 
                            Setelah kematian bayi malangnya yang baru saja lahir, tepat 2 jam setelah itu Ayu Maheswari tewas secara tragis ditangan suaminya sendiri. Jiwanya menolak mendapat perlakuan keji seperti itu. Ayu tidak terima. Ia berdoa kepada Tuhan-nya, meminta dibangkitkan untuk membalaskan dendam atas ketidak adilan yang ia terima.
Begitu terbangun, Ayu tersentak tetiba ada suaminya-Damar didepan matanya kembali. Namun, Damar tidak sendiri. Ada wanita cantik berdiri disampingnya sambil mengapit lengan penuh kepemilikan. 
"Tega sekali kamu Damar!"
Rupanya Ayu terbangun diraga wanita lemah bernama Rumi. Sementara Rumi sendiri adalah adik angkat-Raisa, selingkuhan Damar.
Ayu tidak terima! Ia rasa, Rumi juga pasti ingin berontak. Dendam itu semakin tersulut kuat. Satu ambisi dua tujuan yang sama. Yakni ingin melihat keduanya Hancur!
Rumi yang semula lemah, kini bangkit kuat dalam jiwa Ayu Maheswari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Ayu sampai membekap mulutnya kuat, merasa sesag mendengar kisah pilu seorang Rumi.
Bik Asih sudah menghentikan ceritanya. Ia lalu menatap Ayu sedikit melemah. "Bibi bisa berkata seperti ini, karena memang semua kejadian itu bermula dari Non Raisa! Bibi yakin, Non Rumi pasti di celakai para staff hotel perintah dari Non Raisa!" Untul sejenak, Bik Asih kembali tertunduk. Sorot matanya tidak sekuat saat bebicara. "Tetapi, Bapak dan Ibu hanya diam! Seolah, mereka tengah menutupi semuanya. Bahkan, Bapak juga tidak mengusut tuntas masalah jatuhnya Non Rumi. Para Staff dengan bebas bekerja seperti biasa. Dan satu lagi, Non," Bik Asih kembali menatap Ayu. "Saat keluarga Ibu-Nyonya Ana meminta pihak Hotel menunjukan rekaman cctv, dengan teganya Bu Sintia melarang. Ibu tidak mencari tahu, dan lebih memilih bungkam hingga kini."
Dada Ayu bak tersulut api besar. Meskipun ia juga memiliki masalah hidup, akan tetapi ia sudah berambisi ingin menghancurkan selingkuhan suaminya. Ia dan Rumi sama-sama terbuang akibat wanita tidak tahu diri itu.
"Bik, bukankah Pak Darma salah satu investor Hotel itu?" Ayu menegaskan kembali pandangannya.
Bik Asih mengangguk. "Separuh hotel itu bisa dibilang milik Bapak, Non."
"Aku yakin, bukti cctv itu masih. Dan aku akan mengusut semuanya sampai Raisa mendapat balasan atas sikapnya." Ayu menatap lurus penuh ambisi besar.
Bik Asih merasa lega penuh syukur. "Non, entah siapa Anda... Terimakasih sudah mengubah sikap Non Rumi. Dan semoga saja... Masalah kehidupan Non Ayu dapat terselesaikan. Bibi akan terus dukung, sampai Non Ayu bahagia di tubuh Non Rumi."
Ayu tak sampai hati. Seketika kedua matanya memanas. "Aku boleh memeluk Bibi?" Pintanya.
Bik Asih mengangguk, membawa tubuh Rumi dalam dekapannya. Karena sejak dulu pun, hanya Bik Asih lah yang menjadi tumpuan sang Nona muda.
Malam harinya, pukul 19.05 wib
Pak Darma, Bu Sintia, dan juga Raisa tengah berkesiap, sudah rapi dan kini berkumpul di ruang tengah. Rencananya, mereka akan datang ke rumah Pak Galuh, untuk membicarakan rencana pernikahan antara Damar dan juga Raisa.
Meski keduanya tidak saling berbicara, namun sebagai orang tua, baik Pak Darma dan Bu Sintia, mereka pasti akan melakukan yang terbaik untuk putri tercintanya.
Raisa sudah rapi dengan dress selutut bewarna maroon. Rambutnya tergerai lurus, memakai riasan tebal, baru saja duduk sambil meletakan tak brandednya. Di kiranya, mereka akan pergi hanya bertiga saja. Namun siapa sangka, jika Bu Sintia tadi meminta Rumi untuk pergi bersama.
"Mamah ajak Rumi?" tanya Raisa ketika sang Ibu tampak menatap lantai dua dengan penuh semangat.
Bu Sintia mengangguk. "Iya, Raisa! Lagian... Sudah lama 'kan kita nggak pergi bersama."
Kedua mata Raisa terbuka lebar. Bahkan, ia sampai berdiri atas jawaban Ibunya tadi. "Mamah, Mamah apa-apaan-"
Tap!
Tap!
Kalimat Raisa menggantung. Suara heels Rumi diatas tangga membuat pandanganya teralihkan. Begitu tiba di penghujung tangga, Raisa semakin kesal kala melihat penampilan Rumi berubah 180 derajat celsius.
Drees elegant selutut agak pres body. Rambut tergerai dengan pita kecil di belakang. Make up natural terkesan segar, bahkan Rumi saat ini juga memakai warna yang sama dengan Raisa, yakni marun.
Rumi tidak memakai tas. Ia kini memegang dompet tangan agak besar, dan semakin membuat auranya terpancar kuat.
Dada Raisa tampak naik turun, bergemuruh. Nafasnya sudah terengah-engah, hingga emosinya siap saja meledak. Baru saja ia ingin menghampiri Rumi, seketika lengannya ditahan oleh sang Mamah.
"Rumi, kamu sudah siap?" Bu Sintia lebih memilih bertanya kearah putri bungsunya.
Rumi mengangguk pelan. Tak menjawab satu kalimat, ia segera berjalan kearah pintu keluar kala melihat sang Ayah sudah berjalan lebih dulu.
Raisa mengepalkan tangan melihat sikap dingin sang adik kini. 'Bisa-bisanya dia berdandan lebih baik dariku. Awas saja kamu, Rumi!' batin Raisa penuh dendam.
****
Di kediaman Pak Galuh, malam ini pelayan baru saja selesai menghidangkan beberapa masakan untuk acara makan malam nanti.
Sebagai tuan rumah, Bu Fatma dan Tuan Galuh tampak antusias menyambut kedatangan calon besannya.
Sementara Damar, pria itu masih berdiam di dalam kamar, duduk termenung menatap keca pembatas balkon. Malam ini, padahal bisa saja ia ceria sebab pertemuanya dengan keluarga Raisa perihal pernikahan. Namun, entah mengapa sudah beberapa hari ini hati Damar terasa hampa.
Bahkan, setiap pulang kerja, ia selalu datang ke rumah Amir untuk melihat bayi mungil itu.
Tok.. Tok..
Pintu kamar terketuk oleh sang pelayan dari luar. Damar menoleh, lalu segera bangkit.
"Ada apa, Bik?" Wajah Damar bahkan tiada selera hanya sekedar bertanya.
"Den, itu... Tuan dan Nyonya meminta Anda keluar, karena sebentar lagi keluarga Non Raisa akan datang," kata sang Pelayan tertunduk segan.
Damar hanya mengangguk lemah. Lalu menutup pintu secara teratur. Ia masih mengenakan pakaian santainya, belum ada persiapan untuk sekedar berhias. Bahkan, sejak tadi gawainya berdering panggilan dari Raisa menumpuk. Namun selera untuk mengangkatnya telah sirna. Hidup Damar bak tiada arah, setelah kematian Istrinya.
Damar lebih memilih menghempaskan tubuhnya diatas ranjang. Bayangan kecil dari bayi itu, kini mulai memenuhi ruang pikirannya. Namanya Dayu Maheswari. Bayi malang itu terlahir tanpa dekapan hangat sosok Ibu kandung. Tangisannya, tawanya, senyum hangat itu, kini menjadi obat pelipur lara bagi Damar atas rasa bersalahnya.
"Jika kamu tidak dapat menghabisinya sendiri, maka Ayah lah yang menghabisi Istrimu! Ingat, Dama... Kamu harus secepatnya menikah dengan Raisa, agar perusahaan Ayah dapat berkembang dengan pesat. Dan lagi... Ayu sudah mengetahui rahasia besar kita. Jika rahasia itu sampai di tangan Darma, maka habislah usaha Ayah!"
Kalimat ancaman itu selalu berputar dalam ingatan Damar. Sejujurnya, waktu itu ia sudah siap melepaskan pelatuk peluru kearah kepala Ayu. Namun, tiba-tiba saja pistol itu terjatuh. Disaat tubuhnya terasa lemah, pistol itu di ambil alih oleh Tuan Galuh begitu saja.
Hingga Ayu terkapar dengan beberapa peluru bersarang di kepalanya.
Damar bagaikan seonggak tubuh yang tak bernyawa. Namun karena rasa bencinya begitu lebih besar, jadi di tengah rasa pedihnya, bibirnya melekuk senyum iblis. Dadanya kembali tersulut kebencian, mengingat sikap menjijikan yang Ayu lakukan dulu.
Satu kalimat yang bersarang dalam pikirannya.
"Akhirnya mati juga kamu, Ayu!"
Damar kembali tersadar, sebab pintu kamarnya kembali di ketuk oleh seseorang dari luar. Namun kali ini suara itu lebih nyaring, nyaris tanpa jeda.
Bu Fatma sudah menampakan wajah kesal, menggerutu sambil menggebrak kuat pintu kamar putranya.
Dengan wajah malasnya, Damar kembali membuka.
"Kenapa kamu masih belum bersiap, Damar? Raisa dan keluarganya sudah menunggu di depan!" Geram Bu Fatma.
Damar hanya berkata, "Aku tinggal ganti baju saja, Bu!"
Bu Fatma mendesah kasar. Setelah itu ia melenggang keluar begitu saja.
Sementara Damar, ia saat ini tengah bersiap-siap untuk keluar. Pria itu hanya mengenakan hem bewarna hitam, dan juga celana hitam senada.
Disaat ia menuruni tangga, suara derap langkahnya membuat Rumi menoleh.
Deg!
Seketika tatapan keduanya bertemu sejenak. Akan tetapi, tatapan yang rumi berikan berbeda dengan tatapan Damar. tatapan Damar hanya keterkejutan sebab calon adik iparnya itu yang tengah duduk anggun, dengan penampilan berbeda.
Sementara Rumi. Ia menatap Damar begitu sinis. Benci, kecewa, sakit, kepedihan, kini kembali bersemayam kuat dalam ingatannya.
Bersambung...
ayu itu istrinya damar yang sudah di bunuh mertuanya sendiri kak. lalu Ayu bertransmigrasi ke tubuh Rumi.
sementara Rumi, dia adik angkat Raisa, selingkuhanya Damar. apa masih bingung kak🤗😍
Rumi nich knp jga.