NovelToon NovelToon
KISAH TAK BERUJUNG Bad Senior In Love

KISAH TAK BERUJUNG Bad Senior In Love

Status: tamat
Genre:Romantis / Sudah Terbit / Tamat
Popularitas:6.8M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SUDAH TERBIT CETAK


"Aku mau riset ke Jepang."

Menjadi awal dari kandasnya mimpi indah Anggi bersama Dio, the first love never die.

Ditambah tragedi yang menimpa kedua orangtua Dio, membuat masa depan yang sejak lama diangankan harus pupus dalam sekejap.

Namun ketika Anggi masih berusaha menata hati yang retak, Rendra datang hanya untuk berkata,

"I just simply love you."

"Gimme a chance."

A romantic story about Dio-Anggi-Rendra

--------------

Season 1 : Kisah Tak Berujung Bad Senior in love

Season 2 : Always Gonna be You

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. "Maaf"

Anggi

Usai seluruh rangkaian acara closing ceremony berakhir, setelah sesi kedua in frame bersama anak-anak Wrekso21, anak-anak cofas teknik, cofas full team, lintas panitia, geng ceriwis cofas, maba gugus lain yang tertarik memintanya foto bersama lengkap dengan segepok mawar merah.

"Kak, tren baru nih ... dapet buket bunga after ospek?"

Dan foto random panitia. Ia memberanikan diri untuk pergi ke belakang panggung utama.

Dengan sedikit ragu ia memasuki tenda besar yang berada tepat di belakang panggung.

Matanya langsung menyisir seluruh isi tenda. Berusaha mencari di antara lalu lalang para panitia dan crew yang bertugas.

Dan tanpa kesulitan sedikit pun, sosok yang dicari berhasil diketemukannya.

Rendra terlihat sedang duduk bercanda, di antara anak-anak BEM KM, dan para pengisi acara closing ceremony tadi. Sekumpulan orang-orang paling menarik perhatian yang tengah berada di dalam tenda.

Saat ia mulai kebingungan, tentang bagaimana cara memulai pembicaraan. Pucuk dicinta ulampun tiba. Ketika di hadapannya lewat serombongan panitia subdiv seremonial, lengkap dengan wajah serius dan tegang. Mereka masih saja sibuk dan memiliki seabrek tugas. Padahal panitia dari divisi lain kebanyakan justru sudah purna tugas.

Namun ia justru gembira, sebab salah satu di antara mereka terdapat Ipras, pacar Sinta.

"Pras!"

"Oy, Nggi?"

"Bisa minta tolong?"

"Gimana ... gimana?"

Ipras dengan senang hati bersedia memanggilkan Rendra untuknya.

Dan dari jarak sekian meter -ia masih berdiri menunggu di dekat pintu masuk- jelas terlihat Rendra mengernyit dan tertegun. Saat Ipras menunjuk ke arah tempatnya sedang berdiri.

Tanpa harus menunggu lama, kini justru giliran jantungnya yang tak bisa diajak kompromi. Terlebih saat menyadari, jika Rendra mulai berjalan mendekat.

"Ada apa?" pertanyaan Rendra kaku ala kanebo kering, as always. Lengkap dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

Ia harus menelan ludah sebelum mulai bicara. "Saya mau ambil hampers yang tadi."

Oh My Gosh, kalimat yang susah payah dirancangnya tadi, kini buyar seketika. Padahal ia sudah menyusun sederet kalimat sapaan, permintaan maaf, baru yang terakhir adalah misi utama. Namun sekarang gagal total.

"Perlu sekarang?" respon Rendra memang selalu di luar dugaan.

"Iya," ia mengangguk dengan mulut kaku.

"Tunggu di sini," ucap Renda cepat. Sembari meraih sebuah kursi lipat yang berada paling dekat dari tempat mereka berdiri. Lalu membukanya, dan menyorongkan ke arahnya.

"Duduk," pinta Rendra tanpa basa-basi.

Namun ia hanya bisa memandangi Rendra dan kursi secara bergantian.

"Hampersnya aku simpan di mobil. Parkirnya agak jauh dari sini," terang Rendra. Mungkin demi melihatnya hanya berdiri bengong.

"Kamu duduk di sini, biar nggak cape nunggu," lanjut Rendra seraya menunjuk kursi yang ditujukan untuknya.

Namun ia masih tetap berdiri mematung. Sembari menelan ludah berkali-kali, sebab suasana yang terasa begitu aneh.

"Ada yang kamu kenal nggak di sini?" tanya Rendra lagi.

Maksudnya?

"Buat temen ngobrol selama nunggu," Rendra seolah bisa mengetahui isi hatinya, tanpa ia harus mengucapkan sepatah katapun.

Dan entah mengapa, matanya langsung menuruti keinginan Rendra. Yaitu berkeliling memperhatikan seisi tenda.

Wah, kebetulan menyenangkan. Karena ia mendapati Mala di salah satu sudut tenda. Tengah duduk melingkar dengan sesama subdiv materi. Sedang mendengarkan Johan yang berbicara.

"Ada ... di sana," tunjuknya ke arah Mala.

Rendra langsung melihat ke arah jarinya menunjuk.

"Lagi eval," gumam Rendra pelan.

Membuatnya kembali mengernyit. Benar-benar tak bisa menebak arah pembicaraan mereka.

"Bram," Rendra menepuk seorang ber id crew yang sedang membereskan alat-alat musik usai dipakai di acara closing tadi.

"Yo," jawab orang yang dipanggil Bram.

"Nitip bentar, gua mau ke tempat parkir," ujar Rendra sambil menunjuk ke arahnya yang masih berdiri mematung.

Apa? Titip? Dikira barang apa?

"Siap," Bram jelas terlihat sedikit menyeringai saat menjawab permintaan Rendra.

Dan sebelum melangkah keluar tenda, Rendra lebih dulu menempatkan kursi lipat lebih ke pinggir. Mungkin agar tidak menghalangi jalan. Memposisikan kursi tersebut tepat di sebelah Bram yang sedang berbenah.

"Duduk," perintah Rendra singkat, padat dan jelas.

Namun yang lebih mencengangkan lagi adalah, refleks gerak tubuhnya yang merespon dengan baik perintah Rendra. Yaitu dengan langsung mendudukkan diri di atas kursi, yang telah disiapkan oleh Rendra. Padahal otaknya jelas-jelas melarang keras.

"Tunggu sebentar," Rendra melihat ke arahnya.

"Bram ... tolong ajak ngobrol," ujar Rendra ke arah Bram, sebelum berlalu keluar tenda.

"Oke," rupanya Bram masih menyeringai.

Ia akhirnya memilih untuk mengeluarkan ponsel dari dalam saku kemeja. Daripada mengobrol dengan yang bernama Bram.

Terus terang, ia tipikal yang memerlukan adaptasi cukup lama jika bertemu dengan orang baru. Sering bingung dalam memilih kosakata untuk membuka pembicaraan.

"Siapanya Rendra?" rupanya Bram tak pernah mengenal dengan yang namanya basa-basi. Pertanyaan pembuka dari Bram langsung menohok, skakmat.

"Saya?" ia menunjuk dirinya sendiri. Sekedar memastikan, jika Bram memang sedang mengajaknya bicara.

"Iya. Baru lihat sekarang," seringai yang sama kembali muncul di wajah Bram.

"Bukan siapa-siapa," ia mencoba tersenyum.

"Bukan siapa-siapa, tapi kok ... Rendra perhatian banget," seloroh Bram. "Jarang-jarang lho, Rendra ngetreat cewek begini."

Ucapan penuh tendensi Bram membuatnya menghela napas, "Saya cuma adik tingkat beda fakultas."

Ia bahkan merasa perlu untuk menyewa pakar ekspresi mikro. Saat menyadari Bram terlalu sering menyeringai. Padahal mereka baru bertemu kurang dari 10 menit. Tapi Bram sudah menyeringai berkali-kali.

"Adik tingkat ya?" seloroh Bram lagi dengan seringai yang lebih lebar.

Nah kan, Bram menyeringai lagi.

"Yang penting tahan banting," lanjut Bram dengan nada penuh keyakinan. "Jangan sampai nangis."

"Nggak ada yang nangis di sini," ia sampai harus berpikir keras untuk menebak arah dan maksud dari ucapan Bram.

"Biasanya sih ... ada yang nangis. Bukan Rendra pastinya," kali ini Bram tak lagi menyeringai, tapi tertawa lebar.

Ia menggelengkan kepala. Sama sekali tak mengerti maksud dari kalimat Bram.

Ia juga jadi curiga, jangan-jangan Bram adalah mahasiswa jurusan Sasindo (sastra Indonesia), yang hobi mengolah majas menjadi percakapan harian. Hmmm.

"Aku sambil beberes ya, biar cepet kelar," ujar Bram seraya menunjuk peralatan yang harus dibereskan.

Untung saja Bram tak terus-terusan mengajaknya mengobrol. Kembali tenggelam di depan sekumpulan alat musik yang telah menunggu untuk dibereskan olehnya dan tim.

Ia mengangguk mengerti. Lalu memilih menenggelamkan diri di depan layar ponsel. Mencoba mengecek deretan notifikasi masuk. Yang sebagian besar adalah updatean foto-foto saat closing ceremony tadi.

Dan satu foto hasil uploadan dari Elva di grup cofas, berhasil menarik perhatiannya. Foto dengan resolusi kamera tinggi, yang menampilkan aksi Rendra saat perform di atas panggung. Foto tersebut sukses memancing komentar riuh rendah dari sebagian besar cofas.

"Nih."

Ia tersentak kaget. Ponsel di tangannya bahkan hampir terjatuh. Saking terkejutnya mendengar suara orang yang sedang ramai dibahas di grup cofas, kini sudah berdiri tepat di depan mata.

Ia pun buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja.

"Makasih," ia menerima hampers Dio dari tangan Rendra dengan penuh suka cita.

Bagai menemukan kembali harta karun yang sempat hilang dijarah perompak bengis. Sekilas dari penglihatan yang terbatas, hampers dalam keadaan sama seperti saat pertama kali menerimanya tadi siang. Tanpa lecet sedikitpun. Thanks God.

Mission impossible akhirnya sukses terselesaikan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Benar-benar jauh di luar perkiraan.

Ia berniat untuk langsung pergi. Tapi Rendra telah lebih dulu menarik kursi lain, dan mendudukkan diri di hadapannya.

"Thanks, Bro," Rendra melambaikan tangan menyapa Bram yang belum juga selesai berbenah.

"Yo," Bram menjawab masih dengan seringaian yang sama.

Membuatnya semakin gatal untuk membawa seorang ahli micro expression ke hadapan Bram. Guna mendefinisikan arti dari seringaian tersebut. Apakah itu indikasi yang baik, atau justru pertanda buruk?

Kini perhatian Rendra sudah sepenuhnya, duduk tepat menghadap ke arahnya.

"Udah nggak marah lagi?" ada seulas senyum dalam kalimat Rendra.

"Maaf," ia harus menekuk muka dalam-dalam. Karena kesal bercampur malu. Hawa panas langsung terasa menjalari pipi hingga ke telinganya. "Tadi ada miskom."

Rendra tertawa kecil. "Habis ini mau ke mana?"

"Pulang," jawabnya singkat. Sambil melirik pergelangan tangan kiri. Masih memungkinkan untuk menunaikan sholat maghrib di Raudhah. Meski tak bisa berjamaah dengan yang lain.

"Ayo aku antar," tanpa diduga, Rendra bangkit sambil mengulurkan tangan padanya.

Ia melongo sebentar. Sebelum kesadarannya kembali pulih.

"Sori, saya udah terlanjur pesen ojek online," ia jelas berdusta.

"Drivernya udah otw?" Rendra menarik tangannya kembali.

"Udah," ia kembali berdusta.

"Di jemput di mana?" tanya Rendra sambil menatapnya tajam.

Lagi-lagi ia berdusta, dengan menyebutkan titik penjemputan fiktif. Berbohong sudah menjadi napas kehidupannya malam ini.

"Pulang ke arah mana?" Rendra kembali bertanya.

Dengan berat hati, ia terpaksa menyebutkan nama daerah kostnya. Ini bukan modus kan?

"Kejauhan," Rendra mengernyit tak setuju. "Masih bisa revisi pick up nya nggak?"

Ia mengangguk-angguk setuju. Benar juga apa kata Rendra. Titik penjemputan fiktif yang diucapkannya membuat perjalanan pulang ke Raudhah menjadi lebih jauh.

"Masih," jawabnya singkat.

"Kasih note ke drivernya, jemput di depan warung tenda. Ada pagar yang terbuka sedikit di sana, bisa dilewati orang," terang Rendra tanpa mengalihkan pandangan darinya.

Membuatnya mulai tak yakin dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ayo aku antar, jalan ke sana lumayan gelap," pungkas Rendra.

Ini jelas semakin aneh dan sedikit creepy. Dari beberapa pertemuan mereka sebelumnya yang selalu berpotensi menimbulkan penyakit hipertensi. Jelas berbanding terbalik dengan saat ini, di mana mereka bisa bercakap-cakap secara lancar dan normal, seperti manusia pada umumnya. Like a rollercoaster.

"Nggak usah," tolaknya cepat. "Saya bisa jalan sendiri."

Rendra jelas tidak sedang memberi pilihan, tapi memproklamasikan keputusan secara sepihak.

Dan sekarang, mereka sudah berjalan beriringan menyusuri lapangan GSD, yang sedang dibersihkan dari sisa penyelenggaraan closing ceremony. Hell no.

Ia berusaha memperlambat langkah kaki. Sembari memesan ojek online dari ponsel. Dan berharap, Rendra tidak mengetahui kebohongannya.

Ok. Pesanan diterima. Ia selamat.

Sekarang tinggal berdoa, ojek online pesanannya sudah menunggu di titik penjemputan. Agar ia bisa segera pergi dari hadapan Rendra.

"Jadi ... ada berapa puluh orang yang suka ngirimin sesuatu ke kamu?" pertama kalinya Rendra bersuara setelah mereka berjalan kaki cukup jauh. "Buket bunga ... dari siapa? Pacar?"

"Jadi ... ada berapa puluh orang yang kamu perlakukan 'tidak senonoh' ?" Ia kaget sendiri dengan kalimat yang meluncur keluar tanpa tedeng aling-aling.

Bagus, Anggi.

Rendra tertawa kecil. "Asli. Memang kamu yang ada di Pitaloka. Galak banget."

Ia merengut kesal. Kilasan ingatannya kembali melayang ke dapur Pitaloka.

No no no no. Stop it, Anggi!

"Apa selalu galak begini ke semua orang?" suara Rendra jelas sedang tersenyum.

Namun ia tak berminat untuk menjawab.

"Masih menganggap aku punya hutang?" kali ini nada suara Rendra terdengar cukup serius.

Tapi lagi-lagi lidahnya terasa kelu, malas untuk menjawab. Sepertinya Rendra memang tercipta hanya untuk menaikkan tekanan darah orang lain. Absolutely.

Tapi tanpa siapapun bisa menduga, Rendra mendadak menghentikan langkah.

"Maaf ...." ujar Rendra kaku, sambil mengulurkan tangan padanya.

Ia sampai harus menengok ke belakang, karena Rendra benar-benar berhenti berjalan.

1 detik, 2 detik, kepalanya mendadak dipenuhi oleh berbagai macam alasan dan pertimbangan.

5 detik, ia masih berdiri mematung memandang uluran tangan Rendra.

Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara Reza Artamevia. Yang sepertinya berasal dari speaker ponsel pemilik warung tenda.

'Izinkan aku

Untuk terakhir kalinya

Semalam saja bersamamu

Mengenang asmara kita

Dan aku pun berharap

Semoga kita tak berpisah

Dan kau maafkan kesalahan

Yang pernah kubuat

Mmmmhh ....'

(Reza Artamevia, Berharap Tak Berpisah)

***

1
Lugiana
reread ping suwidak jaran panggah 😢😢😭😭😭😭😭
Umi Fauzan
cerita terbaik
Tutik Winarsih
baca lagi dan tak ada bosannya
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
Alhamdulillah punya teman yang baik y Nggi dan bisa diandalkan
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
the one and only ya Nggi
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
ayo Dio, keluar dari novel tanganin deh tekhnologi di negeri ini biar menjadi nomor satu di dunia
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
salting ya Nggi 😁
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
emang enak dikacangin 🤣
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
malah cubit2an
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
apa ya oleh oleh Dio
peuyeum kali ya
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
tu mah, camannya datang
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
caman idaman mama Nggi😁
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
mendengar namanya disebut aja bikin panas dingin ya nggi
ᖇᑌᔕᔕᗴLLL
cemilan legend yang masih eksis sampai sekarang
famita
mau baca ke berapa kalipun tetep mewek 😭
Afidatul Rifa
menyerahkan, menitipkan dgn sepenuh hati wanita yg qta cintai kepada laki" yg mencintai wanita itu, rasanya pasti nyesek tapi Dio bisa legowo itu loh yg bikin q banjir air mata, meski dah baca berulang-ulang 😭😭😭
Afidatul Rifa
udah baca lama banget sampe lupa alir ceritanya jadi mampir lagi deh
Devi Safitri
baca ulang 2025
Nita_Ria Nita
mampir lagi aku ,sdh baca yg ke 5 kli abis nya kngen SM Abang Rendra🤭🙈
Emiliya Wati
aku slalu memimpikan novel ini dibuat filmnya.. kira2 aktor yg cocok jadi Rendra siapa ya??
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!