Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis yang Pecah Di Taman
Suasana arisan bulanan para sosialita di lingkungan elit itu biasanya dipenuhi tawa dan obrolan ringan. Namun, hari itu, Diana duduk dengan wajah masam. Matanya menatap tajam ke arah teman-teman arisannya yang mulai riuh menanyakan soal Karina yang belum juga hamil.
"Gimana, Di? Karina sudah isi belum?" tanya Bu Sandra, salah satu teman arisan, dengan nada santai. "Sudah berapa lama ini Januar sama Karina menikah? Kok belum ada kabar gembira?"
Diana tersenyum kaku. "Belum, Bu Sandra. Belum rezeki."
"Padahal dulu katanya Karina lebih baik dari Novia, bisa langsung ngasih cucu," celetuk Bu Tini, suaranya sedikit sengaja dikeraskan. "Novia kan katanya mandul."
Bisik-bisik mulai terdengar di antara para ibu-ibu arisan. Mereka mulai membanding-bandingkan. Bisik-bisik itu membuat Diana menggebrak meja. Suara gebrakannya cukup keras, membuat beberapa cangkir di meja bergeser dan para ibu terdiam sesaat.
"Kenapa kalian jadi mengurusi urusan rumah tangga anak saya?!" bentak Diana, wajahnya memerah padam. "Saya tidak suka kalian membicarakan itu!"
Bu Sandra mencoba menenangkan. "Maaf, Di. Kami kan cuma bertanya. Dulu kamu sendiri yang bilang Karina itu sempurna, bisa langsung ngasih cucu."
"Iya, Bu Diana. Dulu kan kamu bangga sekali mengusir Novia karena mandul," tambah Bu Lia, dengan nada sinis yang tak bisa disembunyikan. "Sekarang Karina juga belum hamil-hamil. Jangan-jangan Januar-nya yang bermasalah, bukan perempuannya?"
Ucapan Bu Lia bak sambaran petir bagi Diana. Darahnya mendidih. Ia tak terima Januar, putranya, disebut bermasalah. Ia sudah menghina Novia habis-habisan dengan tuduhan kemandulan, kini tuduhan itu kembali padanya, bahkan menyerang Januar.
"Jaga mulutmu, Lia!" teriak Diana, emosinya meledak. "Januar tidak mungkin bermasalah! Dia itu laki-laki sempurna! Yang mandul itu Novia! Dan Karina, dia pasti akan segera hamil! Ini hanya masalah waktu!"
****
Para ibu-ibu arisan saling pandang. Ada yang menahan tawa, ada pula yang menunjukkan ekspresi puas melihat Diana terpojok. Mereka tahu Diana sangat sombong dengan menantunya yang baru, Karina, dan selalu membanggakan bahwa Karina akan segera memberinya cucu. Namun kenyataan berkata lain.
"Kok lama sekali waktunya, Bu Diana?" sindir Bu Ningsih, yang selama ini diam. "Sudah berbulan-bulan lho, kok belum ada tanda-tanda? Jangan-jangan cuma omong kosong saja?"
Diana berdiri dari kursinya, tangannya mengepal. Ia merasa terpojok, terhina, dan tak punya argumen lagi. Semua mata tertuju padanya, seolah menghakiminya atas semua perkataan buruk yang pernah ia lontarkan tentang Novia. Ia telah berkoar-koar bahwa Novia mandul dan tak berguna, namun kini menantunya sendiri belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Melihat ekspresi terpojok Diana, Bu Sandra kembali berkomentar. "Dulu kan kamu bilang Novia itu pembawa sial, Di. Makanya hidupmu dan Januar jadi susah. Tapi kok sekarang...?"
Sebelum Bu Sandra menyelesaikan kalimatnya, Diana sudah berteriak histeris. Ia menunjuk satu per satu teman arisannya. "Diam kalian semua! Kalian semua iri padaku! Kalian iri pada kebahagiaan Januar dan Karina! Kalian hanya ingin melihatku sengsara!"
Diana tak sanggup lagi menahan amarah dan rasa malunya. Ia menarik tasnya dengan kasar, lalu pergi meninggalkan acara arisan itu dengan wajah merah padam, meninggalkan teman-temannya yang saling berpandangan penuh arti.
****
Senyum tipis menghiasi bibir Novia saat ia mengendarai sepeda motornya meninggalkan SMA Harapan Bangsa. Hari ini berjalan lancar, para siswa antusias, dan rekan guru ramah. Namun, di balik senyum itu, ada perasaan lain yang mengganjal hatinya. Ia merasa berhutang budi pada Kenzi.
Meskipun pria itu berulang kali mengatakan tulus membantu dan tidak mengharapkan balasan apa pun, Novia tetap merasa tak enak. Kenzi telah membantunya di banyak sekali kesempatan: dari masalah perceraian, pengusiran dari kontrakan, hingga mendapatkan pekerjaan di sekolah elit ini. Bahkan rumah yang ia tempati sekarang adalah uluran tangan Kenzi. Novia tahu, kebaikan seperti ini sangat langka. Ia ingin membalasnya, namun tak tahu bagaimana caranya.
Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana ia bisa menunjukkan rasa terima kasih yang tulus tanpa harus membuat Kenzi merasa tidak nyaman. Mungkin ia bisa memasak makanan kesukaan Kenzi, atau memberikan hadiah kecil sebagai tanda penghargaan. Novia terlalu sibuk merangkai ide di kepalanya hingga tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Saat Novia melintasi jalan yang agak sepi, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti mendadak di depannya, menghalanginya. Jantung Novia berdebar kencang. Ia tahu siapa pemilik mobil itu.
Pintu mobil terbuka, dan dari dalamnya, Diana keluar dengan wajah merah padam dan mata melotot. Terlihat jelas kemarahan yang membara di wajahnya, sisa dari omongan teman sosialitanya di arisan tadi siang. Diana melangkah mendekati Novia dengan langkah mengancam.
"Novia Anwar! Berani-beraninya kamu!" teriak Diana, suaranya melengking tajam. Ia langsung melampiaskan semua kekesalan dan rasa malunya pada Novia. "Dasar janda murahan! Kamu senang, kan, melihat saya dipermalukan?! Kamu pasti yang menyebarkan fitnah tentang Karina dan Januar, ya?!"
Novia terkejut dan bingung. "Apa yang Anda bicarakan, Bu Diana? Saya tidak menyebarkan fitnah apa pun!"
"Jangan pura-pura tidak tahu! Semua teman arisan saya sekarang membicarakan bagaimana Karina belum juga hamil! Itu pasti ulahmu, kan?!" Diana menunjuk-nunjuk Novia dengan jari gemetar. "Kamu iri, kan, melihat Januar bahagia dengan Karina?!"
Novia menggelengkan kepala. "Saya tidak pernah ikut campur urusan Anda atau Januar."
"Omong kosong! Kamu itu selalu saja menjadi masalah!" Diana mencerca, tak peduli dengan beberapa pengendara yang mulai melambat karena keributan itu. "Kamu itu mandul! Tidak berguna! Seharusnya kamu itu musnah saja dari muka bumi ini! Kenapa kamu masih hidup dan mengganggu kebahagiaan anak saya?!"
Diana mendekat, matanya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu bisa bahagia setelah menceraikan anak saya?! Kamu pikir kamu bisa mendapatkan pria kaya seperti Kenzi?! Jangan mimpi! Dia itu hanya kasihan padamu! Kamu tidak pantas mendapatkan apapun yang baik!"
Novia menunduk, tak sanggup lagi menatap mata penuh kebencian itu. Hinaan itu kembali menusuk-nusuk hatinya. Ia sudah mencoba bangkit, namun Diana selalu datang menghancurkan ketenangannya.
"Dengar baik-baik, Novia! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang! Aku akan pastikan kamu menderita seumur hidupmu!" ancam Diana, suaranya berat dan penuh dendam.
Setelah melampiaskan semua amarahnya, Diana berbalik badan, masuk ke dalam mobilnya, dan melaju pergi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Novia yang gemetar dan kembali terisak di pinggir jalan.
****
Setelah amuk Diana di jalan, Novia tak sanggup langsung pulang ke rumah. Hatinya terlalu sakit, jiwanya terlalu lelah. Ia mengarahkan motornya ke taman kota yang dulu pernah menjadi tempatnya menenangkan diri. Ia memarkir motornya di sudut yang sepi, lalu berjalan menuju bangku di bawah pohon rindang.
Di sana, ia duduk meringkuk, membenamkan wajahnya di telapak tangan. Isak tangis yang tertahan akhirnya pecah. Novia menangis terisak, membiarkan air mata mengalir membasahi pipinya. Semua hinaan Diana, semua rasa sakit dan putus asa, tumpah ruah. Ia merasa begitu sendirian, seolah takdir terus-menerus mengujinya.
Tanpa Novia sadari, sebuah mobil sedan hitam berhenti tak jauh dari taman. Kenzi baru saja selesai dari urusan pekerjaannya dan kebetulan melintas di sana. Matanya menangkap sosok Novia yang terduduk lunglai di bangku taman. Raut wajahnya langsung berubah khawatir. Ia mematikan mesin mobilnya dan diam-diam memerhatikan Novia dari kejauhan, tak ingin mengganggu kesedihan wanita itu.
Namun, melihat tubuh Novia yang terguncang hebat oleh isak tangis, Kenzi tak bisa lagi diam. Ia keluar dari mobilnya, melangkah perlahan mendekati Novia. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, tak ingin mengejutkan wanita itu.
Novia yang merasa ada kehadiran di dekatnya, mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab dan merah menatap sosok yang kini berdiri di depannya. Novia terkejut melihat Kenzi. Ia cepat-cepat mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Kenzi tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang penuh pengertian dan empati. Lalu, Kenzi mengulurkan sapu tangannya pada Novia. Sapu tangan putih bersih itu terulur, sebuah tawaran sederhana namun sangat berarti bagi Novia yang sedang hancur.