Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Ayah Bayi Ini
Keesokan harinya, mentari pagi menyapa Arunika dengan sinarnya yang hangat, namun tidak mampu menghangatkan hatinya yang masih terasa dingin dan perih.
Setelah semalaman bergumul dengan air mata dan pikiran kalut, sebuah tekad mulai tumbuh di benaknya. Ia harus mencari ayah dari bayi yang dikandungnya.
Bukan untuk meminta pertanggungjawaban dalam bentuk pernikahan, karena ia sadar diri dengan keadaannya.
Tujuannya sederhana, namun krusial: memastikan ada seseorang yang bertanggung jawab atas kehidupan yang kini tumbuh di rahimnya.
Dengan sisa kekuatan yang ada, Arunika mencoba mengingat dengan jelas wajah pria yang telah merenggut kehormatannya. Malam itu terlalu gelap, dan pikirannya terlalu kalut oleh kesedihan dan pengaruh minuman.
Berbekal sebuah kartu nama Blue Moon Cafe and Resto dan informasi dari reception hotel kamar yang di reservasi atas nama Roy .Informasi yang minim, namun itu adalah satu-satunya petunjuk yang ia punya.
Ia mulai menyusun rencana. Langkah pertama adalah mencari informasi tentang siapa saja yang hadir di pesta perpisahan itu. Ia akan menghubungi teman-teman kampusnya, satu per satu, mencoba mengumpulkan petunjuk. Rasa malu dan takut bercampur aduk, namun ia harus mengalahkan egonya demi masa depan anaknya.
Jika usahanya mencari ayah biologis menemui jalan buntu, Arunika sudah menyiapkan rencana lain. Ia akan mencari orang tua asuh yang bersedia membiayai kehamilannya hingga bayi itu lahir. Ia tidak ingin membebani siapa pun, terutama Arsen. Ia tahu, meminta Arsen menerima kenyataan ini sama dengan menorehkan luka yang lebih dalam di hatinya.
Dengan tekad yang mulai membara, Arunika bangkit dari ranjang. Tubuhnya masih terasa lemas, namun semangatnya sedikit demi sedikit mulai pulih. Ia harus kuat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk bayi yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Sementara itu, di tempat lain di Yogyakarta, Arsen masih diliputi kebingungan dan kegelisahan. Kata-kata terakhirnya di klinik terus terngiang di benaknya.
Ia mencintai Arunika, namun kenyataan pahit itu terasa seperti tembok besar yang menghalangi perasaannya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, bagaimana cara menerima masa lalu kekasihnya, dan bagaimana cara membayangkan masa depan mereka dengan kehadiran seorang anak yang bukan darah dagingnya.
Pagi itu, ia mencoba menghubungi Arunika beberapa kali, namun panggilannya tidak dijawab. Rasa khawatir mulai menyelimutinya. Ia takut Arunika melakukan hal yang nekat. Ia tahu betapa rapuhnya gadis itu setelah kehilangan ibunya dan kini ditambah dengan kenyataan pahit ini.
Arsen memutuskan untuk kembali ke klinik. Ia harus memastikan Arunika baik-baik saja. Meskipun ia belum tahu bagaimana kelanjutan hubungan mereka, ia tidak bisa begitu saja meninggalkan gadis itu dalam keterpurukan.
Sesampainya di klinik, ia bertanya kepada perawat tentang keberadaan Arunika. Perawat itu mengatakan bahwa Arunika sudah keluar sejak pagi. Arsen merasa lega sekaligus cemas. Ke mana perginya Arunika sepagi ini? Apa yang sedang ia lakukan?
Tanpa disadari, langkah kaki Arsen membawanya kembali ke kamar kost Arunika. Ia berharap bisa bertemu gadis itu di sana. Namun, kamar kost itu tampak sepi dan kosong. Yuli, teman satu kost Arunika, tampak sedang membereskan beberapa barang.
"Yul, kamu lihat Nika?" tanya Arsen dengan nada cemas.
Yuli menoleh, menatap Arsen dengan tatapan iba. "Oh, Mas Arsen. Nika sudah pergi dari pagi."
"Pergi? Ke mana?" tanya Arsen, jantungnya berdebar kencang.
Yuli menghela napas. "Saya juga tidak tahu pasti, Mas. Dia hanya bilang ada urusan penting."
Arsen terdiam. Perasaan bersalah dan khawatir semakin mencengkeram hatinya. Ia merasa telah mengecewakan Arunika. Ia pergi begitu saja tanpa memberikan kepastian, dan kini gadis itu menghilang.
Di tengah kebingungannya, Yuli memberikan sebuah surat kepada Arsen
" Mas Arsen ,Nika tadi nitipin ini ."
Dengan ragu Arsen mengambilnya. Di amplop itu tertulis namanya. Dengan tangan gemetar, ia membuka surat itu.
Senja di Yogyakarta terasa begitu dingin tanpa kehadiranmu. Aku tahu, kebenaran kehamilanku semalam telah melukaimu. Aku tidak menyalahkanmu atas kepergianmu. Kenyataan ini memang terlalu berat untuk dipikul. Aku hanya ingin kamu tahu, aku akan baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk bertanggung jawab atas anak ini. Jika aku tidak bisa menemukan ayahnya, aku akan mencari keluarga yang bersedia menerimanya. Kamu tidak perlu khawatir tentangku. Jagalah dirimu baik-baik.
Mungkin, ini adalah akhir dari kisah kita. Terima kasih untuk semua kenangan indah yang pernah kita ukir bersama. Aku akan selalu mengenangnya.
Selamat tinggal, Arsen.
Arunika
Air mata Arsen menetes membasahi surat itu. Ia merasakan penyesalan yang mendalam. Ia telah kehilangan Arunika. Bukan karena kenyataan pahit itu, tetapi karena keegoisannya sendiri. Ia terlalu fokus pada perasaannya sendiri hingga tidak menyadari betapa rapuhnya Arunika.
Arsen mengepalkan tangannya. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Ia harus mencari Arunika. Ia harus menunjukkan bahwa ia peduli, bahwa ia bersedia menghadapi semua ini bersamanya. Cinta dan tanggung jawabnya pada Arunika lebih besar daripada rasa takut dan kebingungannya.
Tanpa membuang waktu, Arsen berlari keluar dari rumah kost Arunika. Ia harus menemukan gadis itu sebelum semuanya terlambat. Ia tidak ingin menyesal seumur hidupnya karena telah melepaskan orang yang dicintainya di saat ia sedang terpuruk. Pagi yang tadinya terasa suram kini dipenuhi dengan tekad dan harapan baru. Ia akan mencari Arunika, dan ia akan berjuang untuk cinta mereka.
Langkah kaki Arunika membawanya menyusuri jalanan Yogyakarta yang mulai ramai.
Tujuannya jelas: Blue Moon Cafe and Resto, satu-satunya petunjuk yang ia punya tentang pria bernama Roy. Debar jantungnya bercampur antara harapan dan kecemasan. Ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di sana, namun ia harus mencoba.
Sesampainya di depan kafe yang tampak cukup ramai itu, Arunika menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk. Aroma kopi dan roti bakar menyeruak, sedikit menenangkan perutnya yang terasa perih.
Ia memilih duduk di sudut ruangan, memesan segelas minuman hangat dan sepiring roti bakar untuk sarapan yang terasa hambar.
Tak lama kemudian, seorang pegawai wanita menghampirinya sambil membawa pesanannya. Kesempatan ini tidak ingin disia-siakan Arunika.
"Mbak... permisi, saya mau tanya," kata Arunika dengan suara sedikit bergetar.
"Iya, Mbak, ada yang bisa saya bantu?" jawab pegawai itu ramah.
"Di sini ada karyawan yang namanya Roy?" tanya Arunika, berusaha terlihat tenang.
Pegawai itu tampak berpikir sejenak. "Mas Roy...? Oh, ada, Mbak. Beliau manager di sini."
Mata Arunika sedikit berbinar mendengar jawaban itu. "Kalau saya mau ketemu beliau bagaimana ya?"
Namun, harapan itu langsung meredup mendengar jawaban selanjutnya. "Waduh, Mbak... Mas Roy sekarang lagi cuti."
"Cuti? Cuti berapa lama ya, Mbak?" tanya Arunika dengan nada kecewa.
"Sekitar seminggu, Mbak. Istrinya mau melahirkan," jawab pegawai itu sambil tersenyum tipis.
Arunika terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Roy cuti karena istrinya akan melahirkan? Sebuah ironi yang pahit menusuk hatinya. Pria itu, yang telah merenggut kehormatannya, kini tengah berbahagia menanti kelahiran anaknya yang sah.
"Oh... begitu," hanya itu yang mampu diucapkan Arunika, menyembunyikan gejolak emosi yang berkecamuk di dadanya.
"Iya, Mbak. Mungkin Mbak bisa datang lagi setelah beliau masuk kerja," saran pegawai itu.
"Baiklah, terima kasih ya, Mbak," ucap Arunika, mencoba menyunggingkan senyum tipis.
"Sama-sama, Mbak. Silakan dinikmati," kata pegawai itu sebelum berlalu melayani pelanggan lain.
Arunika menatap nanar roti bakar di hadapannya. Nafsu makannya benar-benar hilang. Kenyataan yang baru saja ia dengar terasa seperti tamparan keras. Jadi, Roy benar-benar seorang lelaki brengsek. Sudah beristri, bahkan istrinya sedang hamil, namun masih tega mempermainkan wanita lain. Amarah dan jijik bercampur aduk dalam benaknya.
Ia menggenggam erat gelas minumannya, berusaha menenangkan diri. Rencananya untuk mencari pertanggungjawaban dari ayah bayinya menemui jalan buntu untuk sementara waktu.
Namun, informasi ini justru memberinya gambaran yang lebih jelas tentang karakter pria yang telah menghancurkan hidupnya. Ia tidak bisa mengharapkan apa pun dari lelaki seperti Roy.
Tekad Arunika semakin menguat. Ia tidak akan membiarkan bayinya tumbuh tanpa kejelasan. Jika Roy tidak bisa diandalkan, ia harus mencari cara lain. Rencana untuk mencari orang tua asuh kembali terlintas di benaknya. Ia harus segera bergerak sebelum kandungannya semakin membesar.
Meskipun hatinya masih perih dan marah, ada secercah keyakinan dalam diri Arunika. Ia akan berjuang untuk anaknya. Ia akan memastikan ada masa depan yang layak untuk kehidupan yang kini bersemi di rahimnya, meskipun tanpa kehadiran seorang ayah yang bertanggung jawab. Ia harus kuat, demi dirinya dan demi malaikat kecil yang sedang dikandungnya.