NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2. Sepi

Rumah yang Kehilangan Jiwa

Hari-hari berlalu seperti kabut pagi yang enggan pergi.

Pariyem duduk di pendopo, punggungnya bersandar pada punggung kursi jati yang dingin. Matanya menatap kosong ke arah gerbang, berharap ada debu yang berterbangan pertanda kereta dari kadipaten datang membawa bayinya.

Tangannya menangkup perut yang kini sudah datar dililit kencang kendit hitam. Setelah beberapa bulan terakhir ditemani tendangan-tendangan kecil yang menggemaskan, kini rasanya ia kosong dari dalam. Seperti gong yang kehilangan nada, hanya menyisakan bunyi hampa saat dipukul.

Dadanya bengkak, penuh susu yang tak tersalurkan. Setiap pagi dan malam ia memeras air susu dengan tangan, membuangnya ke tanah di belakang rumah.

Sia-sia, tapi dia tetap melakukannya. Berharap jika sewaktu-waktu putranya datang, dia masih bisa menyusui sendiri, memberikan apa yang seharusnya menjadi haknya sebagai ibu.

Tapi bahkan sampai empat puluh hari berlalu dan nifas selesai, tak ada yang datang. Tak ada kabar. Tak ada kereta. Hanya angin yang membawa debu dan daun-daun kering.

Tubuh Pariyem yang dulu berisi kini perlahan menyusut. Kebaya yang dulu ketat kini longgar di badan. Ia tak selera makan. Nasi terasa seperti pasir di mulut.

Rumah joglo tua yang megah itu terasa seperti kuburan. Terlalu besar, terlalu sepi, terlalu banyak ruang kosong yang menggema.

Dia memang biasa ditinggal sang suami bekerja, melaksanakan program pemerintah kolonial. Kadang berminggu-minggu Soedarsono harus ke luar kota, meninjau proyek pembangunan irigasi atau jalan raya di tempat yang jauh. Tapi ia tak pernah merasa sesepi ini.

Apalagi ibunya juga sudah tak bekerja di rumah itu.

Pariyem masih ingat bagaimana ibunya—Wasiyem—menangis sambil memohon jangan menerima tawaran menjadi selir.

"Kowe bakal nyesel, Yem. Dadi selir ki ora penak. Kowe cuma dianggep koyo barang."

(Kamu akan menyesal, Yem. Jadi selir itu tidak enak. Kamu hanya dianggap seperti barang.)

Tapi Pariyem muda yang bodoh dan silau tidak mendengarkan. Dia malah membentak ibunya, menyuruhnya diam dan jangan ikut campur. Sejak hari itu, hubungan mereka retak.

Meski hubungannya tak baik dengan sang ibu, tapi ibu tetaplah ibu. Perhatian tetap ada dalam bentuk makanan kesukaan yang selalu disiapkan untuknya, atau selimut tambahan saat malam dingin. Kini ia merindukan hidupnya yang dulu. Miskin, tapi dia bisa tertawa. Lapar, tapi ada kehangatan keluarga.

Ia tak pernah membayangkan menjadi selir majikan ternyata menyiksa seperti ini. Tak diakui keluarga besar suami karena statusnya sebagai anak abdi dalem rendahan. Dipandang sebelah mata oleh para pelayan lain yang dulu adalah temannya. Terjebak di antara dua dunia tapi tak diterima di keduanya.

Pariyem memandangi kalender di atas meja berukir. Lima minggu sudah sejak melahirkan. Putranya sekarang mungkin sudah bisa tersenyum. Mungkin matanya sudah bisa mengikuti gerakan. Mungkin tangannya sudah bisa menggenggam jari.

Air mata mulai berjatuhan lagi. Sudah berapa kali dia menangis hari ini? Dia tidak menghitung lagi.

Ia memandang gelang dan cincin emas di tangannya. Perhiasan mahal yang dulu membuatnya merasa istimewa. Kini terasa seperti belenggu. Dengan gerakan lambat, ia melepaskan satu per satu perhiasan itu, meletakkannya di meja. Rasanya semua kesenangan dunia tak ada artinya lagi.

Ia tak punya siapa-siapa. Ibunya menjauh karena sakit hati. Saudara-saudaranya memandang sinis karena dulu dia pernah bersikap sombong saat berhasil menjadi selir majikan.

Sedangkan sang suami? Pariyem tahu Soedarsono tak pernah mencintainya. Dia hanya rahim yang dibayar untuk menghasilkan keturunan.

Dengan langkah gontai, Pariyem masuk ke Dalem—bagian utama rumah. Ruangan yang dulu terlarang baginya, karena istri sah Soedarsono tinggal di rumah utama.

Tapi sejak sang istri diceraikan karena tak bisa memberi keturunan, kini bebas ia masuki. Tapi apa artinya? Itu hanya bangunan kayu dengan ukiran mahal. Kosong tanpa kehangatan keluarga.

Ia membuka pintu ruang kerja Soedarsono yang tetap bersih meski sang pemilik sedang jauh. Meja jati dengan ukiran naga, kursi berlapis beludru merah, rak buku penuh buku-buku berbahasa Belanda dan Jawa.

Ia memandangi pena bulu angsa dan kertas di atas meja. Andai saja ia bisa menulis dan membaca, mungkin dia bisa menyuarakan isi hatinya, menulis surat untuk sang suami. Tapi dia buta huruf. Suaranya terkunci di dalam dada.

Pariyem kembali ke kamarnya di gandok kulon, paviliun terpisah dari rumah utama. Dulu paviliun ini tak sesepi sekarang, ada ibunya yang sesekali datang. Dan kini paviliun ini juga terasa seperti penjara sunyi.

Ia duduk di dipan, memeluk kain jarik yang masih berbau minyak telon dan bedak bayi yang samar-samar masih tertinggal.

Tiba-tiba terdengar suara kereta kuda mendekat.

Derak roda di jalan berbatu, ringkikan kuda. Jantung Pariyem berdebar kencang.

Dia melompat dari dipan, berlari melewati longkangan—area terbuka yang memisahkan rumah utama dan paviliun—menuju halaman depan.

Mungkin ini saatnya. Mungkin mereka membawa putranya untuk dikunjungi. Mungkin...

Tapi dari balik seketheng, pintu pada pagar bata yang memisahkan halaman dengan longkangan, yang terlihat bukanlah kereta kadipaten. Melainkan landau mewah dengan lambang singa bersayap. Lambang asisten residen.

Kegembiraan Pariyem langsung padam.

Seorang pria turun dari kereta. Awal empat puluhan, berpakaian dinas putih lengkap dengan emblem di dada. Rambutnya cokelat keemasan berkilau diterpa cahaya matahari sore. Para penjaga rumah dengan cepat membungkuk hormat.

Pariyem malas menyambut. Dia hampir berbalik masuk saat mata pria itu menemukannya. Pria berjanggut dengan kumis yang dicukur rapi itu mengangguk hormat dengan senyum yang terasa tulus, tidak angkuh seperti pejabat Belanda kebanyakan.

Sebagai tuan rumah, meski sementara, Pariyem mau tak mau harus menyambut. Dia berjalan mendekat dengan membungkuk dalam, berbicara dalam bahasa Melayu.

"Maaf, Tuan Asisten-Residen. Ndoro Gusti sekarang tinggal di kadipaten sejak dilantik jadi bupati. Tidak tinggal di sini lagi."

Pria itu tersenyum. Ada kerutan di sudut matanya yang membuatnya terlihat ramah. "Saya tahu," jawabnya dalam bahasa Melayu yang fasih dengan aksen Belanda yang kental. "Kami berjanji bertemu di sini. Tapi sepertinya Tuan Bupati belum datang."

Pandangannya menyapu halaman luas dengan kagum. Pohon-pohon asam yang rindang, kolam dengan ikan mas dan teratai, pendopo dengan tiang-tiang jati berukir. "Atau mungkin saya yang terlalu bersemangat datang lebih awal."

"Oh …," Pariyem yang tadinya murung langsung menegakkan punggung dan kepala. Soedarsono akan datang? Mungkin membawa kabar tentang putranya?

Tanpa sadar tatapannya bertemu dengan mata hijau pria itu. Hijau seperti batu zamrud di gelangnya. Aneh seperti mata kucing, tapi ada kehangatan di sana yang membuatnya...

Pariyem cepat-cepat menunduk, menyadari ketidaksopanannya. Rakyat jelata tak boleh menatap langsung mata pejabat Belanda.

"Silakan, Tuan duduk di pendopo," ucapnya sambil membungkuk cepat.

1
EL M, rizky
alhamdulillah yem masih paham agama..🤭
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!