Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Derai Pilu Tak Berujung
Perlahan, kelopak mata Shanum terbuka. Pandangannya kabur, kepalanya terasa pusing. Ia merasakan sentuhan lembut di dahinya. Saat penglihatannya kembali jelas, ia melihat Rivat duduk di sampingnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Shanum... kamu sudah sadar?" bisik Rivat, suaranya pelan.
Shanum bangkit, duduk dengan cepat. Seketika, ingatan buruk itu kembali. Kebakaran, Mariska, Bu Roro, dan Pak Pamuji. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal.
"Mas... yang kamu katakan tadi... itu tidak benar, kan?" tanya Shanum, suaranya bergetar.
Shanum masih belum percaya dengan apa yang baru saja Rivat katakan soal kebakaran. Ia berharap semua itu hanyalah mimpi buruk.
Namun, Rivat hanya bisa menunduk, tidak bisa berkata-kata. Air matanya menetes, membasahi tangannya sendiri. Melihat reaksi Rivat, Shanum tahu itu semua nyata. Hatinya hancur berkeping-keping.
"Tidak... tidak mungkin..." isak Shanum, air matanya mulai mengalir deras. Shanum histeris dan berderai air mata. "Mas Rivat... itu tidak benar, kan?! Mariska... Bu Roro... Pak Pamuji... mereka baik-baik saja, kan?!"
Rivat segera meraih gelas yang berisi air, lalu menyodorkannya pada Shanum. "Tenang, Shanum. Minum dulu," ucap Rivat, suaranya mencoba menenangkan.
Shanum menolak gelas itu. "Tidak! Katakan padaku! Mereka selamat, kan?!" teriak Shanum, tangisnya pecah.
Rivat memeluk Shanum, membiarkan wanita itu menangis di dadanya. "Aku tidak tahu, Shanum. Aku tidak tahu..."
"Bagaimana bisa?! Aku hanya pergi sebentar... bagaimana bisa..." Shanum tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia merasakan kehampaan yang luar biasa. Ia merasa bersalah. Ia seharusnya tidak meninggalkan mereka.
"Siapa yang melakukan ini? Siapa?!" tanya Shanum, matanya memerah.
Rivat tidak menjawab, namun Shanum tahu jawabannya. Niar. Hanya Niar yang sekeji ini. Hanya Niar yang bisa melakukan hal seburuk ini.
Shanum melepaskan pelukan Rivat, ia menatap pria itu dengan tatapan penuh kepanikan. Shanum khawatir pada kondisi Bu Roro, Pak Pamuji dan Mariska.
"Kita harus ke sana! Sekarang! Aku harus melihat mereka!" pinta Shanum, suaranya penuh keputusasaan.
Rivat mengangguk. "Ya, ayo kita ke sana. Aku akan segera membawamu."
Rivat membantu Shanum berdiri. Dengan hati yang hancur dan langkah yang berat, Rivat segera membawa Shanum ke desa, menuju tempat di mana kebahagiaannya kini telah berubah menjadi abu.
****
Niar memarkir mobilnya di halaman rumah keluarga Wiguna. Wajahnya yang semula merah padam karena amarah kini dipenuhi senyum puas yang mengerikan. Ia keluar dari mobil dengan langkah angkuh, menatap ke arah rumah. Kilasan api yang melahap rumah di desa berkelebat di benaknya. Hati Niar dipenuhi rasa lega dan kemenangan. Ia merasa sudah membalas dendamnya.
Niar tertawa membahana saat ia memasuki rumah. Tawa itu menggema di seluruh ruang keluarga yang mewah, tawa yang dingin, penuh dengan kebencian dan kebahagiaan yang keji. Ia bahagia sudah menghancurkan kebahagiaan Shanum di desa. Baginya, semua ini adalah pembalasan yang setimpal.
Helmi, yang sedang duduk di sofa, mendengarkan tawa itu. Hatinya mencelos. Ia tahu apa yang Niar lakukan. Ia sudah mendapatkan laporan dari anak buahnya di desa. Helmi bangkit, matanya menatap Niar dengan tatapan penuh kekecewaan dan amarah.
"Niar! Apa yang kau lakukan?!" bentak Helmi, suaranya menggelegar.
Niar berhenti tertawa. Ia menatap Helmi dengan senyum sinis. "Aku hanya membereskan masalah, Helmi. Wanita itu sudah membuat hidup kita semua menderita. Sudah saatnya dia mendapatkan balasannya."
Helmi tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan tangan yang gemetar, ia menampar Niar. "Plak!" Suara tamparan itu nyaring, membuat Niar terkejut dan terdiam.
"Kau sudah tidak waras!" teriak Helmi, suaranya penuh keputusasaan. Ia mengatakan bahwa Niar sudah tidak waras. "Kau membakar rumah! Kau mencoba membunuh orang! Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Niar!"
Niar memegang pipinya yang terasa panas, matanya membelalak tak percaya. Ia tidak pernah ditampar Helmi seumur hidupnya. Air matanya mulai mengalir, bukan karena rasa sakit, tapi karena amarah.
"Aku tidak gila! Aku melakukan ini demi Wira!" balas Niar, suaranya parau. Niar tak terima dengan apa yang Helmi lakukan. Ia maju, menunjuk wajah Helmi. "Kau tidak tahu apa-apa! Kau tidak tahu bagaimana rasanya harus terus-menerus kalah dari wanita rendahan itu! Aku hanya ingin melindungi keluarga kita!"
"Melindungi apa?!" Helmi berteriak. "Dengan membakar rumah dan membunuh orang?! Kau sudah melampaui batas, Niar! Kau sudah menjadi iblis!"
Maka mereka pun adu mulut hebat. Teriakan Niar dan Helmi bergema di seluruh rumah. Pertengkaran itu begitu sengit, dan tidak ada yang mau mengalah. Niar merasa tindakannya benar, sementara Helmi merasa istrinya sudah berubah menjadi monster.
"Akan kubawa kau ke psikiater! Kau butuh bantuan!" teriak Helmi.
"Tidak! Aku tidak butuh apa-apa! Kau yang harusnya sadar! Kau yang terlalu baik pada wanita itu!" Niar balas berteriak, air matanya bercampur dengan kemarahan yang membabi buta.
Pertengkaran hebat itu membuat seisi rumah gaduh. Para pembantu rumah tangga yang bersembunyi di balik pintu hanya bisa terdiam, ketakutan. Mereka tidak pernah melihat Niar dan Helmi bertengkar sehebat ini. Mereka tahu, ada sesuatu yang sangat salah dengan Niar. Dan mereka tahu, kehidupan keluarga Wiguna tidak akan pernah sama lagi.
****
Mobil Rivat berhenti mendadak di jalanan desa yang sudah dipadati warga. Asap hitam masih mengepul, aroma gosong dan hangus menusuk tajam ke hidung. Shanum turun dari mobil, matanya langsung tertuju pada satu titik. Di mana seharusnya berdiri sebuah rumah sederhana yang hangat, kini hanya tersisa puing-puing hangus dan dinding-dinding yang runtuh. Tempat yang ia sebut rumah, kini hanya tumpukan abu.
Shanum histeris saat tiba di desa bersama Rivat. Ia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Lututnya lemas, pandangannya kabur. "Tidak... tidak mungkin..." bisiknya, suaranya parau.
Rivat segera meraih tangan Shanum, mencoba menahannya. "Shanum... tenang. Kamu harus tenang."
Namun Shanum menepis tangannya. Ia berlari mendekati sisa-sisa rumah, air matanya sudah tak terbendung. "Bu Roro! Pak Pamuji! Mariska!" teriaknya, suaranya melengking pilu. Ia berharap ada jawaban, ia berharap seseorang akan keluar dan mengatakan bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun yang ada hanya kesunyian, dan api yang masih melahap sisa-sisa kayu.
Rumah mereka sudah jadi abu, dan hati Shanum hancur berkeping-keping. Ia jatuh berlutut di tanah, tangannya memegangi kepalanya. Sampai saat ini kondisi Mariska, Pak Pamuji dan Bu Roro belum diketahui. Para warga desa hanya bisa menggelengkan kepala, tidak ada yang bisa memberikan informasi pasti.
"Tidak... tidak mungkin..." isak Shanum. "Mereka... mereka tidak ada di sana, kan?! Mereka baik-baik saja, kan?!"
Seorang ibu-ibu desa menghampiri Shanum, matanya dipenuhi simpati. "Kami tidak tahu, Nak. Api begitu cepat membesar. Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
Mendengar itu, Shanum menunduk, menangis berderai air mata dengan pilu. Suaranya tercekat, ia tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Hatinya diselimuti rasa bersalah yang luar biasa. Ia seharusnya tidak meninggalkan mereka. Ia seharusnya tidak pergi. Ini semua adalah kesalahannya.
"Ini semua salahku... ini semua salahku..." lirih Shanum di antara tangisnya.
Rivat duduk di sampingnya, memeluknya. "Bukan salahmu, Shanum. Ini semua salah Niar. Dia yang melakukannya."
Namun perkataan itu tidak bisa menenangkan Shanum. Ia terus menggelengkan kepalanya, menolak kenyataan yang menyakitkan. Bagaimana ia bisa percaya bahwa keluarganya mungkin sudah meninggal? Bagaimana ia bisa hidup tanpa Mariska, tanpa Bu Roro dan Pak Pamuji?
"Tidak... tidak mungkin..." ia menggelengkan kepalanya sambil menolak kenyataan pahit. "Ini tidak nyata... ini tidak nyata..."
Tiba-tiba, pandangan Shanum menjadi gelap. Udara di sekelilingnya terasa menipis, dan semua suara seolah-olah menghilang. Tubuhnya ambruk ke tanah. Rivat dengan sigap menangkapnya sebelum ia jatuh ke dalam puing-puing yang masih panas.