Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rousanne
Angin pagi dari jendela yang sedikit terbuka membuat tirai tipis berkibar perlahan, tapi udara di dalam ruangan itu terasa berat, seperti menahan badai yang belum meledak.
Maxime duduk di kursinya, satu tangan mencengkeram surat dari Vanessa dengan kuat. Kertasnya sudah sedikit lecek. Urat-urat di tangannya menonjol, rahangnya mengeras. Mata elangnya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya melesat ke banyak tempat sekaligus.
Bukan kemarahan karena pengkhianatan. Bukan amarah karena dikhianati. Tapi karena… dikhawatirkan. Dikecualikan. Tidak dilibatkan.
“Kenapa tidak bilang langsung padaku, Vivienne…?” batinnya.
Matanya turun menatap kembali isi surat itu.
“Kalau aku tak kembali dalam waktu yang lama, jangan khawatir.”
Maxime mengembuskan napas berat, lalu bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat dan tegas saat menuju meja samping, membuka sebuah laci—mengambil segel merah kecil yang hanya digunakan untuk perintah rahasia tingkat tinggi.
Tak mungkin ini hanya soal ibunya.
Ia memejamkan mata sejenak, mengingat bagaimana raut Vanessa akhir-akhir ini terlihat… bersemangat, penuh rencana, penuh api.
“Kau sedang menyembunyikan sesuatu, bukan?” gumamnya. “Dan bukan hanya dariku… tapi dari semua orang.”
Ia menoleh ke arah pintu.
Penjaga istana pun tak tahu kapan istrinya pergi. Tak ada satu pun pengawal resmi yang menyertainya. Tapi Lucien hilang. Tabib Alana juga tidak terlihat hari ini…”
Semua keping mulai menyatu.
Ia melangkah cepat ke sisi ruangan dan menekan lonceng kecil.
Beberapa detik kemudian, Bastian masuk. Sang komandan penjaga utama, mengenakan jubah perjalanan karena baru saja kembali dari patroli.
“Yang Mulia.” Ia menunduk, lalu langsung melihat perubahan raut Maxime. “Ada yang terjadi?”
Maxime menyodorkan surat yang telah terbuka.
“Istriku pergi. Diam-diam. Tanpa pengawalan. Tanpa izin.”
Bastian mengernyit. “Ke mana?”
“Katanya ke Ethelwen. Untuk menemui ibunya.”
“Lady Celestine?”
“Itu alasan yang tertulis di surat.” Maxime mengatupkan rahangnya. “Tapi aku yakin… itu bukan tujuan utamanya.”
Bastian membaca dengan cepat, lalu mendongak.
“Apa perintah utama Anda, Yang Mulia?”
Maxime mengangguk pelan, tegas. “Cari jejak Lucien. Dia pergi bersamanya, aku yakin itu.” Maxime menoleh ke arah peta besar yang tergantung di dinding. “Mulai dari jalur barat daya. Mereka tidak mungkin melalui jalan utama. Cari rute-rute pedagang kecil, titik singgah medis, dan desa yang beberapa bulan terakhir melaporkan kasus penyakit.”
“Kalau mereka sedang melakukan sesuatu…” bisik Maxime, “…maka mereka akan memilih tempat yang terluka tapi tak bersuara.”
Bastian mengangguk mantap.
“Saya berangkat sekarang.”
Maxime menahan Bastian sejenak, lalu menatap sahabatnya dalam-dalam.
“Temukan dia sebelum orang lain menemukannya lebih dulu.”
——
Kereta berhenti tepat di depan gerbang kayu tua yang separuhnya telah lapuk dimakan waktu dan cuaca. Cahaya pagi menyinari jalur tanah yang mereka lewati, menciptakan bayangan panjang dari pepohonan kering yang berjajar di tepi jalan. Kabut tipis masih menggantung rendah, menyelimuti bumi dengan selubung lembab dan dingin.
Tulisan “ROUSANNE” yang terpahat di palang atasnya nyaris tak terbaca, tertutup lumut dan debu.
Lucien turun lebih dulu dari kudanya, langkahnya pelan dan waspada. Ia menyentuh gagang pedang di pinggangnya secara naluriah, sebelum menoleh ke dalam desa.
“Sepi sekali…” gumamnya rendah, seolah takut suaranya sendiri akan menggema terlalu jauh.
Tabib Alana membuka tirai kereta, menuruni tangga dengan hati-hati sambil menatap sekeliling.
“Ini… lebih parah dari yang terakhir kali kulihat.”
Akhirnya Vanessa ikut turun. Begitu kakinya menyentuh tanah desa, angin dingin menusuk kulitnya meski matahari sudah tinggi. Ia memandang ke arah deretan rumah di kejauhan—bangunan-bangunan sederhana dari batu dan kayu, berjendela kecil, semua tertutup rapat.
Tak ada suara ayam. Tak ada anak-anak yang berlarian. Tak ada bunyi kapak memotong kayu atau suara langkah di jalanan berdebu.
Tak ada apa pun.
Hanya sunyi. Dan seolah… bekas kehidupan yang dipaksa berhenti.
Vanessa menggigit bibirnya.
“Di duniaku, tempat seperti ini… disebut desa angker,” gumamnya lirih.
Tabib Alana menoleh cepat, heran, tapi Vanessa hanya tersenyum tipis.” Maksudku, ini begitu menakutkan.”
“Apa mungkin disini dipenuhi roh halus?”
Alana menatap lebih dalam ke arah desa.
“Kalau roh-roh itu ada… maka mereka takkan lebih menakutkan dari apa yang membuat desa ini seperti ini.”
Lucien melangkah lebih dalam, matanya terus mengamati dari balik tudungnya.
“Ada tanda-tanda kehidupan… tapi usang. Pintu masih terkunci. Tidak seperti desa yang ditinggalkan. Seolah… mereka semua memilih bersembunyi.”
Vanessa menajamkan pendengaran. Sekilas, ia pikir ia mendengar suara batuk dari kejauhan. Lalu sunyi lagi.
“Ayo. Kita cari rumah utama desa. Pasti ada tempat yang dulunya digunakan untuk pengobatan atau pertemuan warga.”
Tabib Alana mengangguk, dan mereka bertiga mulai melangkah lebih dalam, menyusuri jalan utama yang dipenuhi dedaunan kering dan aroma anyir tak jelas yang sesekali tertiup angin.
Di balik tirai jendela sebuah rumah batu, sepasang mata tua mengintip sebentar, lalu menghilang kembali dalam bayangan.
Mereka tidak sendirian. Hanya belum disambut.
——
Langkah kaki Vanessa terhenti.
Ia merasakan sesuatu. Seperti tatapan yang menyelinap masuk, dingin dan pelan, menusuk ke tengkuknya.
Ia menoleh perlahan ke arah kanan jalan.
Di antara kabut tipis dan bayang pohon tua yang berdiri miring, terlihat sosok kecil—setengah tersembunyi di balik batang pohon.
Seorang anak kecil.
Rambutnya kusut. Bajunya kumal dan kebesaran. Kakinya telanjang, berdiri di atas tanah dingin yang berembun.
Tatapan anak itu tertuju langsung pada Vanessa.
Mata bulatnya besar dan kelam, tanpa ekspresi… hanya rasa ingin tahu yang terlalu dalam untuk anak seusianya.
Langkah kaki Vanessa ringan saat ia mendekat.
Tapi baru satu-dua langkah, anak kecil itu menyurutkan tubuhnya ke belakang. Wajahnya berubah panik, dan ia bergerak cepat seperti hendak kabur—namun kakinya tersangkut akar yang menjalar di tanah.
“Awas!” seru Vanessa, tapi sudah terlambat.
Tubuh kecil itu jatuh terduduk dengan keras, terdengar suara tertahan dari bibirnya, lalu ringkik pelan kesakitan.
Vanessa langsung berlutut, mengangkat kedua tangannya perlahan—gerakannya lambat, tenang, seperti seorang ibu… seperti seorang penyembuh.
“Tenanglah… aku tidak akan menyakitimu,” ucapnya lembut, nada suaranya berubah—halus dan tenang, seperti seorang dokter yang biasa menenangkan anak kecil di ruang perawatan.
Anak itu meringis, menatap Vanessa dengan bingung.
“Boleh kulihat kakimu?” lanjut Vanessa.
Perlahan, bocah itu mengangguk—masih gemetar, tapi menuruti.
Vanessa menyingsingkan sedikit celana kusam yang menutupi betisnya. Begitu kulit terlihat, matanya langsung menyipit.
Luka besar di pergelangan kaki. Hitam. Basah. Berbau.
Tanda infeksi parah.
Dan yang paling mengkhawatirkan: ada jaringan mati—jaringan yang sudah membusuk.
Vanessa menahan napas. Dalam pikirannya, proses diagnosis otomatis terjadi seperti reflek yang melekat erat dalam dirinya.
Infeksi lanjut. Terlalu lama dibiarkan terbuka. Tak dirawat. Nekrosis sudah menyebar ke jaringan lunak. Jika ini dibiarkan… tubuh anak ini akan demam tinggi. Sistem sarafnya bisa gagal. Lalu sepsis. Lalu—
Ia menggeleng cepat. Tidak. Belum saatnya panik. Ia harus bertindak.
Vanessa merogoh ke dalam tas kecil berbahan kulit yang tergantung di ikat pinggangnya. Tas itu ramping, penuh dengan botol kecil, serbuk herba, perban steril, dan alat-alat yang meski tampak sederhana… terlalu rapi dan canggih untuk zaman ini.
Lucien berdiri lebih dekat, menjaga sekeliling. Tapi matanya menatap Vanessa seolah baru menyadari betapa serius dan terampilnya wanita yang ia layani.
Tabib Alana pun membungkuk, mengamati dengan tatapan campuran rasa kagum dan bingung.
“Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?” tanyanya pelan.
Vanessa tidak menjawab langsung. Ia sudah membuka alat pembersih luka: sebotol kecil larutan antiseptik herbal racikan khusus dari Belvoir, dicampur sedikit cairan fermentasi dari teknik yang belum dikenal umum.
Ia menatap anak kecil itu lagi. “Ini akan sedikit perih. Tapi kau kuat, kan?”
Anak itu menatapnya. Lalu mengangguk—dengan keberanian kecil yang hampir patah.
Vanessa membersihkan luka itu perlahan, mengiris sedikit bagian jaringan mati menggunakan pisau kecil bersih dengan ujung lengkung, alat bedah yang belum pernah dilihat oleh Alana.
Tangan Vanessa bergerak cepat namun penuh presisi. Ia membalur luka dengan campuran herbal antibakteri, lalu membungkusnya dengan perban bersih yang dilapisi daun steril dan kain tipis tahan lembab.
Ia menghela napas panjang. “Ini tak akan menyembuhkan sepenuhnya. Tapi jika dia istirahat, minum ramuan demam dan anti-bengkak, serta dijaga kebersihannya… dia bisa selamat. Untuk sementara.”
Tabib Alana masih menatap Vanessa dengan kagum.
“Saya tak pernah… melihat prosedur seperti itu. Bahkan para ahli di ibu kota tak secepat dan setelaten ini.”
“Anda… benar-benar mewarisi darah medis dari keluarga Anda, Yang Mulia.”
Vanessa menoleh perlahan. Senyumnya tipis. Tapi matanya menunjukkan sesuatu yang dalam—kesedihan yang belum pernah diceritakan, dan harapan yang belum selesai.
Lucien akhirnya angkat suara.
“Saya rasa… orang-orang mulai memperhatikan.”
Vanessa menoleh ke sekeliling.
Benar.
Dari balik jendela-jendela yang sebelumnya mati, muncul bayangan. Mata-mata. Wajah-wajah letih. Diam. Tak berani bicara. Tapi menyaksikan.
Di semak-semak, di balik pintu, dari sela celah rumah—sepasang tangan yang tadi hampir mengangkat senjata kini perlahan turun.
Ketakutan mereka mulai goyah.
Karena mereka baru saja melihat orang asing menyentuh kaki anak desa dengan tangan kosong, dengan kasih sayang seperti keluarga sendiri.
Dan itu… bukan sesuatu yang sering mereka lihat dari orang istana.
luar biasa