Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Lira menoleh tajam, sorot matanya menusuk.
“Karena hanya aku yang bisa melindungimu dari makhluk-makhluk itu,” lanjut Yash, nada suaranya penuh keyakinan.
Lira terdiam, menimbang kata-kata itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena marah, tapi juga karena ia tak bisa menyangkal ada sedikit kebenaran di sana.
Ia menghela napas, lalu berkata pelan namun tajam, “Aku ingin bertanya padamu, Yash. Apa kau yang menyebabkan orang-orang di kota mati tak wajar itu?”
Tatapan Yash tidak goyah. “Iya,” jawabnya datar, seakan hal itu bukan sesuatu yang perlu ia sembunyikan. “Aku memilih mereka yang melakukan banyak kejahatan.”
Lira mengernyit. “Anak SMA waktu itu? Yang ditemukan tak bernyawa di pinggir jalan?”
Yash menundukkan kepala sedikit, matanya gelap. “Dia pembully di sekolahnya. Korbannya sampai bunuh diri. Malam itu aku ingin memberinya pelajaran.”
Kaki Lira gemetar. Ia melangkah mundur setapak, matanya berkaca-kaca. “Aku bingung… aku nggak tahu harus gimana. Kalau aku beritahu orang-orang tentang kebenaran ini, mereka tak akan percaya. Mereka akan menganggapku gila. Tapi kenyataan ini…” suaranya pecah, “…jauh lebih gila dari semua yang kubayangkan.”
Yash menghela napas dalam. Tatapannya berubah lembut, namun tetap ada kegelapan di dalamnya. “Aku tahu. Tapi aku tak peduli pada apa pun lagi, Lira. Aku hanya ingin menarik perhatianmu. Itu saja.”
Kata-kata itu membuat Lira terdiam kaku. Jantungnya seolah berhenti sesaat. Ia menatap Yash tak percaya, antara marah, takut, sekaligus… entah mengapa, hatinya bergetar.
“Bagaimana kau akan bertanggung jawab untuk itu?” suara Lira bergetar, tapi penuh kemarahan yang tertahan.
Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, kukunya sampai menancap ke telapak. Matanya menatap Yash lurus, penuh luka dan kebingungan.
Yash tak segera menjawab. Rahangnya mengeras, napasnya berat seolah menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan mudah. Ia melangkah mendekat, bayangan tubuhnya menutupi cahaya matahari pagi yang jatuh di wajah Lira.
“Aku tidak bisa menghidupkan mereka kembali,” ucapnya lirih, nyaris seperti pengakuan. “Aku tahu setiap darah yang kutumpahkan tidak akan bisa ditebus. Tapi aku… aku memilih menanggungnya. Semua kuterima, asal kau tidak meninggalkanku.”
Lira tertegun, hatinya berdenyut sakit. “Jangan bicara seakan semuanya sederhana, Yash! Itu nyawa manusia! Mereka punya keluarga, punya hidup—kau merenggutnya semudah itu!” suaranya pecah, matanya berair.
Yash menunduk sesaat, lalu mendekat lagi, jarak mereka hanya sejengkal. “Aku tahu aku monster di matamu. Tapi monster ini hanya ingin kau tetap di sisinya. Itu satu-satunya yang kuinginkan.”
Lira mundur, tubuhnya gemetar, tak mampu membedakan apakah ia lebih takut pada sosok Yash… atau pada perasaan asing yang perlahan muncul di hatinya.
“Kau tak benar-benar menginginkan aku, Yash,” suara Lira pecah, penuh getir. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya sedikit gemetar menahan gejolak di dada. “Kau… kau hanya menginginkan wanita itu. Wanita yang kau bunuh di masa lalu.”
Yash langsung menegang. Pupus sudah ketenangannya. Tatapannya membeku, dan untuk sesaat seolah udara di sekitar mereka ikut berhenti bergerak.
Lira menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata, namun suaranya semakin keras. “Aku melihatnya dalam mimpi… atau entah apa itu. Wajahnya sama persis denganku. Dan aku melihatmu… menusuknya dengan tanganmu sendiri.”
Ia menatap Yash penuh tuduhan. “Itu benar, kan?”
Yash memejamkan mata, rahangnya mengeras seolah menahan sakit yang dalam. Tangannya sempat terangkat, ingin menyentuh Lira, tapi ia urungkan. Suara rendahnya akhirnya keluar, bergetar.
“Arum…” ia menyebut nama itu, hampir seperti doa yang pecah di bibirnya. “Ya, itu nyata. Kau melihat masa lalu. Aku… aku yang mengakhirinya. Karena aku terlalu takut kehilangan.”
Lira tersentak, dadanya terasa sesak. Ia mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. “Jadi benar… semua ini bukan tentang aku. Aku hanyalah bayangan dari perempuan itu. Kau mencariku hanya karena aku mirip dengannya…”
“Tidak!” Yash tiba-tiba berseru, matanya menyala dengan intensitas yang membuat Lira tercekat. “Kau adalah dia… dan sekaligus bukan dia. Aku tahu itu! Cahaya yang sama hidup di dalam dirimu, tapi… kali ini aku tidak ingin mengulang kesalahan. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
“Cahaya apa?” Lira menatap Yash dengan mata membara, berusaha menahan suara yang bergetar.
“Lira…” suara Yash merendah, nyaris berbisik, namun penuh intensitas. “Kau adalah reinkarnasi Arum. Aku sudah menunggumu ratusan tahun. Kau… cinta pertamaku.”
Lira menggeleng cepat, langkahnya mundur satu, dua kali, seolah jarak bisa melindunginya dari kebenaran yang menyesakkan. “Kalau begitu… kenapa kau menusuknya? Kenapa kau membunuh perempuan itu kalau kau mencintainya?”
Yash terdiam. Untuk sesaat matanya kosong, seperti diseret kembali ke malam ratusan tahun lalu. Rahangnya menegang, dadanya naik-turun menahan sesuatu yang sulit ia ucapkan.
“Apa yang kau lihat…” akhirnya suaranya pecah, serak. “Itu hanya potongan. Potongan dari kebenaran. Aku memang menusuknya. Tapi bukan karena aku ingin mengakhiri hidupnya.”
Lira terpaku. Air matanya jatuh begitu saja di pipinya. “Jangan berdusta lagi.”
“Aku melakukannya… agar kau bisa hidup lagi.” Yash maju selangkah, suaranya meninggi penuh emosi. “Agar kau bisa reinkarnasi, Lira! Aku lebih memilih menunggumu ratusan tahun… daripada kehilanganmu selamanya. Aku tahu itu egois. Aku tahu!”
Suara Yash pecah, matanya berkilat penuh rasa sakit. Tangannya terulur, seolah ingin meraih Lira, tapi berhenti di udara, gemetar.
“Aku tidak ingin dunia merenggutmu dariku lagi… walaupun itu berarti aku sendiri harus menanggung dosa hingga waktu tak bertepi.”
Lira menutup mulutnya dengan telapak tangan, tubuhnya gemetar hebat. Hatiku… kenapa sakit sekali mendengarnya? pikirnya dalam hati. Namun bayangan tusukan pedang itu terus menghantuinya.
“Lira… kumohon.” Suara Yash bergetar, hampir pecah. “Biarkan aku ada di sisimu. Menjagamu. Menemanimu.”
Lira terus mundur, langkahnya goyah di atas tanah berbatu tebing. Matanya berair, jantungnya berdegup tak terkendali. “Jangan dekati aku lagi, Yash! Kau selalu bicara seolah semuanya demi aku, tapi nyatanya kau cuma monster yang menunggu untuk merenggutku!”
Cahaya pagi menyorot wajah pucat Lira, membuatnya semakin terlihat rapuh, namun tatapannya penuh perlawanan. Ia tidak menyadari bahwa di belakangnya hanya ada udara kosong.
“Kau salah paham, aku—” Yash terhenti ketika kaki Lira melangkah terlalu jauh.
Batu kecil di bawah kakinya terlepas, meluncur ke jurang. Tubuh Lira kehilangan keseimbangan. Wajahnya seketika panik.
“Aaah!” teriak kecilnya meluncur bersama tubuh yang terjatuh ke jurang, rambutnya berkibar diterpa angin pagi.
“Lira!” Yash berteriak, tanpa pikir panjang sayap hitam pekat membentang lebar. Ia meluncur cepat, menembus cahaya matahari pagi yang mulai meninggi.
Dalam sekejap tubuh Lira yang jatuh bebas itu tertangkap dalam pelukan Yash. Nafas Yash terengah, wajahnya tegang, namun tangannya menggenggam Lira seolah tak akan pernah melepaskan.
“Bodoh!” desis Yash dengan suara parau, menahan gemetar di dadanya. “Apa kau ingin mati?!”
Lira terisak, menatapnya dari dekat. Tubuhnya gemetar di dalam pelukan itu. “Lepaskan aku…” suaranya lirih, tapi tangannya justru refleks mencengkeram kuat baju Yash, seolah tubuhnya sendiri mengkhianati kata-katanya.
Mereka terus melayang di udara, di antara sinar matahari yang menembus kabut tipis pagi. Yash menunduk menatapnya, suaranya melembut, nyaris berbisik. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, Lira… tidak kali ini.”