NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28. Nenek Nia Dan Nenek Karina

Ojek yang dikendarai oleh Dimas berhenti di sebuah ruko yang berjajar rapi di sisi jalan yang cukup ramai. Beberapa ruko tampaknya sudah tutup, menyisakan beberapa ruko yang masih buka dan cukup ramai. Untungnya, salah satu dari beberapa toko yang masih terbuka adalah toko puding yang ia cari. Walaupun satu sisi pintu folding gate toko puding itu sudah tertutup. Menyisakan satu folding gate yang berada pada sisi pintu kaca.

“Mang, mamang tunggu di sini dulu ya sebentar. Saya Cuma nyari alamat kok.”

Dimas menyerahkan helm yang ia kenakan kepada tukang ojek on line yang ia pesan dan sudah janjian akan mengantarnya kembali ke rumah dengan order off line.

Dimas berjalan menuju sebuah ruko dengan neon box besar di sisi depan bertuliskan Istana Puding yang pintunya tertutup separuh. Sepertinya mereka sudah hampir tutup.

“Permisi, pak bu...permisi...”

Dimas celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin bisa ia temui. Seorang perempuan paruh baya keluar dari dalam menghampirinya.

“Maaf kak kami sudah tutup. Sudah habis.”

“Erm, maaf bu. Saya boleh tanya-tanya.”

Ujar Dimas sopan mendekati wanita itu.

“Iya kak gimana?”

“Ini toko kue atau toko puding ya bu?”

“Oh yang ini sebenernya toko puding kak. Cuma kami juga menerima pesanan kue tapi tidak kami display.”

“Oh, jadi bener ya bisa pesan kue di sini?”

“Bisa kak. Kakaknya mau pesan kue?”

Dimas berpikir sejenak. Ya, mungkin itu bisa dijadikan alasan baginya untuk menggali informasi lebih dalam.

“Ya bu, saya mau pesan kue. Bisa minta nomer yang punya toko bu?”

“Oh bisa...bisa, nanti saya ambilkan kartu nama. Silakan duduk dulu.”

Perempuan paruh baya yang masih terlihat cekatan bergegas menuju dalam toko setelah membuka satu sisi pintu yang awalnya sudah tertutup. Dimas menurunkan sebuah kursi yang sudah ditata di atas meja, duduk menunggu ibu tersebut keluar.

Tak lama, ibu berbaju hijau dengan celemek hitam yang masih menempel di badannya keluar dengan membawa sebuah kartu nama.

“Ini kak, ada nomer yang punya toko di sana.”

“Siapa nama yang punya toko bu?”

“Namanya mba Candra.”

Dimas manggut-manggut.

“Bu, kalau boleh tahu, yang punya toko ini orang mana ya? Beliau gak nungguin toko ya?”

“Mba Candra gak selalu datang kak. Beliau rumahnya jauh di Bogor. Jadi paling datang seminggu sekali.”

“Oh gitu...”

“Iya kak, kalau toko pudingnya sama pesanan rotinya sudah ada karyawan yang urus. Maaf kakak ini dari mana ya?”

Dimas sedikit gelagapan, ia sadar sebetulnya jika pertanyaan-pertanyaan yang akan ia tanyakan akan mengundang kecurigaan. Terlebih jika pertanyaan itu tidak berhubungan dengan niat kedatangan yang terlanjur ia sampaikan, memesan kue.

“Erm, rumah saya sebetulnya jauh bu. Cuma saya pengen pesen kue buat mama. Mama saya langganan beli di sini soalnya.”

“Oh...”

Wanita itu sedikit memperhatikan Dimas, menatapnya penuh selidik namun tidak mencolok. Namun begitu, Dimas mulai merasa tidak enak. Ia terpaksa menyudahi penyelidikannya.

“Ya sudah bu, saya pamit ya. Nanti saya hubungin nomer yang ibu kasihkan.”

“Oh ya kak.”

Dimas berjalan keluar toko perlahan, wanita itu mengantar sampai ke pintu. Sekilas mata Dimas berkeliling menatap semua hal yang bisa ia lihat dengan cepat namun teliti.

“Tokonya ramai terus ya bu? Jam segini sudah habis.”

“Iya kak, biasanya habis jam 4 sore malah.”

“Toko ini tidak buka cabang ya bu?”

“Ini justru cabangnya kak. Pusat kami ada di Bandung.”

Dimas menghentikan langkahnya tiba-tiba. Bandung?

“Nama toko roti yang di Bandung apa bu?”

Mata Dimas mendadak melotot tanpa dia sadari, membuat wanita itu sedikit takut dan panik. Ia sedikit melangkah mundur.

“Toko roti Surya ya?”

Wanita itu mengangguk cepat. Wajahnya penuh kebingungan karena melihat reaksi Dimas yang mendadak berubah.

“Terus bu Candra itu siapanya oma Surya?”

Wanita tua itu tak menjawab, wajahnya ketakutan, takut jika yang ia hadapi akan membuat masalah baginya. Wanita itu memilih mundur, berpamitan lalu masuk ke dalam toko tanpa menjawab pertanyaan Dimas. Dimas hanya bisa menatap wanita itu menutup pintu toko dengan gamang. Wajahnya memerah. Namun ia tak bisa berbuat banyak.

**

Nia dan Karina duduk bersila, di atas karpet kamar Karina. Duduk pula bersimpuh di hadapannya sesosok putri. Namun kali ini, tidak ada senyuman khas yang biasanya selalu tersungging di bibirnya. Raut wajahnya nampak sangat serius. Matanya tajam menatap Nia yang mulai berderai air mata.

Sementara Karina yang duduk di samping Nia hanya bisa bengong mendapati situasi itu.

Betapa tidak, Nia yang datang menerobos rumahnya bahkan tanpa mengucapkan salam, tiba-tiba masuk menghambur ke dalam kamarnya. Lalu memintanya untuk segera memanggil Putri.

“Ni, lu kenapa sih? Ini ada apa sebenernya.”

Karina menatap Nia dan Putri bergantian, keduanya sama-sama terdiam, saling menatap satu sama lain.

“Ni, cerita dong Ni. Gue bingung ini.”

Tak ada jawaban.

“Put, ada apa sih ini? Kalian tuh kenapa sih kok malah jadi tatap-tatapan gini.”

Putri juga terdiam. Matanya tak beralih dari Nia.

“Ah serah kalian aja udah. Jadi bingung gue.”

Karina berniat untuk meninggalkan mereka berdua, namun belum sempat ia beranjak berdiri, tangan Nia mencegatnya.

“Foto siapa ini?”

Nia membanting sebuah foto ke lantai, tepat di hadapan Putri dan Karina. Karina mengambil foto itu.

Kaget. Matanya terbelalak melihat sosok wajah yang ada dalam foto itu.

Putri, ini adalah foto Putri.

“Ni... Foto ini... Lu dapet foto ini dari siapa? Ini foto Putri kan? Put, ini foto kamu kan?”

Karina berganti-gantian menatap wajah putri dan sosok wajah di foto itu. Ya, sama persis. Ini adalah foto putri. Wajahnya, sorot matanya, tatanan rambutnya, bahkan bajunya. Sama persis.

“Ada yang bisa jelasin ini semua gak?!”

Karina meninggikan suaranya. Ia gemas melihat Nia dan Putri hanya terdiam saling tatap. Bahkan, Nia menangis sejak awal Putri datang.

“Putri ini, nenek gue Rin. Dia bernama nenek Mojang, adik kandung nenekku.”

Nia terisak, tangisnya tak terbendung. Sementara Karina terkejut hingga mulutnya menganga menatap Putri.

Neneknya Nia??? Putri???

***

1
Soraya
semangat thor updatenya
Soraya
jgn jgn nek mojang itu putri
Benny Benny saputra
terus
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!