NovelToon NovelToon
Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Anak Lelaki/Pria Miskin / Penyelamat
Popularitas:703
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rayuan Ditengah Hukuman

Mereka berlima menghela napas panjang, saling tatap dengan ekspresi campur aduk antara kaget dan pasrah, karena perintah Lisa jelas tidak bisa dibantah saat nada suaranya sudah berubah dingin begitu.

"Tapi, Bu Lisa, ini lima ratus putaran lho, apa tidak terlalu berlebihan?" tanya Rio hati-hati, berusaha mencari celah untuk negosiasi meskipun ia tahu itu hampir mustahil.

Lisa melipat tangannya di dada, senyum tipis yang tak terbaca tersungging di bibirnya, lalu ia menjawab dengan nada yang santai namun penuh penekanan, "Menurutmu saja, Rio, apakah ketidakfokusan kalian pada misi yang begitu penting itu tidak berlebihan?"

Ia menunjuk pintu keluar dengan dagunya, memberi isyarat agar mereka tidak membuang waktu lagi dengan protes yang tidak berguna.

Delisa berdecak kesal, "Oke, oke, kami mengerti, tapi Yansya kan cuma melamun sebentar, Bu, tidak seperti kami yang memang dari tadi sibuk bergosip." Firmino memutar bola matanya, "Delisa, sudahlah, jangan memperkeruh suasana, makin banyak bicara makin lama kita di sini."

Beban mengangguk setuju, "Betul, nanti malah ditambah jadi seribu putaran." Layla hanya bisa menghela napas pasrah, menatap teman-temannya yang kini mulai bergerak menuju pintu, mereka tahu bahwa mereka harus menuruti perintah kepala divisi itu tanpa bantahan lebih lanjut.

Begitu pintu ruang rapat tertutup, Beban langsung mendengus keras, "Gila saja, lima ratus putaran, ini namanya penyiksaan massal." Rio mengusap wajahnya, "Aku tidak menyangka Lisa bisa semarah itu, padahal kan cuma sedikit bercanda tentang Yansya."

Delisa tertawa pahit, "Sedikit? Kita sudah seperti paduan suara tadi, Rio, siapa suruh kita tidak hati-hati." Firmino menepuk pundak Beban yang masih menggerutu, "Sudahlah, terima saja, memang salah kita tidak fokus, lagipula siapa yang berani melawan Lisa kalau sudah begitu?"

Layla berjalan di samping mereka sambil menggelengkan kepala, "Kasihan Yansya, dia jadi kena getahnya juga padahal dia itu korban di sini, tapi ya sudahlah, mungkin ini memang cara Lisa untuk melampiaskan kekesalannya pada kami semua."

Mereka bergegas menuju lapangan, langkah kaki yang berat seolah menggambarkan keengganan mereka menghadapi hukuman yang baru saja dijatuhkan. "Kita mulai dari mana ini?" tanya Rio sambil menunjuk lapangan luas di hadapannya.

Delisa menatapnya dengan pandangan malas, "Ya sudah lari saja dari sekarang, Rio, tidak usah banyak tanya, makin cepat mulai makin cepat selesai." Firmino terkekeh pelan, "Setidaknya Yansya sudah lebih dulu memulai, jadi kita ada teman menderita."

Beban langsung menyahut, "Mana enak begitu, aku malah berharap dia ada di sini juga supaya kita semua bisa mengeluh bareng." Layla hanya tersenyum tipis, "Sudah, sudah, jangan banyak bicara lagi, ayo kita lari!"

Dengan napas terengah-engah, mereka mulai mengikuti langkah Yansya yang sudah lebih dulu melesat di depan. Rio menoleh ke arah Delisa yang tampak mulai kelelahan. "Ini baru putaran kesepuluh, Delisa, kau sudah terlihat seperti habis marathon saja," celetuk Rio sambil tertawa.

Delisa mendelik, "Jangan mengejekku, Rio, kalau kau sudah pernah merasakan bagaimana rasanya berlari lima ratus putaran dengan sepatu ini, kau akan tahu penderitaanku." Beban yang berada di samping mereka langsung mengeluh, "Kapan ini akan berakhir, aku sudah merasa seperti jelly, padahal baru sebentar."

Firmino yang tetap tenang hanya tersenyum tipis, "Anggap saja ini latihan tambahan, Beban, siapa tahu besok ada misi kejar-kejaran yang lebih berat." Layla tertawa geli, "Benar, kita harus bersyukur, paling tidak kita tidak sendirian merasakan hukuman ini."

Lalu Beban terhuyung sejenak, menopang tubuhnya pada paha, ia menatap papan penunjuk jarak di pinggir lapangan dengan mata menyipit. "Tunggu dulu, kalau satu putaran itu dua kilometer, berarti kita harus menempuh seribu kilometer?" Beban bertanya dengan nada yang terdengar tak percaya, suaranya tercekat karena napasnya yang putus-putus.

Hal itu membuat Rio langsung tersedak air liurnya dan menatap papan itu dengan horor. "Apa? Seribu kilometer? Itu sama saja lari dari Jakarta ke Surabaya!" Rio berteriak, suaranya nyaris melengking.

Delisa langsung menimpali, "Jangan menakutiku, Rio, aku belum mau pensiun dini karena encok!" Firmino menggelengkan kepala, "Ya sudah, mau bagaimana lagi, itu perintah, anggap saja ini misi maraton tanpa henti."

Layla hanya bisa menghela napas pasrah, "Baiklah, mari kita lari demi Lisa dan juga untuk harga diri kita semua, jangan sampai Lisa berpikir kita ini cuma bisa gosip saja."

Pada putaran kedua puluh, saat napas mereka sudah memburu tak beraturan dan kaki terasa seperti timah, tiba-tiba suara lantang Lisa menghentikan langkah mereka semua, suaranya menggelegar di seluruh lapangan. "Cukup! Semua berhenti sekarang!" perintah Lisa.

Tatapannya menyapu setiap wajah yang kini basah oleh keringat, ia melihat Yansya juga sudah terlihat lelah, tetapi ia masih bisa mempertahankan posisinya di depan sana, bahkan ia masih sanggup berlari dibandingkan dengan timnya yang sudah terhuyung-huyung.

Rio langsung terduduk di tanah, mengeluh, "Syukurlah, aku kira aku akan pingsan di sini." Delisa menatap Lisa dengan mata memohon, "Terima kasih, Bu, kau sudah menyelamatkan hidup kami."

Beban hanya bisa terengah-engah sambil bersandar di dinding, "Aku tidak tahu lagi berapa lama aku bisa bertahan." Firmino menepuk bahu Beban, "Setidaknya kita tahu batas kemampuan kita sekarang." Layla tersenyum kecil, "Akhirnya, aku bisa bernapas dengan lega."

Di tengah kelegaan timnya, Yansya justru melangkah mendekat ke arah Lisa, senyum tipis terukir di bibirnya yang masih basah oleh keringat. "Wah, Bu Lisa memang jago, bahkan hukuman lari pun jadi terasa seperti adegan film, tidak kalah menegangkan dari kencan semalam," ucap Yansya dengan nada yang santai dan penuh godaan, ia tahu persis bagaimana kata-kata itu akan memancing reaksi Lisa.

Lisa menoleh cepat, tatapan matanya menajam, ia tidak menyangka Yansya berani memprovokasiku di depan tim, padahal baru saja ia menghentikan hukuman mereka. "Yansya, kau ini mau lari lagi lima puluh putaran sendirian?" ancam Lisa dengan suara rendah namun penuh peringatan, membuat anggota tim yang lain langsung menatap Yansya dengan ngeri. Yansya hanya terkekeh, "Santai saja, Bu, aku cuma mau memastikan kalau kau juga merasakan efek latihan ini, bukan cuma kami."

Yansya semakin mendekat ke arah Lisa, melirik sekilas ke arah timnya yang kini terlihat lega, lalu ia membungkuk sedikit dan berbisik pelan tepat di telinga Lisa, suaranya terdengar begitu rendah namun penuh keyakinan, "Percayalah, Lisa, setelah aku mendapatkanmu, kau akan memohon setiap malam."

Bisikan itu membuat rona merah samar muncul di pipi Lisa, ia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan keterkejutannya, namun pandangan matanya yang tajam tetap tidak berubah. Ia mencoba membalas bisikan Yansya dengan tenang, "Jangan terlalu percaya diri, Yansya, karena kau harus tahu bahwa mendapatkan hatiku tidak semudah itu, apalagi jika kau hanya bermodalkan rayuan murahan seperti itu."

Delisa, Rio, Firmino, Beban, dan Layla yang baru saja merenggangkan otot-otot mereka, langsung saling pandang dengan ekspresi penasaran yang tak terbendung setelah mendengar ucapan "kencan semalam" dari Yansya tadi. "Kencan semalam? Apa maksud Yansya, Firmino?" bisik Rio pelan, matanya berkedip tidak mengerti, karena ia tidak mau ketinggalan informasi penting.

Firmino hanya mengangkat bahu, "Entahlah, Rio, aku juga baru mendengarnya, tapi sepertinya memang ada sesuatu di antara mereka." Beban menyikut Delisa, "Jangan-jangan benar apa yang kita bicarakan tadi, mereka diam-diam punya hubungan khusus di luar pekerjaan."

Delisa tersenyum penuh arti, "Sudah kuduga, tidak mungkin Lisa semarah itu kalau tidak ada apa-apa, apalagi cuma karena gosip." Layla terkekeh, "Ini akan jadi cerita yang menarik di kantin nanti."

Lisa sendiri mencoba mengabaikan bisikan genit Yansya dan tatapan menyelidik dari timnya. Ia berusaha keras untuk tetap menjaga ekspresi profesionalnya, meskipun di dalam hatinya ada gejolak yang sulit dijelaskan. Perasaannya campur aduk antara kesal karena provokasi Yansya dan sedikit rasa malu karena kata-kata yang diucapkan lelaki itu di depan umum.

Lisa tahu bahwa ia harus bersikap tegas, karena posisinya sebagai kepala divisi mengharuskan ia selalu terlihat berwibawa, namun godaan Yansya selalu punya cara untuk mengusik ketenangan yang selama ini ia jaga dengan rapat. Ia hanya bisa menghela napas pelan, berharap timnya tidak terlalu memikirkan perkataan Yansya, padahal ia tahu persis bahwa rasa penasaran mereka sudah terlanjur memuncak.

Kini, timnya saling berbisik dengan riuh, membahas spekulasi tentang hubungan Yansya dan Lisa. Rio menunjuk ke arah Yansya dan Lisa yang masih berdiri berdekatan, "Lihat itu, Bu Lisa sampai pipinya agak merona begitu, padahal dia itu kan jarang sekali menunjukkan ekspresi seperti itu."

Delisa mengangguk setuju, "Benar, Rio, dan Yansya juga, dia berani sekali menggoda kepala divisi kita, biasanya kan dia itu sopan sekali." Firmino hanya bisa tersenyum simpul, "Mungkin memang ada sesuatu yang berkembang di antara mereka, siapa tahu kita akan mendapatkan berita bahagia sebentar lagi."

Beban tertawa kecil, "Wah, kalau sampai Lisa dan Yansya benar-benar pacaran, ini bisa jadi gosip terpanas di seluruh divisi!" Layla menimpali, "Aku sudah bisa membayangkan bagaimana hebohnya nanti kalau sampai mereka menikah."

Mendengar bisikan-bisikan dan tawa geli timnya, tiba-tiba aura Lisa berubah drastis, senyum tipis yang tadi tersungging di bibirnya kini lenyap, digantikan dengan raut wajah yang dingin dan tatapan mata yang tajam, seolah ada kegelapan yang tiba-tiba menyelimutinya.

Rio, Delisa, Firmino, Beban, dan Layla yang awalnya masih saling berbisik, langsung terdiam serentak, tubuh mereka menegang ketika merasakan perubahan aura Lisa yang begitu cepat, aura yang seperti iblis keluar dari dalam dirinya.

Tanpa menunggu aba-aba, Rio langsung berteriak ketakutan, "Lari! Lisa sudah berubah jadi iblis!" ia langsung mengambil langkah seribu, disusul Delisa, Firmino, Beban, dan Layla yang juga berlari tunggang langgang menjauh dari Lisa, meninggalkan Yansya sendirian yang justru masih berdiri tenang di tempatnya, menatap Lisa dengan senyum tipis yang tak sedikit pun memudar.

Setelah timnya berlari kalang kabut, Lisa mendekati Yansya dengan langkah pelan, senyum yang tadi menyeramkan kini terukir di bibirnya, namun matanya memancarkan kilatan yang sulit diartikan. "Jadi Yansya, apa yang kau katakan tadi? Hmm?" tanya Lisa, suaranya terdengar lembut namun penuh penekanan, membuat Yansya hanya bisa menelan ludah, ia tahu bahwa kali ini ia benar-benar harus memikirkan jawaban yang tepat, karena senyum Lisa saat ini jauh lebih berbahaya dibandingkan amarahnya yang menggelegar tadi.

Yansya, meskipun terkejut dengan senyum menakutkan Lisa, tetap tidak kehilangan akal. Ia melangkah lebih dekat, merangkul pinggang Lisa dengan lembut, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Kau pikir kau terlihat menyeramkan, justru kau semakin cantik tahu," bisik Yansya, suaranya dipenuhi ketenangan yang kontras dengan situasi.

Hal itu membuat Lisa terdiam sejenak, ia tidak menyangka Yansya akan membalas dengan pujian seperti itu, padahal ia sudah mencoba bersikap paling menyeramkan, tetapi Yansya justru membuat hatinya berdesir karena pujian itu. Yansya melanjutkan, "Apalagi saat kau marah, kau itu seperti dewi yang sedang mengamuk, sangat mempesona, jadi tidak usah berpura-pura seram lagi di depanku, karena itu tidak akan mempan." Ia terkekeh pelan, menikmati perubahan ekspresi Lisa yang kini tampak sedikit salah tingkah.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang mendekat dari arah belakang lapangan memecah momen tegang antara Yansya dan Lisa. Fabian berjalan menghampiri mereka dengan tatapan mata yang tajam, ia melihat pemandangan Yansya yang merangkul pinggang Lisa, ekspresi wajahnya berubah masam, seolah tidak senang dengan pemandangan di hadapannya.

"Wah, wah, sepertinya aku mengganggu momen romantis kalian berdua, ya?" ucap Fabian dengan nada sinis, tangannya menyilangkan di dada, ia menatap Yansya dan Lisa secara bergantian, ia tahu persis bahwa Yansya sedang merayu Lisa, meskipun ia tidak mendengar percakapan lengkap mereka.

Yansya melepaskan rangkulannya dari pinggang Lisa, lalu ia menoleh ke arah Fabian dengan senyum tipis yang penuh makna, "Kau datang di saat yang tepat, Fabian, karena aku sedang ingin menghangatkan badan sedikit."

Fabian mendengus kesal, raut wajahnya semakin masam mendengar jawaban Yansya yang begitu santai dan tanpa basa-basi, padahal sebagai seorang direktur senior, ia merasa pantas mendapatkan rasa hormat dari juniornya. "Apa-apaan itu, Yansya, aku ini atasanmu, kenapa kau memanggil namaku begitu saja, tidak ada sopan santunnya sama sekali," tegur Fabian, ia menyilangkan tangannya lebih erat, seolah ingin menunjukkan dominasinya.

Yansya hanya mengangkat bahu, "Oh, maaf kalau itu membuatmu kesal, Fabian," ucap Yansya sambil tersenyum tipis, "aku kira pertemuan pertama kita sudah cukup berkesan untuk saling memanggil nama, karena aku tidak suka basa-basi." Ia tersenyum, senyuman yang penuh arti, seolah ingin memberitahu Fabian bahwa ia tidak merasa terintimidasi sama sekali dengan teguran itu.

1
Khusus Game
oke, bantu share k
Glastor Roy
yg bayak tor up ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!