Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 33.
Bibir Gendis terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Matanya menatap pria itu, sosok yang pernah membuatnya terpuruk memaksa dirinya tegar saat semua logika dan hati dipaksa bertolak belakang.
Rama.
Masih dengan sorot mata yang sama, tegas. Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Sorot itu penuh penyesalan dan pengharapan.
Namun Gendis tahu, dia harus berhati-hati. Luka yang pernah ditorehkan Rama, tak boleh disiram manis hanya karena pria itu datang dengan wajah penyesalan.
Ratna mendelik, tak terima Gendis mendapatkan laki-laki yang terlihat sangat kaya. Ia menunjuk Rama dengan wajah memerah karena murka. “Jangan ikut campur, ini urusan keluarga kami!”
Rama menoleh perlahan ke arah perempuan itu, tatapannya dingin. “Saya tidak suka berdebat dengan orang sepertimu yang menggonggong dan tanpa malu berkoar-koar, padahal kamu sendiri wanita murahan yang merebut suami orang!“
Ratna tersentak tapi sebelum dia bisa membalas, Gendis akhirnya menarik tangannya dari genggaman Rama.
Tegas, tanpa ragu.
“Mas Rama, aku bukan perempuan yang bisa kau akui seenaknya di depan umum demi membuktikan sesuatu." Suara Gendis tenang, tapi jelas menahan gelombang emosi.
Rama terdiam.
Matanya melembut, namun rahangnya mengeras. “Aku datang, karena aku ingin memperbaiki. Aku tahu ini tak mudah, aku tahu... mungkin aku terlambat. Tapi biarkan aku bicara, setidaknya sekali ini saja... kau dengarkan aku.”
Gendis menatap pria itu penuh perhitungan.
Galang yang sejak tadi diam akhirnya maju, menatap Rama dengan sikap tenang namun waspada. Sebagai seorang tentara, ia tahu bagaimana cara membaca lawan dan Rama bukan datang untuk membuat keributan.
“Aku akan bawa Ratna pergi... agar kalian berdua bisa bicara.“ Ucap Galang singkat sambil menyerahkan anak dalam gendongan nya pada Gendis, lalu membawa Ratna pergi dengan satu lirikan tajam yang membuat wanita itu tak lagi banyak bicara.
“Aku tidak butuh kamu jadi pahlawan, Mas Rama.“ Ucap Gendis setelah sunyi sejenak.
Rama mengangguk pelan, tatapannya menunduk seolah menelan kenyataan yang sudah lama ia abaikan.
“Aku memang bukan pahlawan, bahkan mungkin pernah menjadi bajingaan untukmu. Maaf, atas luka yang aku torehkan. Maafkan aku... karena kamu pernah aku jadikan penebusan dosaku. Tapi kali ini aku datang, karena aku... ingin mendapatkan cintamu.“
Gendis memejamkan mata. “Kamu datang terlambat, Mas.“
“Aku tahu.”
“Kamu datang saat aku sudah selesai membangun ulang diriku dari reruntuhan yang kau tinggalkan.”
“Aku tahu.”
“Dan kamu datang membawa kata cinta, saat aku sudah terlalu letih untuk berharap apa-apa lagi dari siapapun.”
Rama mengangguk sekali lagi. “Kalau aku memang terlambat, Gendis. Biarkan aku berdiri di sini, menunggumu. Tidak memaksa, tidak meminta. Hanya... menunggu. Sampai kau siap membuka hatimu kembali, atau sampai kau benar-benar menutup pintu hatimu untukku.”
Rama sedang meminta kesempatan.
Gendis hanya bisa diam.
“Aku... nggak janji apa-apa,” ucapnya lirih.
“Aku mengerti, tapi... jangan usir aku hari ini.”
Gendis menatapnya dalam.
“Ya Allah Le, kapan kamu datang? Masuk sini..." Bu Laksmi yang mengerti keadaan langsung menarik Rama sebelum Gendis mengusir pria itu.
Rama merasa terselamatkan, karena ia tahu Gendis masih belum bisa memaafkan nya. Bibirnya tersenyum... penuh rencana.
'Sepertinya aku harus cosplay jadi mantu kesayangan' Pikirnya melihat ada kesempatan.
.
.
.
Di keluarga Mahesa, suasana rumah dipenuhi aroma manis dan asam dari rujak yang tengah dinikmati Alina bersama Nyonya Ayunda di teras belakang. Senyum tak henti terpancar di wajah Alina, senyum seorang wanita yang sekali lagi merasakan keajaiban ada janin kecil tumbuh dalam rahimnya.
Ya, usia kandungannya telah memasuki dua bulan. Buah cinta dari pernikahannya dengan Davin.
Di sisi lain, pintu depan terbuka dengan sedikit hentakan. Viola baru saja pulang dari Jakarta, langkah kakinya cepat dan raut wajahnya menunjukkan kegusaran yang tak bisa disembunyikan.
"Ish! Cowok nyebelin! Sumpah!" gerutunya begitu saja tanpa permisi.
Alina dan Nyonya Ayunda saling menatap dengan alis terangkat. Alina mengangkat bahu pelan, mencoba memahami situasi lalu dengan nada menggoda bertanya, “Ekhm... jadi? Ada yang lagi ngejar-ngejar Mbak? Ganteng nggak?”
Viola mendesah keras. “Jangan ditanya, ganteng sih iya… tapi dia itu g-i-l-a! Mbak udah bilang nggak tertarik, tapi dia malah ngebuntutin Mbak seharian. Bahkan... dia nekat datang ke rumah Rama! Padahal udah tahu Rama nggak ada, rumah kosong… dan dia berani__”
“Dan dia berani apa?” potong Nyonya Ayunda dengan sorot mata tajam, nadanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran sekaligus naluri keibuannya yang terbangun.
Mata Viola membelalak, sadar dia hampir keceplosan. “Nggak ngapa-ngapain! Sumpah! Aku… aku mau ke gym dulu! Bye!”
Tanpa memberi kesempatan bertanya lagi, wanita berusia tiga puluh enam tahun itu melesat pergi seperti dikejar waktu. Di balik sikap gugup dan tergesa-gesanya, tersimpan rahasia kecil. Tentang ciuman singkat yang tak seharusnya terjadi… yang masih membekas di bibir dan memorinya.
Namun Nyonya Ayunda bukan wanita biasa. Matanya yang telah banyak menelan asam garam kehidupan menyipit curiga. Ia tak butuh pengakuan verbal untuk memahami bahwa ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Sebagai seorang ibu dan seorang perempuan yang pernah terluka karena pengkhianatan dalam pernikahan ia tahu betul, cinta tak selamanya membawa bahagia. Maka diam-diam, ia memerintahkan seseorang untuk menyelidiki latar belakang pria bernama Denis. Ia tak ingin anak perempuannya kembali dipatahkan oleh cinta yang salah.
____
Sementara itu, di sudut kota Yogyakarta yang tenang, Rama benar-benar sedang menjalani peran baru. Bukan hanya sebagai tamu, tapi seperti calon menantu idaman.
Pagi-pagi ia sudah mengikuti Pak Cahyono ke kebun, lalu tanpa canggung menenteng belanjaan dari pasar bersama Ibu Laksmi. Sepulang dari pasar, ia dengan sigap membantu di dapur. Bahkan lebih dari itu ia dengan penuh perhatian menjaga Ajeng, anak perempuan Gendis saat ibunya pergi bekerja ke klinik.
Ketika senja mulai turun, Gendis pulang dengan peluh masih melekat di pelipisnya. Ia menghentikan langkahnya sejenak di depan rumah saat melihat Rama sedang menidurkan Ajeng di ayunan kecil, menyanyikan lagu nina bobo dengan suara pelan dan tenang. Ada kelembutan yang tak pernah ia duga dari pria itu. Matanya, wajahnya… seolah menyimpan kasih yang utuh. Mungkin karena Rama juga hadir saat Ajeng lahir ke dunia.
Gendis mendekat perlahan, tak sekeras kemarin saat berbicara. “Ajeng rewel, Mas?”
Rama mengangkat wajahnya dan tersenyum lembut. “Nggak terlalu, kok. Kata Ibu... anak kecil memang sering rewel. Asal stok A S I aman, dia cepat tenang.”
Gendis mengangguk pelan. Lalu dengan suara tenang namun tetap menjaga jarak, ia bicara lagi. “Aku sudah bilang, Mas nggak perlu repot-repot begini. Mas Rama... bisa kembali ke Jakarta. Pekerjaan Mas pasti menumpuk, kan?”
Hening sejenak, angin sore membawa wangi masakan dari dapur. Rama menatap Gendis dalam-dalam lalu dengan suara rendah namun mantap, ia mengucapkan sesuatu yang membuat waktu seolah berhenti.
“Aku akan kembali ke Jakarta… kalau kamu bersedia menjadi istriku.”
Gendis terpaku.
Suasana di sekeliling seketika hening, hanya suara lembut dari nafas Ajeng yang tertidur di ayunan. Hati Gendis berdegup kencang, matanya menatap pria di hadapannya dengan kebingungan yang tak mampu ia sembunyikan.
Apa ini… sebuah lamaran?
Atau hanya janji manis yang lain… yang bisa saja berakhir dengan luka?
Eh, tapi gatau deng ehehe