Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhatan Rosalina.
Anindya langsung mendekat dan duduk diranjang, dimana Rosalina sedang berbaring.
"Ya Allah, Lin! Kamu kenapa? Ini pasti karena kamu terlalu banyak mendengar ocehan Sri ya? Makanya kamu jadi pingsan begini?"
Mendengar ucapan majikannya itu, Mbak Sri jadi memanyunkan bibirnya.
"Waduh, Bu! Sembarangan lho Ibu ini kalau nuduh! Ini semua gara-gara Mas Raka!" ucap Mbak Sri tanpa fikir panjang. Namun kemudian ia baru tersadar dan segera meralat ucapannya.
"Eh, bukan Bu! Ini semua karena Rosalina maksa buat mengerjakan pekerjaan dirumah ini. Saya udah melarangnya lho, Bu! Tapi Rosalinanya tetap saja bandel. Akhirnya dia jadi pingsan begini!" ujar Mbak Sri, sambil menatap wajah Anindya
Perempuan paruh baya itu pun memandang Mbak Sri dengan sangat lama, kemudian ia bertanya...
"Kalau Rosalina pingsan karena memaksakan diri untuk bekerja, saat dia terjatuh tadi siapa yang mengangkatnya kembali kekamar? Apa yang melakukan hal itu kamu, Sri? Wah... Hebat kamu itu, bisa mengangkat tubuh Rosalina ini sendirian." Anindya menatap Mbak Sri dengan mata yang berbinar, seolah dirinya sedang mengagumi apa yang telah dilakukan oleh pembantunya itu.
Dan dengan bangganya Mbak Sri menepuk dadanya dengan telapak tangan, seolah merasa senang karena mendapat pujian dari sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.
"Oooh... Ibu baru tahu kalau saya ini memang sehebat itu? Tenaga saya ini memang kuat untuk mengangkat apapun, bahkan kalau saya nekat, jangankan tubuh Rosalina yang tidak seberapa besar ini, kerbau pun akan kuat saya angkat sendirian! Namun sayangnya, yang mengangkat Rosalina tadi bukan saya, Bu. Tapi Mas Raka." jawab Mbak Sri, membuat Anindya melotot kearahnya.
Ia pun meraih bantal kecil yang ada di atas ranjang, lalu tanpa fikir panjang langsung melemparkannya ke arah Mbak Sri.
"Dasar kamu itu, Sri! Mulutmu nggak bisa dikontrol sama sekali. Kalau bercanda tuh pakai otak! Masa kamu bilang bisa angkat kerbau?!" seru Anindya sambil memukul pelan bahu pembantunya dengan bantal itu.
Mbak Sri yang terkena lemparan bantal hanya meringis, lalu menutup kepalanya dengan kedua tangan seolah sedang menghadapi serangan besar.
"Aduuuh, Bu! Jangan begitu dong! Saya kan cuma bercanda biar suasananya nggak tegang," katanya sambil cengar-cengir.
"Lagipula, siapa tahu kalau saya ikut pamer tenaga, nanti saya bisa dilamar jadi pemain sirkus, Bu."
"Pemain sirkus apanya? Nanti kalau Rosalina dengar ocehanmu yang aneh-aneh, bukannya dia cepat sadar, tapi dia malah semakin lama pingsannya. Ucap Anindya sambil mengibaskan tangannya dengan kesal, namun wajahnya tidak bisa menutupi senyum yang mulai muncul.
Rosalina yang sejak tadi hanya terbaring dengan mata setengah terpejam, mulai menggerakkan bibirnya, dan berusaha berbicara dengan suara yang lemah, namun masih terdengar jelas.
"Ibu… Mbak Sri… jangan berantem karena saya…"
Dalam sekejap suasana pun menjadi hening. Anindya langsung menoleh ke arah Rosalina. Wajahnya yang tadi panik, kini mendadak menjadi lega.
"Lin! Kamu sudah sadar?" serunya cepat, lalu mendekap tangan Rosalina erat-erat.
Mbak Sri yang tadinya masih siap melindungi diri dari serangan bantal pun ikut mendekat, wajahnya berubah penuh rasa iba. Namun tetap saja, lidahnya sama sekali tidak bisa diam.
"Alhamdulillah kalau kamu sudah sadar, Lin! Tapi jangan buat Mbak kaget lagi ya. Tadi itu Mas Raka sampai bela-belain gendong kamu ke kamar. Aduh, kalau saya yang digendong sama Mas Raka, mungkin saya sudah langsung sembuh sebelum sempat pingsan."
"Srriiiii!!!" teriak Anindya sambil kembali memukul kepala Mbak Sri dengan bantal, kali ini dengan gerakan yang lebih cepat.
"Ya ampun, Bu! Ampuuun! Jangan sampai bantal ini jebol gara-gara sering dipakai buat mukul saya!" teriak Mbak Sri sambil tertawa, lalu ia cepat-cepat berlari keluar kamar sebelum bantal berikutnya mendarat.
Rosalina tersenyum tipis melihat ulah pembantu itu, sedangkan Anindya hanya bisa menghela nafas panjang sambil geleng-geleng kepala.
"Ya Allah… punya pembantu kok seperti punya lawan tanding saja, bukannya bikin tenang hati, tapi malah bikin naik darah," gumamnya pelan, lalu ia kembali fokus pada Rosalina yang masih terlihat lemah.
Tatapan perempuan paruh baya itu menatap prihatin pada wanita muda dihadapannya, dan perhatiannya kali ini tertuju pada perban yang masih membalut pelipis dan juga kening Rosalina.
Hingga kemudian, Anindya pun berkata dengan nada suara yang pelan.
"Rosalina! Bolehkah saya bertanya sesuatu?" tanya Anindya, yang membuat Rosalina langsung mengangguk.
"Iya Bu, boleh! Tapi Ibu mau bertanya apa?"
Anindya hanya tersenyum tipis, kemudian ia pun mulai bertanya mengenai luka yang ada dikening Rosalina.
"Sebenarnya, luka dipelipis kamu itu karena apa ya, Lin? Apa luka itu bekas disakiti orang, kamu terjatuh, atau bagaimana?"
Mendengar hal itu, Rosalina menundukkan wajahnya sejenak, dan tanpa terasa, bola matanya pun mulai berkaca-kaca.
Anindya hanya menatap pada Rosalina, dan menunggu dengan sabar, sampai wanita itu bercerita dengan perlahan.
"Sebenarnya, luka ini terjadi karena saya berdebat dengan suami saya, Bu!"
Jawaban tersebut langsung membuat Anindya terbelalak kaget.
"Ja-jadi kamu sudah mempunyai suami, Lin?"
Dan pertanyaan itu langsung mendapat anggukan dari Rosalina.
"Iya Bu, saya sudah menikah dengan suami saya, kurang lebih satu tahun. Tapi..."
Rosalina menghentikan ucapannya, karena saat itu juga, tiba-tiba saja dari sudut matanya meluncur cairan bening.
Anindya yang masih duduk disampingnya, ikut merasakan ada sesuatu, sehingga ia mengelus lembut lengan Rosalina dengan telapak tangannya.
"Tapi apa, Lina? Saya lihat, kamu seperti sedang menanggung kesedihan. Kalau kamu mau berbagi sedikit cerita tentang rumah tanggamu, maka saya akan bersedia mendengarnya."
Rosalina terdiam, tapi kali ini air matanya terlihat menetes dan jatuh membasahi pipinya. Membuat Anindya meremas kuat telapak tangan wanita yang terlihat sedang rapuh tersebut.
Kemudian, Rosalina melanjutkan perkataannya dengan bibir yang terlihat sedikit bergetar.
"Dalam pernikahan saya dengan suami saya itu, saya tidak pernah mendapatkan cinta dan perhatiannya, Bu! kami berdua terlihat seperti dua orang asing yang sama sekali tidak memiliki hubungan. Kalau pun saya dan suami saya duduk diruang makan, maka kami tidak pernah saling membicarakan sesuatu yang menjurus pada masa depan kami berdua."
Anindya terdiam seraya menyimak setiap perkataan yang keluar dari mulut Rosalina. Sesekali juga terdengar helaan nafasnya yang kasar.
Rosalina berusaha menelan ludahnya yang terasa tercekat dikerongkongan, setelah itu ia pun kembali melanjutkan ceritanya.
"Saya kira itu hanya terjadi pada hari-hari diawal pertama kali kami menikah, tapi ternyata, sikap suami saya yang seperti itu berlanjut sampai rumah tangga kami berjalan satu tahun. Dan selama itu pula, dia tidak pernah menyentuh atau pun memperlakukan saya sebagai istrinya yang sah! Malahan, saat dirumah dia sangat jarang tersenyum buat saya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia bisa tersenyum pada wanita lain dan bertingkah lembut. Sedangkan dengan saya sendiri, sikapnya itu cenderung hambar, dan juga terkesan dingin."
Anindya yang mendengar cerita Rosalina itu, kembali menarik nafas, seraya mengusap wajahnya dengan perlahan.
"Ya Allah, Nak! Berarti maksud kamu, kamu itu sudah menikah dan memiliki suami, tapi suami kamu tidak memperlakukan kamu seperti suami-suami pada umumnya, Begitu? Kasihan sekali kamu Rosalina. Tapi, kenapa pelipis kamu sampai terluka seperti ini? Apa luka itu juga ulah suamimu?" tanya Anindya semakin penasaran.
"Rosalina menghembuskan nafasnya lewat mulut. Kemudian ia kembali menjawab.
"Sebenarnya saat itu suami saya tidak sepenuhnya bersalah, Bu! Kejadian itu berawal saat saya meminta dirinya untuk menceraikan saya. Karena ibu mertua saya selalu mengatakan bahwa saya mandul dan tidak bisa memberinya cucu. Sementara Ibu mertua saya juga tidak pernah tahu kalau selama ini, saya dan suami saya tidak pernah melakukan hubungan suami istri! Selain itu, Ibu mertua saya juga menginginkan anaknya menikah lagi dan menceraikan saya."
Ucapan Rosalina kali ini benar-benar membuat Anindya menutup mulutnya dengan tangan.
"Ya Allah... Astaghfirullahal'adzim... " ujar Anindya, dengan bola matanya yang melotot.
"Karena itu juga, saya ingin bebas dari suami saya yang tidak pernah bisa mencintai saya. Saya juga ingin menjauh dari Ibu mertua yang dari sejak menikah dengan anaknya, dia sudah terlihat tidak suka pada saya. Oleh sebab itu saya minta cerai. Tapi saat itu, suami saya malah menolak menceraikan saya, dan dia juga menghalangi ketika saya ingin pergi. Sehingga insiden yang membuat luka dipelipis saya ini terjadi, karena dia dengan tidak sengaja mendorong tubuh saya, saat saya berusaha melepaskan diri dari pelukannya."
Cerita Rosalina tersebut benar-benar membuat hati Anindya terenyuh. Ia langsung menggenggam tangan Rosalina semakin erat.
"Kamu yang sabar ya, Nak! Menurut saya, ujian rumah tanggamu itu sangatlah berat. Bukan hanya ibu mertuamu saja yang tidak menyukaimu, tapi ternyata... Suamimu juga tidak mencintaimu sama sekali."
Rosalina menundukkan wajahnya dihadapan Anindya. Dan perempuan paruh baya itu pun melanjutkan ucapannya.
"Memangnya keluarga kamu kemana? Apa mereka tidak tahu dengan masalah rumah tanggamu ini?"
Mendengar Anindya yang menyinggung tentang keberadaan kedua orang tuanya. Tiba-tiba saja air mata Rosalina turun semakin deras.
Bersambung...
"