Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Pilu
Wira berbalik, meninggalkan Niar dan Aura yang terkejut. Namun, Niar tak membiarkan Wira pergi. Ia dengan cepat menarik lengan Wira. "Wira! Jangan pergi! Kau tidak bisa meninggalkanku begini!" teriak Niar, suaranya dipenuhi kepanikan.
Di sisi lain, Aura juga ikut menahan Wira. Air mata palsunya mengalir deras. Aura tak terima saat Wira bilang pernikahan mereka batal. "Wira, kenapa?! Kenapa kau melakukan ini padaku?! Kita akan menikah!"
Wira geram. Ia sudah muak dengan sandiwara dan kebohongan mereka. Ia menatap Niar dan Aura dengan mata penuh amarah. "Lepaskan aku!" bentak Wira. Wira geram dan mendorong mereka dengan paksa. Niar dan Aura terhuyung, hampir terjatuh.
Tanpa membuang waktu, Wira gegas masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin dengan cepat, lalu memutar kemudi. Niar dan Aura yang masih terpaku, melihat Wira melajukan mobilnya meninggalkan mereka.
Niar berteriak histeris, "Wira! Jangan pergi! Kembali!" Namun, Wira tidak peduli. Ia terus memacu mobilnya, menjauhi mereka. Niar menjerit tak terima, wajahnya merah padam. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Wira kini telah mengingat semuanya, dan semua rencananya hancur berantakan. Ia merasa putus asa, marah, dan malu.
Tidak lama kemudian, pengawalnya datang dan membantunya berdiri. Niar menatap kepergian Wira dengan tatapan penuh kebencian. "Kejar dia! Kejar Wira!" perintah Niar pada pengawalnya, suaranya parau.
Namun, Wira sudah terlalu jauh. Ia berhasil kabur dari sangkar kebohongan yang dibuat oleh Niar dan Aura. Ia harus mencari Shanum. Ia harus meminta maaf atas semua yang telah ia lalui. Ia harus memperbaiki semuanya. Di benaknya, hanya ada satu tujuan: menemukan istri dan putrinya.
Sementara itu, Aura hanya bisa menangis di sana, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Niar menatapnya dengan dingin. "Ini semua salahmu, Aura! Kau tidak bisa membuat Wira jatuh cinta padamu!" bentak Niar.
Aura hanya bisa menangis, ia tidak bisa membantah. Niar, yang merasa semua rencananya gagal, kini tidak punya siapa-siapa lagi untuk ia salahkan, selain dirinya sendiri. Namun, ia terlalu egois untuk mengakui kesalahannya. Ia hanya akan terus menyalahkan Shanum, Rivat, dan takdir yang seolah-olah berpihak pada mereka.
****
Niar memarkir mobilnya di jalanan sepi, jauh dari rumah Pak Pamuji. Amarah dan dendam membakar hatinya. Rencananya gagal, Wira sudah tahu kebenaran, dan Shanum kini menjadi pemenang. Niar tidak bisa menerima itu. Ia akan menghancurkan segalanya. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan sebuah jeriken berisi bensin dari bagasi mobilnya.
Dengan angkuh, Niar menyiram bensin pada rumah Pak Pamuji dan Bu Roro. Ia melangkah di sekeliling rumah sederhana itu, menyiramkan bensin ke setiap dinding dan jendela, seolah-olah ia sedang menyiramkan racun. Niar tidak peduli dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Ia hanya ingin melihat Shanum menderita, melihat semua orang yang membantu Shanum ikut hancur. Setelah memastikan seluruh bagian rumah sudah basah oleh bensin, Niar mengambil korek api, menyalakannya, lalu melemparnya ke arah rumah.
Seketika, api langsung menyambar. Kobaran api membesar dengan cepat, menjilat dinding kayu rumah. Tanpa belas kasih, ia membakar rumah itu. Niar berdiri di depan rumah yang terbakar, menyaksikan api membesar. Niar tertawa layaknya iblis, tawa yang dingin dan menakutkan, tawa yang penuh kemenangan.
"Rasakan itu! Rasakan penderitaan yang kalian berikan padaku!" teriak Niar, suaranya parau. Ia akan membuat Shanum dan orang-orang yang berada di pihak wanita itu menderita. Niar merasa, dengan membakar rumah ini, ia sudah membalas semua dendamnya.
Di dalam rumah, suasana sudah panik. Api membesar dengan cepat, asap tebal memenuhi ruangan. Bu Roro, Pak Pamuji, dan Mariska berusaha mencari jalan keluar.
"Api! Api!" teriak Mariska, menangis ketakutan.
"Kita harus keluar! Cepat cari pintu!" perintah Pak Pamuji, panik. Mereka berlari ke arah pintu depan, namun pintunya terkunci rapat dari luar. Mereka mencoba pintu belakang, namun hasilnya sama. Semua pintu sudah dikunci.
"Tolong! Tolong!" teriak Bu Roro, putus asa. Ia menggedor-gedor pintu dengan sekuat tenaga, namun tidak ada yang mendengarnya. Api sudah membesar, asap tebal membuat mereka sulit bernapas. Keringat dingin membasahi wajah mereka. Mereka menyadari, ini semua adalah ulah Niar. Mereka terjebak, dan tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka.
Di luar, Niar hanya tersenyum puas. Ia melihat api membakar rumah itu, dan ia tahu, semuanya sudah berakhir. Ia tidak tahu, ia akan mendapatkan balasan yang jauh lebih besar dari semua yang ia perbuat.
****
Shanum baru saja keluar dari sebuah toko kelontong di kota, membawa beberapa kantong belanjaan. Pikirannya melayang, teringat pada Wira yang ia temui di pengadilan. Ia tahu, setelah semuanya berakhir, ia harus fokus pada Mariska dan kehidupannya di desa. Namun, langkahnya terhenti.
Tepat di depannya, Wira berdiri. Matanya yang dulu kosong kini dipenuhi dengan sorot penyesalan. Shanum terkejut, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak tahu mengapa Wira ada di sana.
Tanpa berkata apa-apa, Wira memeluk Shanum dengan erat. Pelukan itu terasa tulus, penuh dengan kerinduan dan penyesalan yang mendalam. Shanum sempat terdiam, namun ia dengan cepat tersadar. Ini tidak benar.
"Mas Wira, lepaskan!" ucap Shanum, suaranya bergetar.
Wira menggelengkan kepalanya. "Aku sudah ingat semuanya, Shanum. Aku ingat kamu, aku ingat Mariska. Aku ingat semuanya."
Air mata Wira menetes, membasahi bahu Shanum. Pengakuan itu seharusnya membuat Shanum bahagia, namun hati Shanum sudah terlalu lelah untuk menerima itu. Dengan segenap kekuatannya, Shanum mendorong Wira.
"Tidak, Wira. Sudah terlambat," kata Shanum, ia menatap Wira dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku tidak peduli kau sudah ingat atau belum. Kita akan tetap bercerai."
Wira nampak kecewa, wajahnya yang semula penuh harapan kini dipenuhi rasa sakit. "Kenapa? Kenapa kamu masih mau bercerai? Aku sudah ingat semuanya, Shanum! Kita bisa kembali seperti dulu."
"Kembali seperti dulu?" Shanum tertawa getir. "Tidak, Mas Wira. Kita tidak bisa. Aku sudah terlalu lelah. Mama hampir membunuhku. Aku tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan seperti itu. Anakku juga trauma. Kita tidak bisa kembali seperti dulu, semua berubah!"
Keputusan Shanum sudah bulat. Ia menatap mata Wira, berharap pria itu akan mengerti. "Aku minta maaf, Mas Wira. Tapi ini yang terbaik. Untuk kita semua. Aku harap kamu paham."
Wira hanya bisa menunduk, merasakan kekalahan yang pahit. Ia mengerti, perbuatan Niar telah merusak segalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Shanum.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah sepeda motor berhenti dengan mendadak. Rivat muncul, ia berlari ke arah Shanum dengan wajah yang panik. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi.
"Shanum! Shanum!" teriak Rivat. "Kamu harus ikut aku! Sekarang juga!"
"Mas Rivat? Ada apa?" tanya Shanum, bingung melihat ekspresi Rivat.
"Rumah... rumah kita..." Rivat tidak bisa melanjutkan perkataannya, ia terlalu panik.
"Ada apa dengan rumah kita, Mas?" tanya Shanum, firasat buruk mulai menyelimutinya.
"Rumah kita... rumah di desa kebakar!" teriak Rivat, air matanya menetes. "Ada yang sengaja membakarnya! Ibu, Ayah, dan Mariska... mereka ada di dalam!"
Mendengar itu, dunia Shanum runtuh. Ia tidak bisa memproses informasi itu. Rumah yang menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman, kini terbakar. Kedua orang tua yang sudah ia anggap seperti kedua orang tua sendiri dan putrinya mereka terjebak di dalam.
Tubuh Shanum limbung, ia tidak bisa berdiri. Kakinya terasa lemas, dan pandangannya kabur. Rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih besar dari apa pun yang pernah ia rasakan. Ia tidak bisa berteriak, tidak bisa menangis. Ia hanya bisa merasakan kehancuran yang total membuatnya pingsan!