Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Teriakan Azela terdengar menembus pintu ruang bersalin. Bayu berdiri mematung di koridor rumah sakit, dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuh. Ada rasa cemas hawatir semua menjadi satu. Ingin rasanya pria itu menerabas masuk, tapi, Bayu tak boleh melihat aurat Azela.
Napas Bayu tak teratur. Kemeja yang dikenakannya sudah basah oleh keringat, meski pendingin ruangan menyala, namun itu tak berarti.
Di hadapannya, pintu ruang bersalin tertutup rapat, seakan memisahkannya dari dunia yang sedang bertaruh antara hidup dan mati.
Detik demi detik terasa seperti tahun.
Di dalam sana, suara dokter bersahut-sahutan.
"Ayo, dokter Zela... satu dorongan lagi..."
"Kuat, dok, dokter bisa...kepala bayi sudah terlihat!"
Jeritan Azela membuat Bayu refleks memejamkan mata dan menunduk, seperti menanggung beban yang tidak kasat mata. Jika dipikir Bayu bukan lah ayah dari bayi yang Zela lahirkan. Tapi, Ia berjalan gelisah di sepanjang lorong, lalu kembali berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi. Hatinya terasa remuk.
Ia ingat wajah Azela saat masuk tadi, terlihat jika wanita itu, tampak berharap Bayu menemani di sampingnya. Namun keinginan itu tak pernah Azela ucapkan, ia cukup tahu diri.
Azela hanya tersenyum samar, menatap Bayu.
Padahal Bayu tahu senyum itu palsu menutupi kesedihannya. Sama palsunya dengan status pernikahan mereka. Pernikahan yang hanya sah di atas kertas. Pernikahan yang tak pernah benar-benar mereka jalani sebagai suami istri.
Tiba-tiba.
Terdengar satu suara kecil yang menusuk keheningan, tangisan bayi.
Bayu membeku.
Seluruh lorong terasa hening, seakan semesta menunduk menyambut makhluk kecil yang baru lahir ke dunia.
Tangisan itu..
Menyeruak ke dada Bayu dengan cara yang tak bisa dijelaskan.
Menampar egonya. Mengaduk-aduk hatinya yang selama ini beku.
Bayu terduduk di bangku besi dengan kepala tertunduk, jemarinya menutupi wajah.
Air matanya, entah datang dari mana. Tapi mengalir begitu saja.
"Alhamdulillah Ya Allah..." serunya dalam hati.
Hari ini Bayu tahu satuhal. Tidak semua anak yang lahir dari rahim wanita mendapat sambutan meriah dari dunia. Ada yang disambut dengan tangis haru, ada yang diiringi dengan air mata luka. Seperti bayi mungil yang baru saja lahir dari rahim Azela hari ini.
Dunia tak tahu betapa rumit jalan hidup yang harus ditempuh ibunya. Dan di balik dinding ruang bersalin, seorang pria sedang menggenggam sepi, menanti anak yang bukan darah dagingnya, tapi lahir dari wanita yang kini menjadi istrinya.
Suara tangisan bayi akhirnya terdengar dari dalam ruang bersalin. Nyaring. Kuat. Memecah keheningan koridor rumah sakit subuh itu.
Seorang suster membuka pintu, menengok keluar dan berkata lembut, pada Bayu.
Bayu, yang sejak tadi mondar-mandir di luar ruangan, langsung berhenti melangkah. Jantungnya mencelos, lalu berdetak lebih cepat. Ia menoleh ke arah pintu, menanti dengan napas yang tertahan.
“Pak Bayu?”
Bayu menoleh dengan mata merah.
“Alhamdulillah, bayinya sudah lahir. Ibu dan bayinya selamat, bayinya laki-laki,"
"Aku...Jadi ayah...?"
Batin Bayu, antara bahagia dan bingung.
Tapi lalu pria itu mengangguk. Lidahnya kelu. Hatinya sesak oleh campur aduk rasa lega, sedih, bahagia, dan bersalah yang bertumpuk menjadi satu.
Ia berjalan perlahan, melangkah mendekati pintu. Tapi sebelum ia masuk, langkahnya tertahan sendiri.
Dia bukan suami sungguhan.
Bukan juga ayah biologis dari bayi itu.
Tapi kenapa hatinya sakit, melihat bayi itu...justru sakitnya, lebih dari yang tak seharusnya.
Bayi mungil tak berdosa itu, bahkan sudah merasakan cerita yang begitu kejam, sejak pertama ia dilahirkan ke dunia.
“Pak Bayu?” sapa perawat itu lagi.
Menegur Bayu yang tampak bingung.
Bayu hanya mampu mengangguk pelan, meski suara hatinya gaduh tak karuan. Ia menatap bayi itu… dan seketika dunia terasa hening. Hanya ada suara tangisan kecil yang menggema di telinganya.
Perawat itu tersenyum.
“Sudah bisa diadzani, Pak.”
Tangannya gemetar saat menyambut tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Entah mengapa, Bayu tak mampu mengalihkan pandangan dari wajah mungil yang memerah itu. Air matanya jatuh, satu per satu, tanpa bisa ia tahan.
Bukan... bukan karena bayi itu darah dagingnya. Bukan pula karena dia terlahir dari rahim istri tercinta. Tapi karena ia tahu... anak itu lahir dari rahim yang lelah, dari tubuh yang berjuang sendirian, dari seorang wanita yang bertahan menghadapi dunia yang kejam.
Dan saat bibir Bayu mulai melafazkan adzan ke telinga bayi itu, suaranya tersendat di tengah-tengah.
“Allahu akbar… Allahu akbar…”
Air matanya jatuh membasahi pipi bayi itu.
“...asyhadu an laa ilaaha illallah…”
Di sela lantunan kalimat suci itu, Bayu merasa ada ikatan yang tumbuh begitu saja. Bukan karena ikatan darah, tapi karena rasa sayang yang tak bisa dijelaskan. Ia menangis… untuk bayi itu. Untuk Azela. Dan untuk peran yang diam-diam telah ia terima, menjadi ayah meski tak memiliki ikatan biologis.
Saat menyelesaikan adzan, Bayu mengecup kening si kecil dengan pelan.
“Selamat datang di dunia, Nak…” bisiknya lirih. “Maafkan dunia yang sudah menyakiti ibumu. Mulai hari ini, kamu nggak sendiri…”
Azela menahan napas. Dada kirinya seperti diremas dari dalam.
Bayu tidak hanya membacakan adzan. Ia memeluk... Ia menggenggam... dan ia memanggil bayi itu dengan panggilan yang selama ini ia bayangkan hanya akan datang dari ayah kandungnya.
“Nak…”
Satu kata itu menghancurkan dinding rapuh di hati Azela. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, namun air matanya tetap tumpah.
"Mas Bayu..." panggilnya lirih, hampir tak terdengar.
Bayu mengangkat wajahnya. Matanya sembab, tapi penuh ketenangan saat menatap Azela. Ia menghampiri perlahan, masih dengan bayi di pelukannya.
"Iya..." jawabnya lembut, seolah sapaan Azela adalah panggilan paling tulus yang pernah ia dengar.
Azela mencoba tersenyum di balik rasa sakit dan lelah yang membalut tubuhnya. "Terima kasih, Mas..."
Bayu mengangguk. Tidak berkata apa-apa. Tapi pandangan mereka saling berbicara. Tentang luka. Tentang pengorbanan. Tentang sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aila berdiri di sisi tempat tidur Azela. Menyaksikan semua itu dengan mata yang menyipit pelan. Ia tahu Bayu adalah suami dari Azela juga. Tapi kenapa tatapan Bayu ke Azela...beda, tatapannya datar, lebih ke kasihan. Sangat berbeda saat ketika Mas Bayu menatap ke dirinya...?
“Ada apa dengan mereka?” gumam Aila dalam hati. Ada gejolak yang tak ia mengerti. Tapi ia tahu, ia sedang berdiri di antara dua orang yang menyimpan rahasia besar.