NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:542
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Pernah Menyukaimu

   Tiny sadar. Xion pun pasti sadar. Ada sesuatu yang berubah. Entah apa, tapi terasa nyata.

   Xion keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, wajahnya letih. Ia berdiri di dekat pintu, menatap Tiny yang masih berselimut dengan pandangan campur antara ragu dan sesal.

   Langkahnya perlahan mendekat. Ia berhenti di tepi ranjang, menarik napas panjang.

   “Aku… minta maaf,” ucapnya lirih, tulus, dan berat.

    Tiny menoleh, menatap Xion dengan alis sedikit turun. “Ngapain minta maaf?” gumamnya, terdengar ada nada kecewa yang samar.

   “Udah seharusnya kita gini, kan?” Matanya menatap lurus. Tidak marah. Tapi juga tidak hangat seperti biasanya.

   Xion tidak menjawab. Hanya diam, lalu perlahan menunduk.

   Matanya sempat melirik ke leher Tiny… yang tampak merah. Tanda samar—yang entah harus disebut kenangan atau mahakarya.

   Ia menelan ludah, lalu berkata pelan, “Kamu mandi dulu, ya. Aku beresin kamar ini.”

   Tiny bergumam pelan, “Aku… nggak bisa berdiri. Sakit.” Nadanya jujur. Lelah.

   Xion langsung terdiam. Pikirannya berputar.

   Ia baru sadar… sejauh itu semalam? Padahal… ia sendiri bahkan tidak benar-benar ingat semua detailnya.

   “Aku gendong aja ya?” tawarnya.

   Tiny menggeleng pelan. “Nggak usah. Kamu topang badan aku aja.”

   Xion mengangguk. Ia meraih tangan Tiny, lalu memapahnya perlahan hingga bisa berdiri dengan bantuan tubuhnya.

   Dengan pelan, mereka berjalan ke kamar mandi.

   Setibanya di depan pintu, Tiny melepaskan diri pelan, membuka pintu, dan masuk.

   Klik.

   Pintu ditutup.

   Xion menarik napas dalam. Lalu kembali ke kamar. Ia menatap sekeliling.

   Kamar itu… benar-benar kacau.

   Tapi yang paling mengganggunya, bukan kekacauannya. Tapi fakta bahwa—semalam—ia tidak benar-benar merasa. Tidak sadar. Tidak mengingat.

   Tapi… kenapa bisa sejauh itu?

   Ia tahu dirinya memiliki sisi liar—sisi yang selama ini dikekang. Tapi baru kali ini… sisi itu keluar tanpa kendali.

   Xion mendudukkan diri di tepi kasur. Kepalanya sedikit menunduk. Matanya sayu.

   Kemarin… Gery ke dapur.

   Obat?

   Dadanya mulai terasa dingin. Pelan, ia mengingat sesuatu.

   Rasa panas yang aneh. Gerak tubuh yang tak biasa. Pikiran yang seperti dikuasai… sesuatu.

   Matanya menajam. Dan dari sana, muncul kecurigaan baru.

°°°°

   Tiny keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan.

   Namun Xion langsung menyadari ada yang berbeda.

   Gerakannya tidak stabil—sedikit tertatih, seolah tiap langkah mengingatkan tubuhnya pada apa yang terjadi semalam.

   Refleks, Xion bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri Tiny, menopang lengan dan punggungnya dengan hati-hati.

   “Pelan-pelan,” bisiknya. Nafasnya terdengar menahan rasa bersalah yang tak mampu ia sembunyikan.

   Tiny hanya diam. Membiarkan Xion membantunya berjalan ke ranjang.

  Setelah duduk perlahan, ia menyandarkan tubuhnya pada bantal.

   Hening sejenak. Sampai akhirnya Xion membuka suara, pelan, tapi jelas.

   “Aku curiga…” katanya. “Kemarin… waktu Bang Gery ke dapur. Kayaknya ada sesuatu yang dia campur…”

   Tiny menoleh, menatap Xion sekilas. Tapi tak ada keterkejutan dalam ekspresinya. Hanya… datar. Lelah. Murung.

   “Percuma juga curiga,” katanya pelan. “Lagian… udah kejadian.”

   Xion terdiam. Lidahnya kelu.

   Tiny menatap lurus ke arah jendela yang tirainya masih tertutup sebagian. Nafasnya berat. Ada jeda yang lama sebelum ia akhirnya bertanya—dengan nada yang nyaris hancur.

   “Kamu nggak seneng ya?”

   Xion mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

   Tiny menarik napas pelan, lalu menatap Xion—mata yang dulu biasa cerah, kini sendu.

   “Aku tahu… kamu nikahin aku karena kasihan, kan?”

   Ia tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. “Makanya semalam… pas kamu nyentuh aku, kamu ngerasa nggak enak? Karena… kamu nggak pernah pengen aku dari awal?”

   Xion terpaku. Ia tidak siap dengan kalimat seperti itu.

   Karena di lubuk hatinya—ada kebenaran yang lebih rumit daripada sekadar ‘iya’ atau ‘tidak’.

   Dan kini, di hadapannya, duduk seorang perempuan yang ia lindungi… tapi ternyata juga ia lukai diam-diam.

   Ia ingin menjawab, tapi belum tahu harus mulai dari mana. Dan di hadapannya, Tiny…

   Bukan lagi Tiny yang manja, yang suka merengek karena hal-hal sepele.

   Kini suaranya tetap cempreng, tapi ada nada berat yang menyelinap di sela ucapannya. Nada yang muncul karena hati yang berusaha tegar, meski terluka.

   Tiny membenarkan duduknya perlahan, menarik selimut ke atas tubuhnya sambil memeluk lutut.

   “Aku tahu…” katanya, tanpa melihat Xion.

   “…kamu nggak mau nyentuh aku. Aku bukan orang yang kamu cinta. Mungkin kamu juga nyesel…”

   Xion membuka mulut, ingin menyela, tapi Tiny meneruskan. Masih dengan suara yang pelan… tapi mengiris.

   “Dulu, aku suka kamu, tau?”

   Tiny tersenyum tipis—senyum yang justru membuat perih.

   “Waktu Bang Rez sama Kak Layla masih deket-deketan. Aku masih SMA. Suka sih… ya suka anak kecil. Cuma ngelirik doang kalau kamu hadir pas kumpul-kumpul.”

   Ia tertawa kecil, singkat. “Cinta monyet.”

   “Tapi ya udah, aku punya Andika. Dia yang aku pilih. Aku pikir dia yang terbaik.”

   Tiny menoleh, matanya berkaca-kaca. “Dan waktu Andika pergi… kamu yang muncul. Kamu yang gantiin...”

   “...kamu yang dari dulu aku suka, meski Cuma sekilas.”

   “Sekarang aku istrimu.”

   Nada suaranya mulai gemetar. “Tapi kalau kamu emang nggak cinta… Oke, ceraikan aku aja. Dalam tiga bulan. Kayak yang Papa Mama bilang dulu.”

   Xion masih terpaku. Dadanya sesak. Namun sebelum ia bicara, Tiny kembali mendahuluinya.

   “Kalau aku hamil? Itu kan yang kamu tanya?”

   Ia menarik napas panjang. “Aku bisa urus sendiri. Aku nggak butuh ayah untuk anak aku… kalau ayahnya aja bahkan nggak cinta sama ibunya.”

   Air mata akhirnya jatuh. Tapi Tiny cepat-cepat menyekanya.

   Tidak ada tangisan histeris. Hanya tetes-tetes diam, yang jatuh di sela napas terputus-putusnya.

   Xion masih diam. Matanya menatap Tiny—perempuan yang kini tampak lebih kecil dari biasanya.

   Lebih rapuh. Lebih nyata. Tapi ia… tetap tak bisa bergerak. Tak bisa mendekat. Tak bisa menghibur.

   Bibirnya terbuka, seolah ingin berkata sesuatu. Tapi yang keluar… hanya satu kalimat pendek.

   “Aku keluar dulu.” Suaranya datar. Dingin karena panik. Kosong karena bingung.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!