"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Butuh waktu
Udara pagi masih terasa basah oleh sisa hujan semalam. Tirai jendela kamar Brivan sedikit terbuka, membiarkan sinar matahari masuk samar-samar dan menyinari ujung ranjang tempat sang pewaris keluarga Maheswara masih terbaring dalam diam.
Langkah ringan terdengar pelan. Hania masuk ke dalam kamar, membungkus tubuhnya dengan cardigan tipis. Wajahnya pucat, tapi senyum manja masih menari di bibir mungilnya.
Ia mendekat pelan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menyentuh lembut tangan Brivan yang tetap hangat. Menatap lekat wajah tampan ayah dari janin yang sedang tumbuh di rahimnya.
"Brivan... tahu nggak?" gumamnya pelan, suaranya dibumbui nada manja yang membuat ruangan sejenak terasa hangat.
"Aku tadi paksain buat sarapan, walau masuk cuma dikit. Akhir-akhir ini mualnya semakin kuat," ujarnya, sambil mengusap perutnya pelan.
"Maaf ya aku tadi nggak bisa ngabisin semua yang dikasih Ivana. Ak-aku buka nggak mau anakku .... maksudnya anak kamu dan Nyonya Audy lebih sehat. Tapi aku beneran, nggak bisa ... Aku takut muntah," lirih Hania, kepalanya menunduk pelan dengan rasa bersalah.
Masih segar diingatan Hania saat dia berusaha menghabiskan sepring nsi dan berakhir di wastafel. Semua yang Hania telan kembali keluar, bahkan lebih banyak. Seharian itu mulut Hania terasa phit setelah mundtah, dan berakhir tidak bisa memakan apapun. Hania hanya bisa diam, menelan semua sendiri. Meminum obat pereda mual yang disiapkan Dokter Mario untuknya.
Hania tertawa sumbang sendiri, tangannya tetap menggenggam jari-jari Brivan semakin erat.
"Aku tahu kamu belum bisa jawab... tapi aku harap kamu dengerin aku, semoga kamu nggak bosen ya dengerin ocehan aku. Karena aku nggak tau lagi harus bicara sama siapa lagi."
Hania menghela nafas panjang, meski Fira juga terkadang bicara pada Hania. Tapi hanya pada Brivan dia bisa bicara apa adanya, seperti yang ia mau. Tanpa harus takut penghakiman, mungkin karena laki-laki itu tidak bisa menjawab Hania. Entah jika Brivan sudah membuka mata, apa Hania masih berani seperti ini.
Genggam tangan Hnaia semakin erat, meremas kuat jemari kokoh nan dingin itu. Beberapa hari ini penghangat ruangan sudah Hania nyalakan, selimut tebal juga menutupi tubuh kekar Brivan sampai sebatas dada. Namun, tetap saja tangannya terasa dingin.
"Di sini sudah sangat hangat, tapi kenapa tanganmu masih sedingin ini hem .. " Hania menatap dalam wajah damai Brivan.
"Sudah tiga hari aku menghentikan suntikan itu. Tapi kenapa kamu masih seperti ini?" gumamnya, sedikit mengeluh tapi masih dengan nada sayang, berbalut rasa bersalah jika ia gagal membuat Brivan bangun.
Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka pelan. Fira masuk dengan langkah tenang, seperti biasanya. Di tangannya, sebuah baki berisi alat suntik dan ampul bening. Namun kali ini… tak ada ketegangan di antara mereka.
“Pagi,” sapa Fira, tanpa ekspresi.
Hania menoleh, tersenyum tipis sedikit dipaksakan.
“Pagi, Suster. Masih seperti biasa ya?”
Fira mengangguk. Ia berjalan ke arah tempat tidur, menyerahkan ampul pada Hania. Tanpa kata, keduanya saling paham. Hania membuka jarum suntik, mencabut pelan tutup kecilnya, lalu menusukkan jarum ke
Cairan dalam ampul mengalir keluar, menetes sia-sia. Tapi tak ada yang merasa bersalah. Mereka melakukannya demi sesuatu yang jauh lebih penting—kesadaran Brivan.
Setelah itu, Hania duduk kembali di sisi ranjang. “Kenapa ya… udah tiga hari nggak dikasih obat, tapi belum ada perubahan juga?”
Fira menatap wajah Hania. Ada keraguan di sana, lalu ia menghela napas perlahan.
“Sebenarnya, waktu kamu bilang kalau Brivan bisa bergerak… Mario mengganti dosis obatnya. Mulai hari itu, yang dia pakai adalah bius golongan tinggi.”
Hania membeku.
Fira melanjutkan. “Obat itu jauh lebih kuat. Efeknya bisa menekan kesadarannya lebih dalam dan bertahan lama di dalam tubuh. Sistem tubuh Brivan sekarang sedang mencoba membersihkan sisa obat itu. Tapi tubuh manusia bukan mesin, Han. Butuh waktu.”
“Berapa lama?” tanya Hania lirih, jemarinya saling memilin cemas.
Fira menghela nafas panjang.
“Itu ... Aku tidak bisa menebak pasti. Mungkin beberapa hari lagi. Tapi satu hal yang pasti… kamu harus sabar. Karena detoks dari jenis obat itu bisa pelan. Tapi saat tubuhnya cukup kuat untuk melawan—akan ada tanda.”
Hania mengangguk perlahan. Matanya kembali menatap wajah Brivan. Tangannya menyentuh pipi pria itu dengan lembut.
“Kamu denger kan, Brivan… kamu cuma butuh waktu. Tapi aku tahu kamu berjuang. Jadi, aku juga akan berjuang…”
Fira menoleh ke arah pintu, hendak berjalan ke wastafel…
Namun sebelum langkahnya sampai—klik.
Pintu kamar terbuka.
Seorang wanita berdiri di sana.
Rambutnya tergerai anggun, kakinya mengayun pasti.
Hening seketika. Kedua wanita itu menegang, meneguk ludah kasar
Tatapan Audy jatuh ke arah Fira… lalu ke Hania… dan tangan kosong yang masih memegang suntikan bekas.
untuk Hania dan Fira tetaplah seperti biasa jika melihat Brivan bangun.
bangun segera,agar kamu mengetahui kepahitan yang dirasakan oleh haniah
.nnti aja sadarnya pas ada Hania sma Fira