Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
028. Pria dengan Pesona
Karena seruan Bara dari depan pintu yang memanggil ayahnya, Dul menjadi sedikit takut melangkahkan kaki. Ayah Bara pasti adalah pria tua seperti Mbah Lanang. Rata-rata pria tua yang ditemuinya jarang ada yang ramah. Mungkin karena anak laki-laki seumurannya dikenal sebagai pembuat onar di sekitaran tempat tinggal mbahnya. Rata-rata pria tua tetangga mbahnya suka membentak dan marah-marah kalau ia dan temannya tertawa-tawa. Memang agak berisik, tapi mereka tak pernah mengganggu para orang-orang tua itu.
Dul melambatkan gerakannya membuka sepatu. Ia menunduk dan menarik tali sepatunya dalam gerakan lambat. Saat Dul tengah menunduk, ia dikejutkan dengan kemunculan wajah Bara di sebelahnya. Pria itu ikut menunduk dan melebarkan senyumnya.
“Kamu memang anak ibu banget, ya …. Gerakan kamu ini mirip dengan Ibu kamu waktu ke sini pertama kali. Buka sepatunya dilambat-lambatin. Padahal bakal masuk juga,” ucap Bara, tertawa kecil.
Bara membantunya melepaskan sepatu dan meletakkannya ke rak kecil di sebelah pintu. Dul menoleh pada ibunya yang berdiri di belakang Bara. Jika yang dikatakan Bara memang benar soal ibunya yang pernah datang ke rumah itu, artinya ibunya pun masih sama takutnya dengan dia. Karena ibunya masih bergeming, belum melangkah ke dalam.
“Ternyata tamunya sudah sampai ….” Suara seorang pria yang sangat berwibawa, membuat Dul seketika menegakkan tubuh. “Ayo … sini. Kalau pintu rumahnya terbuka selebar itu, artinya tuan rumah siap menerima tamu.” Pria tua itu mendekati mereka.
Pertama yang dilakukan Dul adalah menoleh ibunya. Apa yang dilakukan ibunya pertama kali, itulah yang harus dilakukannya. Seperti mendengar, ibunya juga menoleh. Hanya sedetik mereka bertukar pandang, kemudian ibunya menunduk untuk menjabat tangan Ayah Bara.
Ooo … ternyata salim. Gampang ….
“Ternyata ini yang namanya Dul …. Nama saya Wirya, ayahnya Om Bara. Boleh panggil dengan sebutan Akung. Salam kenal, ya ….” Pak Wirya menepuk-nepuk pelan bahu kurus Dul. “Dul usianya berapa?” tanya Pak Wirya, menatap mata Dul dengan raut serius.
Dul kembali mengerling ibunya. Biasanya saat-saat tanya jawab dengan orang dewasa, ibunya akan lebih banyak mewakili untuk menjawab pertanyaan. Namun, siang itu ia melihat Bara menahan lengan ibunya. Pria itu melarang ibunya menjawab pertanyaan. Melihat tak mendapat pertolongan, Dul memutuskan untuk buka suara.
Usia itu umur?
“Usiaku enam tahun. Kata Ibu aku bakal masuk SD usia enam tahun lebih karena aku ikut TK A dan TK B," jawab Dul dengan lancar. Ia menarik napas lega setelah berhasil menjawab itu dengan lancar. Di dalam dirinya tumbuh rasa percaya diri menghadapi Pak Wirya. Apalagi saat melihat ibunya yang ikut mengembuskan napas lega. Ia merasa mereka sedang melewati tahapan ujian siang itu.
“Pantes gagahnya begini, ternyata udah enam tahun. Kalau gitu kita masuk dan langsung makan. Pasti udah laper.” Pak Wirya mengangguk pada Bara dan menggandeng Dul berjalan lebih dulu.”
Berada di dalam gandengan tangan Pak Wirya, Dul menyeberangi ruang tamu panjang dan ruang keluarga yang dipisahkan oleh partisi tinggi dan lebar. Setelah melewati ruang keluarga, mereka tiba di ruang makan. Di sana, Dul sedikit terhenyak. Sejak tadi ia mengira di rumah itu hanya ada Bara dan ayahnya. Di ruangan itu ada seorang wanita dengan kacamata baca di ujung hidungnya sedang berdiri mengatur piring lauk di meja.
“Mas, hapeku ketinggalin di rak sepatu depan. Aku ambil dulu.”
Suara ibunya menghilang seiring langkah kaki yang terburu-buru kembali ke depan. “Dul … kalau yang ini ibunya Om Bara. Mahasiswa-mahasiswanya biasa manggil dengan sebutan Bu Yanti. Tau mahasiswa, kan? Mahasiswa itu sama dengan murid. Jadi ibunya Om Bara itu semacam guru. Nah, duduk di sini.”
Dul mengangguk tanpa tahu harus mengatakan apa pada Bara. Ia mendekati kursi yang ditarik Bara untuknya dan berencana akan duduk tenang. Tatapan wanita dengan kacamata baca dan sorot mata tajam memandangnya, sedikit membuat ia gelissh.
“Anaknya Dijah udah SD?” tanya Bu Yanti memandang Bara.
Anaknya Dijah?
“Tahun ajaran baru bakal masuk SD. Kalau sekarang, sih, masih TK.” Bara masih berdiri di sebelah kursi Dul. Tatapannya sedang tertuju pada gawang pemisah ruangan. Ia masih menunggu Dijah tiba di ruang makan.
“Anaknya Dijah ini namanya Dul, Bu ….” Suara Pak Wirya yang dalam dan tenang kembali membuat Dul memandang sosok pria tua itu.
“Iya, namanya Dul …,” sahut Bu Yanti tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk membagikan sendok ke masing-masing piring.
Ketika langkah kaki mendekat, Dul menoleh ibunya yang kembali bergabung. Bara lalu menarikkan satu kursi lain, lalu pria itu pun ikut duduk. Posisi mereka bertiga sejajar. Menghadap sepasang suami istri tua yang merupakan tuan rumah. Siang itu Bara bahkan terlihat seperti tamu.
“Maaf, ya … Ayah Ibu jadi ikut terlambat makan siang. Padahal tadi sengaja ke mall deket sini. Ini Mas ada bawa cake buat dessert,” ujar Bara, menarik bungkusan plastik dari sisi kiri meja makan.
“Iya, enggak apa-apa. Taruh di situ aja, Mas. Nanti Ibu potong-potong,” ucap Bu Yanti seraya mengedarkan pandangannya ke permukaan meja. Wanita itu terlihat mengulas senyum tipis. Sepertinya puas dengan hasil penataannya. “Kalau gitu, ayo, Dijah makan. Hari ini libur, jadi Ibu yang masak.”
“Iya, Bu ….”
Dul menoleh ke sisi kiri. Ternyata nama ibunya disebut barusan mungkin karena sikap ibunya juga sangat canggung. Ibunya bisa setegang itu, apalagi dia yang baru pertama kali ke sana.
Usai menjawab, ibunya buru-buru mengangkat piringnya dan mengisinya dengan nasi.
Enggak cerewet, tapi aku takut.
Dul melemparkan tatapan ke seberang meja. Wanita di seberangnya itu padahal tak mengatakan apa pun. Lirikannya hanya sedetik-sedetik saja, tapi terbilang cukup sering. Saat itulah Dul menyadari kalau ibunya Bara merupakan orang yang memiliki pengaruh teramat penting di rumah itu.
“Dul suka ayam goreng, kan? Tadi ibunya Om masak ayam goreng juga, lho. Cobain, ya … pasti enak.”
Bara mengangkat piring lauk berisi ayam goreng yang bertimbun dengan bumbu kecokelatan yang terlihat sangat lezat, lalu meletakkan sepotong ayam ke piring Dul.
Ini pasti enak ….
“Dijah bisa ambil sendiri, kan?” Bara berseloroh memandang Dijah yang duduk terpisah darinya karena kehadiran Dul di tengah.
“Iya, Mas … bisa, kok,” jawab Dijah cepat.
Mereka makan dengan tenang. Tak ada yang berbicara sampai Pak Wirya yang memulai pembicaraan lebih dulu.
“Dul ini dekat banget dengan Dijah, Bu. Bisa jadi ... besar nanti Dul bisa mirip seperti Bara,” tukas Pak Wirya.
“Mirip?” Bu Yanti langsung menatap suaminya.
“Iya, mirip. Untuk ukuran anak laki-laki, Bara ini termasuk dekat dengan ibunya. Peran Ibu yang dekat dengan anak laki-lakinya itu enggak main-main, lho. Jadi ... memang Ibu berperan penting atas sikap Bara sekarang-sekarang ini.”
“Hmmm … karena Ibu, ya?” Bu Yanti berhenti menyendok segumpal nasi dan memandang suaminya.
“Iya, karena Ibu terlalu baik menjadi Ibu. Karena dekat dengan Ibu, Bara tumbuh menjadi pria yang menghargai perempuan. Bara juga nanti bakal menjadi suami yang bisa diandalkan, juga kecerdasan emosi dan akademiknya seimbang. Kan, ada, Bu … anak yang pinternya luas biasa tapi enggak bisa mengendalikan amarahnya. Ada juga anak yang tenang dan santai sampai-sampai nilai akademiknya semrawut. Semua itu karena peran Ibu. Makanya Ayah harus mengapresiasi peran Ibu di sini. Nah … untuk selanjutnya Ayah percaya Dul pasti bakal seperti itu. Mau bertaruh dengan Ayah?”
Pak Wirya meletakkan sendok dan menjawil lengan Bu Yanti dengan mimik wajah jenaka. Jelas sekali kalau pria itu ingin mencairkan suasana dengan obrolan panjang.
Sebenarnya persis kayak yang dibilang Ibu sebelum berangkat tadi. Sikapku adalah sikap Ibu mengajariku.
Diam-diam Dul mencengkeram sendoknya lebih keras dan menatap potongan ayam gorengnya yang tersisa tulang.
“Om … aku boleh nambah ayam gorengnya? Ayam gorengnya enak, udah habis, tapi nasinya masih ada.” Dul menatap piringnya dan Bara bergantian.
Mendengar perkataan Dul, Bu Yanti berdiri dan mengangkat piring berisi ayam goreng. “Dul mau bagian yang mana?” tanya Bu Yanti.
“Bagian mana aja rasanya sama enak,” sahut Dul.
Bu Yanti tergelak. “Oke—oke. Uti kasi paha aja ….” Bu Yanti meletakkan sepotong paha ayam goreng yang membuat mata Dul membulat bahagia.
“Makasih, Uti …,” ucap Dul.
Sekilas tadi, Dul melihat bahwa Bara dan ayahnya bertukar pandang dalam senyuman.
To Be Continued