang terbuka. Drevian menjaga Liora hingga malam.
"Drevian, kenapa kau masih disitu?" tanya Livia sambil membuka pintu
"Sebentar lagi aku ke kamar sebelah. Aku mau mengganti kompresnya dulu." ujar Drevian
Livia memperhatikan bagaimana lembutnya Drevian memperlakukan Liora. Ia mengganti yang kedua kalinya plester kompres dengan yang baru. Demamnya tidak turun sampai sekarang.
"Dia masih panas." ujar Drevian sambil keluar dari kamar Liora
"Ya kita tunggu saja besok. Mudah-mudahan panasnya turun." kata Livia
Drevian mengangguk lalu kembali ke kamar orang tua Liora. Ia menutup pintu dan mencoba untuk tidur lagi tapi tidak bisa
Saat itu, Livia ingin menanyakan siapa itu Selena. Tapi belum, Ia menunggu waktu yang tepat. Kenapa Selena seperti begitu dekat dengan Drevian.
"Apa jangan-jangan Drevian hanya menjadikan Liora sebagai simpanannya?" gumamnya
"Eh, tapi gak mungkin juga. Drevian terang-terangan mengajak Liora jalan-jalan." gumamnya lagi
Livia pusing memikirkan itu dan kembali ke kamarnya. Ia merebahkan tubuh lalu tidur, membuang semua pikiran aneh itu dari kepalanya.
Di kamar lain, Drevian tetap tidak bisa tidur. Dia terus kepikiran sama Liora padahal tadi sudah dilihatnya kalau Liora tidur pulas dikamarnya.
"Bos, hari ini Selena tidak datang."
Zeke mengirimkan pesan.
Ponsel Drevian berbunyi dan segera membaca pesan dari Zeke
"Bagus! Kalau dia datang lagi, usir saja. Bilang kalau aku menolaknya mentah-mentah. Jangan membuat rusuh! Kemungkinan besok juga aku belum pulang. Calon nyonya kalian belum sembuh." ketik Drevian dengan pedenya.
Zeke membaca dan membalas pesan itu
"Baik bos." balasnya singkat.
Tapi ada yang mengganjal, Zeke membaca ulang dan mendapati kata-kata "Calon nyonya".
"Maksud boss dia akan menikahi Liora?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Zeke tak mempedulikan itu lalu mematikan ponselnya. Bagi Zeke kebahagiaan Drevian adalah kebahagiaannya juga. Ia sudah muak melihat Drevian yang begitu tertekan dari keluarganya. Sekarang saatnya Drevian mengambil keputusannya sendiri.