Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Marcus menguap panjang sambil meregangkan kedua tangan ke udara.
"Pelajaran berikutnya..." gumamnya sambil menguap dan mengangkat tangan tinggi-tinggi, "Aku akan tunjukkan sesuatu... sesuatu yang mungkin tak banyak dari kalian pikirkan."
"Lighthouse bisa juga digunakan untuk alat transportasi, bukan hanya menyalakan cahaya dan melayang."
Seorang Regular mengerutkan dahinya
"Alat transportasi?"
Regular dari liar menara tidak mengetahuinya, tetapi Regular yang berasal dari menara tahu lebih fungsi kegunaan Lighthouse.
Ia menoleh pada salah satu Regular pria, seorang pemuda berambut cokelat dengan tubuh ramping yang tampak cukup cekatan dibanding yang lain. Marcus menunjuk padanya dengan dagu.
"Kau, maju ke depan. Berdiri di atas Lighthouse-ku."
Regular itu terkejut. Ia menatap Marcus seolah tak yakin telah mendengar dengan benar.
Marcus mendengus pelan. "Ayo. Kau tak akan mati. Paling cuma pingsan kalau jatuh."
Beberapa murid tertawa kecil. Regular itu, masih ragu, akhirnya melangkah maju. Lighthouse Marcus bergerak perlahan ke hadapannya, lalu mengambang rendah, seperti makhluk jinak yang menunggu ditunggangi.
"Naik," perintah Marcus ringan.
Pemuda itu mengangguk pelan dan melangkah naik, sedikit goyah, tapi akhirnya berhasil berdiri di atas permukaan persegi Lighthouse yang tampak rapuh namun kuat itu. Tangannya sedikit gemetar saat berusaha menjaga keseimbangan, kaki merapat erat seolah takut terpeleset.
Lighthouse mulai naik perlahan, membawanya ke ketinggian sekitar dua meter... lalu lima meter. Angin bertiup lebih kencang di atas, dan sang Regular mulai goyah, berusaha meraih sesuatu untuk berpegangan.
Tiba-tiba, Marcus sendiri mulai berlari bolak-balik di bawah Lighthouse-nya.
"Bertahan!" teriak Marcus, nadanya kini agak riang, "Keseimbangan bukan hanya fisik, tapi juga mental. Ini semua tentang kontrol Lighthouse, komunikasi antaramu dan alatmu."
Regular itu menunduk, melihat Marcus berlari kencang di bawahnya. Dengan satu tangan, ia berusaha meraih Lighthouse Marcus yang lebih rendah di dekat sisi, mencoba menstabilkan dirinya agar tidak jatuh.
Marcus lalu berhenti berlari dan melambaikan tangan. “Baiklah. Cukup. Turun.”
Lighthouse perlahan kembali turun ke tanah. Regular itu melompat turun, wajahnya agak pucat, napas sedikit memburu, tapi matanya berbinar karena berhasil bertahan.
Marcus menepuk pundaknya sebentar sebelum kembali berjalan ke depan para murid. Ia menjentikkan jarinya, dan Lighthouse-nya sendiri kembali terbang ke hadapannya.
"Ini," katanya dengan nada lebih datar, "bukan hanya demonstrasi. Ini pelajaran. Kalian harus mengerti... Lighthouse bukan cuma drone penerang, bukan hanya sensor, bukan hanya alat komunikasi. Ia adalah perpanjangan dari pikiran dan tubuh kalian."
Tanpa berkata-kata lagi, Marcus melompat ke atas Lighthouse-nya sendiri. Gerakannya ringan dan cepat—ia mendarat sempurna di atasnya, berdiri tegak seolah berat tubuhnya tak ada.
Perlahan, Lighthouse itu mulai naik. Dua meter. Tiga. Lima. Hingga akhirnya mencapai batas maksimum sepuluh meter dari tanah. Tubuh Marcus tetap santai, tangannya masuk ke saku jaketnya. Ia mulai melayang ke kiri... ke kanan... ke depan... lalu memutar sedikit membentuk lingkaran.
Ia bahkan sempat berdiri dengan satu kaki untuk beberapa detik, semacam unjuk keseimbangan yang membuat para Regular terdiam.
“Lihat?” katanya datar, “Tak perlu tegang. Lighthouse bisa mengangkatmu... membawa ke tempat tinggi... kalau kau mempercayainya.”
Marcus kemudian menurunkan Lighthouse-nya perlahan kembali ke tanah. Ia melompat turun dan menatap para murid dengan pandangan malas khasnya, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Sekarang giliran kalian," katanya pendek. "Coba. Satu per satu. Kalian akan butuh ini jika suatu hari berada di tebing tanpa jalan naik... atau dikejar monster dan butuh posisi tinggi... atau kalau kalian ingin tampil dramatis saat jadi pemimpin tim." Ia menguap lagi. “Heh. Setidaknya... lebih berguna dari sekadar berdiri dan menonton.”
"Seperti yang kukatakan kepada kalian sebelumnya, masing-masing Lighthouse kalian adalah E-Rank, jadi hanya bisa melayang dan terbang 10 meter, jadi saat mendaki lebih tinggi beli Lighthouse dengan Ranking tinggi, tetapi Lighthouse yang Rankingnya lebih tinggi akan susah dikendalikan dan butuh konsentrasi. Jadi mulai, berlatih-lah dengan keras dan ingat jangan memikirkan hal lain, jika tidak, Lighthouse kalian akan jatuh."
Para Regular mulai bergerak. Suasana yang tadinya tegang kini berubah menjadi kerumunan gelisah dan penasaran.
Emily maju pertama kali. Wajahnya seperti biasa, penuh fokus dan tekad yang tenang. Ia memanggil Lighthouse-nya, memerintahnya melayang sedikit lebih tinggi. Kemudian ia melangkah perlahan, menginjak permukaan datar itu dengan hati-hati.
Sofia memperhatikannya dari samping, berdiri tegak dan diam seperti patung.
Emily berdiri stabil. Perlahan, Lighthouse-nya naik ke atas. Tiga meter... empat... lima. Ia menutup mata sejenak, lalu membuka dan mengatur napas.
Lighthouse mulai bergerak ke kiri, ke kanan. Tak ada kepanikan di wajah Emily. Hanya ketenangan dingin seperti permukaan air. Setelah beberapa menit, ia turun perlahan, dan mendarat dengan ringan.
Marcus bersenandung kecil melihatnya. “Bagus. Sangat bagus.”
Kini semua mata beralih ke Sofia.
Gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah maju dan Lighthouse-nya menyala pelan, menyambutnya. Ia menaiki benda bercahaya itu dengan gerakan lembut dan penuh kehati-hatian.
Sofia berdiri... dan Lighthouse-nya naik.
Dua meter. Tiga. Empat.
Sofia merasakan angin mulai menyentuh wajahnya. Tapi ia tidak menoleh ke bawah dan tetap memandang ke depan. Tujuh meter. Delapan. Sembilan... sepuluh.
Dari ketinggian itu, ia bisa melihat seluruh lapangan. Angin berhembus lebih kencang, membawa debu dan bau logam dari bangunan di sekitarnya. Tapi ia tak gentar.
Sofia memejamkan mata. Dalam gelap, membayangkan medan perang.
Melihat dirinya berdiri di atas Lighthouse seperti ini, tapi di tengah hujan anak panah. Atau ketika pasukan musuh menyerbu dari balik reruntuhan. Atau ketika sekutunya hilang arah, dan hanya ia yang mampu memimpin mereka dengan cahaya Lighthouse-nya.
Dia merasakannya.
Satu dengan alat itu. Satu dengan ketinggian. Satu dengan angin.
Marcus tersenyum samar dari bawah, matanya menatap Sofia yang masih melayang di udara.
"Dia... cepat belajar," gumamnya pelan.
Giliran berikutnya terus berlanjut. Beberapa murid terjatuh, beberapa kehilangan kontrol, dan beberapa menyerah sebelum naik.
Tapi satu hal menjadi jelas: mereka semua mulai mengerti satu hal, Lighthouse bukan hanya benda mati. Tapi alat hidup yang bisa menjadi penentu hidup dan mati dalam pertempuran.
Dan di antara semua itu, Sofia semakin memahami perannya bukan hanya sebagai murid... tapi sebagai seseorang yang akan memimpin timnya menuju puncak menara. Langkah demi langkah. Cahaya demi cahaya.
Sofia berhasil konsentrasi dalam membuat Lighthouse-nya melayang karena di kehidupan sebelumnya dia dilatih posisi Lighthouse oleh beberapa dewa yang memiliki keterampilan dalam posisi Lighthouse.
Sofia mengingat bahwa dia tidak pandai dalam dalam menggunakan Lighthouse karena kesabarannya, Sofia adalah orang yang sabar, tetapi setiap orang dari berbagai memiliki limit mereka sendiri.
Sofia juga melatih kesabarannya untuk berpikir dalam bertarung dan tidak menyerang langsung saat bertarung.
Kelas Posisi Lighthouse masih berlangsung dan Marcus belum selesai mengajari semua hal tentang Lighthouse.