Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Hari Ketiga, Kelas Scout
Sofia mengikuti kelas Scout, dia kelas ini dia ingin melatih kecepatan, pergerakan kakinya, dan berpikir dengan cepat saat di jebak.
Semua Regular yang terpilih menjadi Scout sudah berkumpul pada pagi hari termasuk salah satu orang dari tim Shawn, Vanessa Cho. Vanessa merupakan perempuan yang cepat dan lihai dalam menggunakan pisau di tim Shawn, dia seperti Assasin dan dia lumayan dalam melakukan stealth.
Sofia mengingat Vanessa bergerak cepat dan menebas lawannya menggunakan dua pisau di kedua tangannya saat di ujian lantai 1 ruangan bos no 1 dan 2.
Langkah kaki berat terdengar mendekat. Suara sol sepatu bot menghantam lantai logam dengan dentuman pelan namun mantap. Seorang pria besar berotot, mengenakan jas lab panjang dan kacamata pelindung berwarna merah, muncul di hadapan mereka semua. Ia berdiri di podium kecil di depan lapangan, seolah sedang bersiap memberikan kuliah. Tapi wajahnya, dengan senyum lebar dan mata tajam seperti api, membocorkan bahwa tidak akan ada teori-teori indah di sini.
“Hahaha! Selamat pagi, Regular!” serunya keras, suaranya bergema di seluruh arena.
Beberapa Regular menahan napas, yang lain hanya menunduk sedikit.
“Aku Ranker Flynn. Kalian boleh panggil aku Professor Flynn. Tapi jangan harap aku akan bersikap seperti guru sekolah yang sabar. Di sini, kita bukan sedang belajar menyulam, kita sedang belajar bertahan hidup.” Ia tertawa keras, suara tawanya menggema seperti dentuman senjata api.
“Scout adalah posisi yang sering diabaikan. Tapi ingat ini baik-baik. Tanpa Scout, tim kalian tidak akan tahu di mana musuh berada, di mana bahaya menunggu, atau bahkan kapan waktunya menyerang. Scout adalah mata dan telinga tim. Dan lebih dari itu… Scout adalah bayangan.”
Flynn menatap satu per satu wajah Regular yang kini mulai berkeringat dingin. “Tapi untuk menjadi bayangan, kalian harus lebih cepat dari cahaya. Kalian harus bisa membaca jebakan sebelum jebakan itu menyadari kalian. Kalian harus bisa berpikir dalam sepersekian detik.”
Sofia merasakan detak jantungnya melambat, bukan karena ketakutan, tapi karena fokus. Ini bukan pertempuran otot. Ini perang antara insting dan logika.
Flynn, memimpin semua Regular tetap ke stadion yang penuh dengan jebakan dan Flynn melihat semua siswa tetap menyeringai. "Aku ingin kalian semua berdiri di tengah, di sana." Flynn, menunjuk ke tengah stadion, semua siswa tetap telah tiba di tengah. "Scout membutuhkan kewaspadaan, mereka perlu mengumpulkan informasi dengan cepat, membantu Nelayan dalam pertempuran, dan bergerak cepat," kata Flynn sambil menyeringai.
“Berdiri di tengah,” ujarnya, nadanya ringan namun tajam, seperti pisau yang baru diasah.
Tanpa banyak pilihan, Sofia dan para Regular lainnya mulai melangkah masuk ke tengah stadion. Langkah mereka hati-hati, penuh kewaspadaan. Ada getaran halus di lantai, seperti suara nafas dari sesuatu yang sedang tertidur di bawah sana, menunggu untuk terbangun.
Di tengah arena, mereka berdiri dalam lingkaran alami. Sekitar dua puluh orang, masing-masing berasal dari latar belakang yang berbeda, tim yang berbeda, namun dengan satu kesamaan: mereka semua Regular yang terpilih menjadi calon Scout. Di antara mereka, Sofia berdiri tenang. Matanya mengamati detail kecil di sekitarnya, retakan di lantai, bagian dinding yang sedikit menonjol, langit-langit yang terlalu gelap.
Vanessa berdiri tak jauh dari Sofia, dengan tangan disilangkan, wajahnya dingin seperti biasa. Ia tidak berbicara, tidak bertanya. Ia hanya mengamati. Sama seperti Sofia.
Flynn melangkah maju, jas lab putihnya berkibar pelan tertiup angin stadion buatan. “Kalian tahu kenapa aku suka jadi Scout?” tanyanya santai. “Karena kami tidak butuh hormat. Kami tidak butuh pengakuan. Kami hidup di bayangan, tapi kami selalu jadi yang pertama tahu. Scout melihat bahaya sebelum orang lain sadar. Scout membaca peta sebelum orang lain tahu bahwa mereka tersesat.”
Ia berhenti, matanya memicing. “Tapi Scout juga yang paling dulu mati kalau tidak cepat berpikir.”
Senyumannya melebar, lalu ia mengangkat sebuah remote kecil di tangannya. “Sekarang, mari kita lihat... siapa di antara kalian yang bisa berpikir cepat... dan bertahan.”
Tanpa peringatan, ia menekan tombol merah besar di tengah remote.
Dalam sekejap, seluruh stadion berubah menjadi medan perang. Dari langit-langit muncul laser tipis berwarna merah yang menari liar, memotong udara seperti cambuk kematian. Dari lantai, misil-misil kecil meluncur dengan kecepatan tinggi, menghantam dinding dan meledak dengan percikan api yang menggetarkan jantung. Jaring-jaring logam tersembur dari sisi tembok, menyapu tubuh-tubuh yang lambat. Paku tajam melesat ke atas dari lubang-lubang kecil di tanah, dan panah otomatis menembaki dari dinding tanpa jeda.
Semuanya terjadi hanya dalam dua detik.
Sofia langsung bergerak. Ia berguling ke kiri, menghindari jaring yang menembak dari kanan. Kakinya menyentuh lantai, langsung meloncat ke batu pengaman kecil di depan sebelum laser memotong tempat ia berdiri sebelumnya. Napasnya cepat, tapi terkontrol. Ia tidak bisa panik. Tidak sekarang.
Di belakangnya, terdengar jeritan. Seorang Regular terkena paku di kaki dan jatuh, hanya untuk langsung disapu oleh panah otomatis dari arah atas. Gelang pengaman di lengannya menyala merah, dan tubuhnya langsung ditarik keluar dari arena oleh sistem medis darurat.
“SATU KELUAR!” teriak suara sistem otomatis.
Flynn tertawa dari atas tribun. Ia sudah duduk santai di kursi lipat, memegang sekotak popcorn di satu tangan dan minuman kaleng di tangan lain. “Hahahaha! Bagus! Bagus! Teruskan! Aku suka energi kalian!”
Sofia mengabaikan suara itu. Ia melompat ke balik batu yang sedikit menonjol, lalu menunduk. Sebuah laser melewati atas kepalanya, membakar ujung rambutnya sedikit.
Sofia mencoba mengingat rute yang mungkin. Flynn bilang ada jalan keluar. Tapi jelas bukan pintu biasa. Mungkin sebuah celah. Mungkin pintu ilusi. Atau... sebuah titik buta.
Dia melirik ke arah Vanessa.
Vanessa tidak bersembunyi. Ia bergerak seperti bayangan, melompat dari satu tempat ke tempat lain, kadang membiarkan misil meledak tepat di belakangnya untuk mendorong tubuhnya ke arah lain dengan tenaga ledakan. Gerakannya nyaris seperti tarian perang. Tidak ada keraguan. Hanya naluri dan insting.
Sofia tahu dia harus menemukan ritmenya sendiri. Dia bukan Vanessa. Tapi dia bisa berpikir cepat.
Sofia mulai memperhatikan pola tembakan laser. Setiap empat detik, ada jeda. Begitu juga dengan peluncuran misil. Ada irama tersembunyi di tengah kekacauan ini.
Satu... dua... tiga...
Dia bergerak.
Melompat. Berguling. Merunduk. Meluncur.
Sofia tiba di bagian utara stadion, sebuah zona yang tampak lebih sepi. Tapi terlalu sepi.
Mendekat perlahan, menyentuh lantai dengan telapak tangan. Suhu di sini... sedikit lebih hangat. Berarti ada mekanisme aktif di bawahnya. Dia mengetuk pelan. Bunyi logam berongga. Ruang kosong.
“Pintu bawah tanah,” gumamnya.
Tapi bagaimana cara membukanya?
Sebuah misil meledak di belakangnya, membuyarkan pikirannya sejenak. Ia nyaris terpental ke belakang, tapi bisa tetap berdiri. Menoleh cepat dan melihat Vanessa berdiri di sisi lain zona itu, menghadapnya.
Keduanya bertukar pandang. Vanessa mengangkat alis, lalu mengangkat tangan kirinya, menunjuk ke atas.
Sofia menoleh ke atas.
Sebuah sensor kecil menyala merah di langit-langit. Itu pemicu pintu.
Sofia mengeluarkan batu kecil dari sakunya, sesuatu yang ia ambil saat memasuki stadion. Ia melemparnya dengan presisi tinggi ke arah sensor.
Klik.
Sebuah bagian lantai tiba-tiba bergetar, lalu terbuka perlahan. Tangga menuju bawah tanah muncul, seperti mulut raksasa yang ternganga.
Sofia dan Vanessa tidak ragu. Mereka melompat masuk bersamaan.
Sistem stadion langsung mengirim sinyal.
“Dua Regular berhasil lolos. Sisa: 16.”
Flynn duduk santai, mengangguk perlahan sambil mengunyah popcorn. “Hah... dua orang lolos... dan mereka bahkan tidak bicara satu kata pun.”
Flynn tersenyum puas.
“Aku suka yang seperti itu.”
Sementara itu, di bawah stadion, Sofia dan Vanessa berdiri dalam lorong gelap sempit yang hanya diterangi lampu neon redup. Lorong itu berliku-liku, penuh dengan simbol-simbol kuno dan panel dinding mekanik. Tapi yang terpenting: di sini aman.
Untuk sekarang.
Sofia menarik napas panjang. Tubuhnya masih gemetar karena adrenalin. Tapi di dadanya, dia tahu, satu langkah lebih kuat. Satu langkah lebih cepat.
Dan di balik semua kekacauan tadi, dia mempelajari satu hal penting:
Ranker Flynn memang gila.
Tapi kegilaannya... membentuk mereka menjadi lebih tajam.