"Endria hanya milikku," tekannya dengan manik abu yang menyorot tajam.
***
Sekembalinya ke Indonesia setelah belasan tahun tinggal di Australia, Geswa Ryan Beck tak bisa menahan-nahan keinginannya lagi.
Gadis yang sedari kecil ia awasi dan diincar dari kejauhan tak bisa lepas lagi, sekalipun Endria Ayu Gemintang sudah memiliki calon suami, di mana calon suaminya adalah adik dari Geswa sendiri.
Pria yang nyaris sempurna itu akan melepaskan akal sehatnya hanya untuk menjadikan Endria miliknya seorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jelitacantp, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masalah
"What are you fu*king doing now?!" bentak seorang wanita berwajah asia, dia begitu marah karena kemejanya ditumpahi kuah kari oleh Endria.
Tempat ini adalah kantin, lantai dua yang luas ini khusus untuk kantin saja, maka bayangkan betapa ramainya tempat ini karena ribuan orang karyawan berkumpul untuk mengisi perut.
Kantin ini tak berbayar, itulah yang mendasari kenapa para karyawan lebih memilih makan siang di sini daripada di luar. Apalagi kantin ini menyediakan berbagai macam menu makanan walaupun terbatas sebab karyawan berasal dari berbagai negara.
Oke, kembali ke topik awal.
Wanita tersebut begitu emosi karena seharian ini dia bekerja dengan sangat keras, apalagi kemeja putih tanpa hiasan yang dipakainya baru, bermerk, dan harganya ada sepuluh hari ia bekerja.
Untung saja kuah karinya sudah dingin, jika tidak entah apa yang akan diperbuat wanita itu.
Endria panik, lalu gadis itu menyimpan mangkok berisi kari ayam ke meja yang ada di sampingnya dan setelahnya ia mengusap-usap kemeja wanita yang terkena kuah, gadis itu berniat membersihkan tapi malah lebih memperburuk keadaan.
"Maaf, maafkan aku. Aku tak bermaksud," kata Endria lirih, masih mengusap kemeja itu. Kedua bola matanya yang biasa berbinar kini telah berkaca-kaca, gadis itu sekuat tenaga menahan air matanya untuk tak menetes. Ia bereaksi seperti itu bukan karena takut, tetapi karena kaget sebab ia tak pernah dibentak dengan suara yang begitu keras.
Sebagian karyawan di sekitar sana hanya melirik sebentar lalu kembali melanjutkan makannya, tak merasa terganggu. Sedangkan sebagiannya lagi hanya menonton saja tanpa berniat untuk membantu atau melerai.
Tapi bagaimana dengan Merry? Teman-teman Endria? Mereka di mana?
Ya, begini ceritanya.
Awal mula, saat mereka berenam ingin masuk ke area kantin, Endria tiba-tiba ingin membuang air kecil. Marry sebenarnya ingin menemani gadis itu, tetapi Endria yang tidak enakan hanya meminta petunjuk dan untung saja toilet berada dekat dari sini.
Nah, selanjutnya, saat Endria selesai, gadis itu masuk ke area kantin, tapi makanan untuknya belum dipesan, siklus yang sama, Marry ingin meminta seseorang untuk memesan makanan untuk Endria, tetapi Endria malah menolak dan pada akhirnya gadis itu sendiri yang berjalan ke arah buffet untuk memesan makanan.
Jarak antara tempat duduk Marry dan lainnya dengan buffet tersebut ada tujuh belas meter lebih. Kantin ini memiliki panjang tiga puluh lima meter sudah termasuk dapur dan lebar tiga belas meter.
"Lepaskan! Kau bahkan tidak membantu!" Wanita itu mengamuk, kakinya ia hentak-hentakkan ke lantai saking kesalnya.
"Maafkan aku," bisik Endria lirih.
Wanita itu jengkel karena hanya mendapat permintaan maaf dari gadis yang sudah menyiramnya tanpa berinisiatif untuk mengganti rugi.
Karena memikirkan hal itu, serta memikirkan harga kemejanya yang tak murah, wanita itu mengangkat tangan berniat ingin menampar wajah innocent Endria.
Namun, tiba-tiba seorang pria yang berpakaian rapi dan tegap langsung menahan tangan yang hampir menampar pipi tembem Endria. Pria itu bukan salah satu karyawan sini, pria itu lebih mirip seperti bodyguard.
"Auhh...!" ringis wanita itu karena tangan kanannya dipelintir ke belakang. "Kau siapa?! Aku peringatkan jangan terlalu mencampuri urusan orang lain."
Sedangkan di sisi lain, tujuh belas meter ke depan. Marry dan yang lainnya sedang asik menikmati makan siang mereka tanpa tahu kalau Endria sedang memiliki masalah.
"Ayu di mana, ya? Kok lama banget?" tanya Dim berhubung Endria sudah sepuluh menit tak selesai mengambil makanan.
"Mungkin Kak Ayu lagi ngantri," jawab Anindya seadanya.
Lalu ada seorang wanita yang menghampiri meja mereka dengan langkah tergesa. "Merry, aku pikir hal ini harus kuberitahukan. Sepertinya di belakang sana, teman dari mereka sedang bermasalah, jika kau bergegas ke sana mungkin masalahnya tidak akan terlalu melebar ke mana-mana." Daripada melerai pertengkaran di dalam sana, lebih baik ia memberitahu Merry saja dan membiarkan wanita paruh baya itu menyelesaikannya.
"Kenapa bisa?" Merry bertanya dengan nada khawatir sembari bergegas berdiri dari duduknya diikuti oleh Dania, Anindya, Adrian, dan terakhir Dim.
"Aku juga kurang tahu, sebaiknya kamu bergegas ke sana. Aku pergi dulu, masih ada kerjaan yang harus kukerjakan." Wanita itu pun segera keluar dari area kantin dan berjalan sedikit menyusuri lorong lalu menaiki lift.
Banyak karyawan di sini, jadi Merry sama sekali tidak tahu atau melihat Endria sedang terlibat masalah apalagi posisi gadis itu terhalang oleh tiang besar.
Tanpa basa-basi Marry dan empat orang yang mengikuti dari belakang berjalan tergesa menuju area pertengkaran yang dimaksud, maka nampaklah Endria sedang menahan tangis dan menunduk. Lalu di depannya ada seorang wanita menampilkan emosinya dengan wajah memerah.
Merry menahan napas sesaat setelah ia melihat Endria nyaris ditampar oleh wanita itu.
"Auhh...!" ringis wanita itu karena tangan kanannya dipelintir ke belakang. "Kau siapa?! Aku peringatkan jangan terlalu mencampuri urusan orang lain."
"Saya peringatkan Anda untuk segera keluar dari sini." Pria itu berucap dengan nada mengancam.
"Nona baik-baik saja?" tanya pria itu khawatir. Bisa jadi masalah kalau sampai Endria terluka walau luka kecil sekalipun.
Pedro, sang senior, yang sudah bertahun-tahun bekerja di bawah Geswa langsung dipecat hanya gara-gara Endria sempat melihat wajah pria itu.
Endria mengangguk yang membuatnya bisa sedikit bernapas lega.
Walaupun Geswa tak ikut ke Perth, tetapi pria itu tak benar-benar lepas tangan akan keselamatan Endria. Geswa tetap menyuruh bodyguard untuk selalu mengawasi gadisnya.
Merry berjalan lalu berdiri tepat di depan wanita itu, membelakangi Endria.
"Ini ada apa?" tanya Merry tenang.
Wanita itu nampak terkejut karena setahunya Marry juga ikut pindah bersama bos besar ke Indonesia. Daripada Louis yang pendiam, ia lebih takut dengan Marry yang cerewet dan pemarah.
"Dia telah menumpahkan kuah kari di kemejaku yang mahal." Wanita itu menunjuk Endria, setelah itu ia memperlihatkan kemeja putihnya yang terkena noda.
"Tapi aku tak sengaja, dia sendiri yang salah, dia bermain handphone dan tak memperhatikan sekitar. Bisa dibilang dia yang menabrakku duluan," cicit Endria pelan tapi masih terdengar di telinga Merry.
"Oh jadi begitu." Merry lebih memilih untuk percaya pada Endria. Lagipula mungkin nanti ia akan meminta rekaman CCTV pada pihak keamanan.
"Bicara apa kau?!" Karena melihat ekspresi Merry yang beralih menyalahkannya, wanita itu kembali bereaksi ingin meraih Endria dan berniat menjambak rambut panjang gadis itu.
"Berhenti!" tekan Merry tajam, wanita paruh baya itu melotot lalu mendekat.
"Kau tahu dia siapa? Dia calon istri Mr. Geswa. Jadi sebelum masalah ini melebar, lebih baik kau pergi dari sini," bisik Merry dengan penekanan di setiap kata-katanya.
"Oiya, tutup mulutmu dan jangan berani membeberkan info ini," lanjutnya.
Wanita itu memasang wajah terkejutnya lalu pergi dari sana sambil menggerutu, lebih baik ia mengalah daripada nanti dipecat.
Karyawan yang sedari tadi menonton kembali menghabisi makanan mereka. Walau tak sedikit dari mereka yang ingin tahu perkataan dari Merry pada wanita itu.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Merry dengan nada dan raut khawatir, wanita paruh baya itu bahakn memegangi kedua bahu Endria.
Endria tersenyum kecil, raut wajahnya kembali ceria. "Aku tidak papa, tadi cuma kaget saja karena sempat dimaki," ungkapnya.
Merry dan bodyguard di sampingnya lantas bernapas lega.
Syukurlah....