“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong 23
Laila menatap pada sosok yang dipanggil Juragan – posturnya gagah, bahu lebar, berkumis tebal, rahang tegas, rambutnya hitam campur putih.
‘Dia mirip juragan Pramudya, tapi ini versi tua. Ayahnya kah?’ Laila menuruni tangga gubuk panggung, berdiri tepat di hadapan sosok yang sedang menghisap cerutu. ‘Benar-benar seperti pinang dibelah dua.’
Kemudian suara motor kembali terdengar, kali ini satu kendaraan beroda dua memasuki halaman luas berpagar bambu.
Netra Laila melotot menatap tajam pada sosok yang dia kenal – sedang turun dari motor.
“Maaf Juragan, saya terlambat.” Sopyan berlutut, lalu bersujud, seolah sosok dihadapannya sesuatu yang wajib disembah.
Juragan tersebut mendengus, netra mulai kelabu memandang lekat sang cucu. “Abdul, kau tuntaskan dulu dendammu dengan Sundel itu!”
“Baik, Mbah.” Pria mengenakan baju batik, celana bahan hitam – menaiki tangga, dibelakangnya Laila mengikuti.
“Kang Abdul?!” ada secercah harapan Di mata sendu Juleha, dia yang duduk dengan kedua tangan diikat dibelakang, pergelangan kaki pun diikat – mencoba untuk mengesot tanpa memperlihatkan bagian intimnya.
Juleha pikir, pria yang sangat baik, ramah, selalu bertutur lembut kepadanya – akan membebaskan dirinya, ternyata malah menambah luka.
Abdul menendang paha yang lututnya menutup dada.
Akh!
Diinjaknya bagian pinggang Juleha yang meringkuk miring. “Ini akibatnya kau berulang kali menolak seorang Abdul.”
Juleha menangis pilu. Ujung sepatu boots milik Abdul menekan kuat perut sampingnya. “Dari awal saya sudah mengatakan kalau telah memiliki tunangan, dan tak lama lagi kami akan menikah.”
“Aku tak peduli! Kalau kau pintar, maka seharusnya langsung mengirim surat, memutuskan hubungan sialan itu!” Rambut panjang wanita yang sudah lama dia sukai, dijambak hingga wajahnya mendongak.
“Sekarang diriku tanya, apa kekasih kesayanganmu itu bisa menyelamatkanmu? Tentu tidak bukan?!”
Abdul menatap jijik pada wajah cantik, manis, memikat bidan Juleha. Dia merogoh saku celana, mengeluarkan pisau silet lipat tipis.
Ceess.
“Akh! Sakit! Tolong ampuni aku!” Juleha merintih, dapat dirasakan olehnya darah mengalir dari pipi yang disayat.
Ruh Laila murka, dia seakan ikut merasakan penderitaan Juleha, tapi tak kuasa berbuat apa-apa. Dirinya dikirim ke masa lalu, cuma untuk menyaksikan bukan menghentikan apa yang sudah terjadi dan berlalu.
“Ampun? Mintalah pengampunan di akhirat nanti!” Tanpa hati dan memang dia tak memiliki hati nurani. Ditariknya rambut panjang Juleha sampai empunya ikut terseret. Saat sampai di batas tangga dan pintu, Abdul menendang sang wanita hingga berguling-guling.
Belum puas juga, Abdul menuruni anak tangan, kembali menjambak dan menyeret tubuh polos Juleha – hingga sampai dibangunan joglo.
‘Bangsat kau Abdul! Biadab!’ Laila terus memaki, wujudnya yang transparan menembus Abdul.
Tubuh belakang dipenuhi luka gores itu berusaha duduk, dengan sisa tenaga dia menatap sosok bak binatang. Bibirnya menyeringai jijik, mata penuh amarah, kata-kata sarat penghinaan.
“Kau mau tahu mengapa sedikitpun aku tak bisa menyukaimu? Jangankan cinta, mengenalmu lebih dekat saja diri ini jijik. Kau hanya seorang pecundang, berpura-pura baik demi membangun citra agar suatu hari nanti dipilih sebagai Lurah menggantikan Ayahmu.”
“Dirimu layaknya Anjing yang mengawini adik angkat mu sendiri … ha ha ha, ya benar. Binatang berkaki empat itu sangat mirip denganmu,” hinanya dengan tatapan berani, dia tahu detik-detik kematiannya telah tiba.
"Hentikan Abdul! Belum saatnya. Ikat dia di tiang gantungan. Sebentar lagi memasuki waktu malam Jumat Kliwon!” Mbah Suryo namanya, dia memerintahkan anak buah yang sangat setia.
Iwan, pemuda yang tadi menculik Juleha – maju. Memanggul si wanita, lalu rekannya membantu menggantungkan tubuh lemah itu dengan cara terbalik. Ujung rambut panjang Juleha mengenai mahkota patung Hanoman.
Laila bersimpuh, dia frustasi – hanya dapat menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Matanya memandang tidak tega wajah bidan Juleha yang memang mirip dengannya.
‘Aku akan membunuh kalian!’
Waktu yang dinanti pun tiba – bangunan joglo diterangi lampu obor, dan lilin yang mengelilingi sang patung.
Mbah Suryo, Sopyan, Abdul, dan kedua abdi setia mereka duduk menghadap sang patung.
Laila tiba-tiba mendengar derap langkah kaki terburu-buru, baru setelahnya tiga sosok baru tiba langsung duduk di bantalan sofa yang diletakkan di lantai semen. Lurah Karsa, Sujar, dan perawat senior Ratih. Mereka mengambil gendang yang diletakkan pada samping bantal.
Mbah Suryo membaca mantra-mantra memanggil sosok yang dipuja. Hawa sejuk seketika berubah pengap, nyala api meliuk-liuk layaknya tertiup angin.
Akh!
Juleha yang tadi tidak sadarkan diri, kini membuka mata. Lehernya perih, sesuatu tak kasat mata seperti mencekiknya. Matanya terbelalak, menatap pada para manusia yang sebagian dia kenal.
Wajah bidan Juleha merah padam, urat kebiruan menonjol, dia kesulitan bernapas, bersuara.
Patung Hanoman bersinar layaknya bara api berkobar, semakin kencang suara tabuh gendang, maka patung setinggi setengah meter itu bertambah terang.
“Lukai dia! Agar Tuan kita bisa langsung mencicipi darah persembahan ini!”
Abdul berdiri, diikuti Iwan dan Tejo, mereka mengambil posisi yang sudah dihafal luar kepala.
Kedua pria layaknya algojo itu menahan tubuh Juleha yang memberontak, agar tidak bisa bergerak ke kanan dan kiri.
Putra lurah Karsa – mengambil paku ulir berkarat dan palu dalam rendaman air bunga, darah ayam cemani.
Hem! Hem! Hem!
Juleha menggelengkan kepalanya, air mata terus bercucuran, dirinya tak dapat mengeluarkan suara selain geraman tertahan.
"Pegang yang kuat!”
Tangan Tejo mencekik leher sekaligus mencengkram rahang Juleha.
Paku ulir panjang 20 cm, ditusukkan ke pucuk kepala, lalu dipukul palu agar masuk hingga menembus batang tenggorokan.
Tuk!
Tuk!
Ruh Laila menangis histeris bersamaan dengan tubuh bidan Juleha yang kejang-kejang.
Pria yang sudah kehilangan simpati, empati, dan mati hati nuraninya itu kurang puas. Dirobeknya mulut wanita yang dulu sering menyunggingkan senyum manis kepadanya, lalu meraih parang dari Iwan, dan membacok kening Juleha.
Kemudian raga tak lagi bernyawa dibiarkan tergantung. Tetesan darah bercucuran melalui ujung rambut, terjatuh tepat di atas kepala Hanoman.
Laila tak sanggup lagi menyaksikan penyiksaan biadab itu, cahayanya mulai memudar.
.
.
Argh!
Ruh Laila ditarik ke masa kini, kembali menempati raganya. Wajahnya dipenuhi keringat dingin, mulutnya terus bergumam menceritakan apa yang dia lihat.
"Dia, dia _ disiksa. Wujudnya sama persis seperti yang kulihat pada malam pertama kali diriku menempati rumah dinas," racaunya dengan mata tertutup.
Menggunakan jari jempol nya – Mbah Patmi menekan kening Laila. Seketika wanita yang baru saja menyaksikan kejadian mengerikan itu – membuka kelopak matanya.
'Semoga Laila baik-baik saja, tidak trauma apalagi memilih pulang ke kota.'
Laila dapat membaca batin Ida, yang jelas ada di sekitar sini, tak jauh dari tempatnya berbaring.
Wanita baru saja sadarkan diri itu, menekan siku sebagai penopang tubuh. Dia duduk tenang pada meja papan – tepat disebelah peti mati, para arwah yang sebelumnya meminta tolong kepadanya, menatap lekat, termasuk bidan Juleha.
Satu fakta menghantam jiwa Laila, memancing emosi hingga lengkingan bernada tinggi. "Siapa yang begitu lancang melepaskan segel ku?!"
.
.
Bersambung.
iya kah?
tapi kalau g dibaca malah penasaran
Smoga Fram dan Laila jodoh ya. 😆
di tunggu kelanjutan intan paok ya ka
salah satunya antisipasi untuk hal seperti ini.
bahkan kita sendiri kadang tidak tahu weton kita apa,karena ditakutkan kita akan sembarangan bicara dengan orang lain.
waspada dan berhati hati itu sangat di perlukan .
tapi di zaman digital sekarang ,orang orang malah pada pamer weton kelahirannya sendiri🤣
aciye ciyeeeee si juragan udh kesemsem sama janda perawan
Thor lagi donk