Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Patriarki
Malam semakin larut. Hujan di luar jendela turun makin deras, menimbulkan bunyi ritmis yang mengiringi keheningan kamar itu. Kirana sudah terlelap di sisi ranjang, napasnya lembut dan teratur. Namun, dua sosok lain di dalam ruangan itu masih terjaga.
Siti duduk di ujung ranjang dengan bahu yang sedikit merosot. Matanya sembap, menatap punggung Farel yang masih tegak di depan pintu. Remang lampu malam menyoroti wajah anak laki-lakinya itu—pucat, tapi keras seperti baja.
Dengan suara yang nyaris tenggelam dalam gemericik hujan, Siti menoleh lembut. “Nak, tidurlah dulu. Bergadang itu tidak baik.”
Farel menoleh sedikit, matanya tajam namun tenang. Ia menggeleng pelan. “Tidak masalah. Aku tidak bergadang setiap hari. Lagi pula besok libur sekolah. Aku mau menjaga ibu dan Kirana saja dari ayah.”
Ucapan itu menghantam dada Siti seperti belati. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan memegangi dadanya sendiri. Napasnya terasa sesak, seolah udara di kamar itu tiba-tiba menipis. 'Farel... sebenarnya ayahmu di matamu adalah orang seperti apa?'
Tak tahan dengan gejolak hatinya, Siti akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. “Farel, menurutmu, ayah adalah—”
“Dia adalah orang dewasa yang bodoh dan egois. Ayah hanya peduli pada dirinya sendiri. Bukankah aku sering mengatakannya pada ibu?” jawab Farel cepat, dingin seperti embun di pagi buta. Tatapannya tetap lurus ke depan, seolah dinding di depannya adalah bayangan sang ayah yang dibencinya.
Nada bicaranya semakin tegas. “Aku tidak akan pernah mau menjadi seperti ayah jika sudah dewasa nanti. Terlebih, dia juga selalu memperlakukan aku dan Kirana dengan sangat berbeda. Seolah Kirana bukanlah anak kandungnya.”
“Maksudmu?” tanya Siti pelan, suaranya mengandung ketakutan.
Farel menggeretakkan giginya, wajahnya menegang. “Ibu, jangan pura-pura tidak tahu! Kau sudah sering melihatnya! Coba ingat-ingat lagi!”
Siti menunduk. Tangan gemetarnya mencengkeram ujung selimut. Hatinya mulai digerogoti rasa bersalah dan ketakutan yang semakin menebal. Ia berusaha menggali kembali kenangan yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Dan tiba-tiba, bayangan itu muncul.
---
Flashback:
Suara tawa kecil terdengar dari ruang tengah rumah mereka. Siti berdiri di ambang pintu, memperhatikan dua anaknya yang berlari kecil menghampiri ayah mereka.
“Ayah, lihatlah ini! Aku menang juara pertandingan bola antar sekolah dan Kirana juga memenangkan juara menari antar sekolah!” seru Farel dengan semangat, kedua matanya berbinar penuh kebanggaan. Di tangannya, piala dan piagam bersinar keemasan terkena pantulan cahaya sore.
Suryo menoleh, tatapannya hangat, seulas senyum bangga terukir di wajahnya. “Kau memang putra kebanggaan ayah, Farel. Kelak kau akan menjadi orang yang hebat juga seperti ayah.”
Siti sempat tersenyum kecil, melihat momen itu. Namun senyum itu langsung pudar ketika Kirana, dengan langkah kecil dan riang, ikut menunjukkan pialanya. “Ayah, lihat juga piagam dan piala milikku!” katanya penuh harap.
Suryo hanya menoleh sekilas, matanya datar. “Hanya juara menari. Tidak hebat.”
Kirana terdiam seketika. Senyum di wajahnya retak. Ia memeluk erat pialanya, seolah takut benda itu ikut diremehkan.
Suryo menggendong Farel dan melangkah menuju pintu. “Karena putra ayah sudah membuat ayah bangga, bagaimana jika kita makan siang di restoran favoritmu, hanya berdua?”
Farel sempat menatap adiknya yang berdiri terpaku di tempat. “Bagaimana dengan Kirana? Kirana juga menang, Ayah!”
“Ah, dia hanya memenangkan lomba kecil yang tidak berarti. Lupakan saja dia dan fokus saja pada perayaan kemenanganmu. Nanti ayah akan memamerkan kemenanganmu pada teman-teman ayah,” ujar Suryo sambil tertawa kecil, langkahnya makin menjauh.
Kirana berdiri di sana, diam, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Bahunya bergetar, tapi ia menahan suara tangisnya agar tak terdengar. Cahaya matahari sore menyoroti wajahnya yang lembap oleh air mata yang tak sempat jatuh.
Siti yang melihat semuanya tak lagi mampu menahan diri. Ia berlari menghampiri, memeluk tubuh kecil Kirana erat-erat. “Nak, kamu hebat. Putri ibu memang yang paling hebat. Jangan menangis, ya,” bisiknya lembut sambil mengusap kepala anaknya yang terisak.
Kirana hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Ia melepaskan pelukan itu perlahan, berjalan menuju kamarnya dengan langkah kecil dan berat. Piala di tangannya bergetar halus, sementara bayangan tubuh kecilnya memanjang di lantai—sendirian, tertelan gelapnya sore yang makin menua.
---
"Apa? Kau juga mau ikut pertandingan bola? Itu khusus anak laki-laki, Kirana!" ucap Farel, sedikit membentak. "Lagi pula, bukankah kau lebih suka menari? Kenapa tidak ikut lomba menari saja?"
Kirana menatap kakaknya dengan tatapan memohon, kedua tangannya menggenggam erat bola lusuh di dadanya. Napasnya terengah, tapi matanya bersinar dengan semangat yang tak bisa dibantah. "Karena menurut ayah, menari bukanlah hal yang hebat. Ayolah, kakak! Izinkan aku masuk ke tim sepak bolamu!"
Suasana di halaman belakang rumah itu seketika sunyi. Hanya terdengar suara burung dan desir angin yang membuat dedaunan pohon jambu bergoyang pelan. Farel menatap adiknya lama—antara ragu dan pasrah.
"Baiklah, terserah kau saja," katanya akhirnya dengan nada berat. "Tapi latihan yang benar! Kakak akan mengawasimu!"
Kirana mengangguk cepat, matanya bersinar lega. "Terima kasih, kakak."
---
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Lapangan sekolah yang biasanya sepi kini penuh sorak sorai. Suara peluit wasit menggema, debu beterbangan setiap kali bola ditendang. Keringat bercucuran di wajah Kirana, namun langkahnya tetap cepat dan matanya fokus pada arah bola.
Saat peluit terakhir berbunyi, tim mereka menang. Tepuk tangan menggema, disertai teriakan kemenangan. Farel dan Kirana berlari ke tengah lapangan, tertawa lepas sambil mengangkat piala bersama.
"Ayah, kami memenangkan juara sepak bola antar sekolah!" seru mereka bersamaan begitu tiba di rumah.
Suryo yang sedang duduk di kursi ruang tamu mendongak, menatap mereka berdua. Ada sedikit kilatan bangga di matanya—namun hanya sesaat. Ia berdiri, berjalan ke arah Farel, dan menepuk bahunya dengan kuat. "Nak, kau benar-benar memenangkan juara setiap tahun? Itu sangat hebat, nak!"
Kirana tersenyum kecil, menatap ayahnya dengan harapan akan mendapat pelukan yang sama. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Farel angkat bicara.
"Tapi ayah, Kirana juga menang. Dia sudah berlatih dengan sangat keras untuk memenangkan lomba ini hingga tubuhnya luka-luka karena pertandingan."
Suryo menoleh perlahan ke arah putrinya. Tatapan matanya dingin, menusuk. Ia mendekat, menarik tangan kecil Kirana dengan kasar. Kulit mungil itu penuh luka gores, sebagian masih basah oleh darah. Suryo menatap wajah putrinya yang kotor, rambutnya berantakan, pipinya penuh debu dan keringat.
Tiba-tiba, tangan Kirana terlepas. Suryo melemparnya begitu saja seolah jijik.
"Bodoh! Sekarang kau jadi sangat jelek! Anak perempuan tidak boleh memiliki luka sekecil apa pun itu! Jika sudah begini, siapa yang mau menikahimu?"
Kirana terhuyung, memegangi tangannya yang kini berdenyut nyeri. Luka-luka kecilnya terasa semakin perih, bukan hanya karena darah, tapi juga karena kata-kata ayahnya yang menampar lebih keras daripada tangan siapa pun.
‘Aku hanya ingin diakui… hanya itu,’ batinnya lirih.
"Ayah! Kau tidak boleh melakukan itu pada Kirana!" teriak Farel marah, wajahnya memerah karena emosi. Ia segera berlari ke sisi adiknya, memegang tangan Kirana yang berdarah lagi. "Tanganmu berdarah lagi!"
Farel panik, menoleh ke arah dapur. "Ibu! Ibu! Kirana terluka!"
Sementara itu, Suryo masih berdiri tegak di ruang tamu. Tatapannya tidak berubah—dingin, kaku, dan penuh penghukuman.
"Perempuan tempatnya hanya di dapur, sumur, kasur," ucapnya datar, tapi nadanya tajam menusuk telinga. "Jangan melakukan hal yang sia-sia! Ingatlah kodratmu!"
Suasana rumah mendadak hening. Hanya suara isak kecil Kirana yang terdengar, disusul langkah kaki Farel yang berlari membawa adiknya menjauh dari ruang tamu itu.
---
Flashback off
Farel terkekeh pelan. Ia duduk bersandar di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatapan matanya dingin, tapi ada getir di sana. Ia menatap ibunya yang berdiri di hadapannya dengan pandangan penuh luka yang disembunyikan di balik senyum pahit.
"Bagaimana, Ibu?" ujarnya pelan, tapi suaranya tajam seperti pisau. "Masih mau beralasan bertahan demi anak?"
hahaha 🤣
✿⚈‿‿⚈✿