Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.
Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.
Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.
Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.
Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.
Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30: Gua Runtuh
Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan mereka. Suaraku terdengar tegas, namun di dalam hati terasa seperti disayat. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendukungku sejak awal, keluargaku di dunia ini. Namun, di sisi lain, rasa takut menyelinap, takut kehilangan mereka dalam pertempuran, takut melihat satu per satu dari mereka tumbang.
Aku ingin memberikan mereka semangat, tapi juga tidak ingin melukai perasaan mereka. Dilema itu menekan dadaku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk berbicara dengan Vlad. Setelah ia kembali melapor, aku memanggilnya masuk ke kamar.
Vlad muncul dengan pakaian serba hitam, seperti pembunuh bayaran dari zaman dahulu. Jubah panjangnya menyapu lantai, wajahnya teduh namun penuh wibawa. Ia berdiri menunduk, mendengarkan kata-kataku dengan sikap tenang.
“Vlad,” ucapku pelan tapi tegas, “untuk hari ini dan seterusnya, aku tugaskan kau menjaga kedua bebek yang sedang berlatih di aula latihan.”
Belum sempat aku melanjutkan, Vlad sudah mengangkat wajahnya. Nada suaranya terdengar khawatir.
“Tunggu, Rajaku. Itu terlalu berbahaya. Aku tidak bisa membiarkan Anda masuk ke lingkungan berbahaya tanpa perlindungan. Tuan Zaza saja tidak cukup, setidaknya aku—”
Aku cepat memotong perkataannya.
“Biarkan aku melakukannya, Vlad. Aku… aku tidak bisa melihat wajah kedua bebek itu sekarang. Aku takut mereka mulai membenciku.”
Vlad terdiam. Ia menunduk kembali, sorot matanya dalam, seakan menimbang banyak hal. Aku melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, hampir seperti sebuah permohonan.
“Biarkan aku pergi bersama Zaza ke arah barat. Aku ingin sedikit berkelana, mencari kesibukan. Dan… aku juga ingin mengajari Zaza lebih banyak hal.”
Beberapa saat hening. Lalu Vlad menghela napas tipis, kemudian menjawab datar, “Baik, Rajaku. Sesuai perintah Anda.”
Aku mengangguk, lalu melanjutkan.
“Untuk tugas yang kuberikan padamu dan Violetta, kalian berdua akan mendampingi mereka berlatih. Bantu mereka menemukan kemampuan baru.”
Kemampuan… sesuatu yang bisa dimiliki siapa pun, tetapi tidak bisa muncul hanya dengan usaha biasa.
Aku sendiri tidak pernah mendapatkannya hanya dengan mencoba. Menabrak pohon? Tidak. Berlari sekencang mungkin? Tidak juga. Skill tidak bisa lahir begitu saja. Semuanya berasal dari sistem.
Namun, dalam kasus Zaza, aku menemukan hal menarik. Kemampuan itu bangkit ketika ada emosi kuat yang menumpuk. Saat dorongan batin mencapai puncak, kemampuan baru akan terbuka. Itu kesimpulan dari pengamatan yang kulakukan selama ini.
Aku pribadi masih belum memahami mengapa diriku tidak bisa mengalaminya. Mungkin… karena aku merasa selalu berada di dalam genggaman sesuatu yang lebih besar. Seolah ada tangan raksasa yang bisa menjatuhkanku kapan saja. Perasaan itu menekan, dan aku belum menemukan cara melepaskannya.
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin yang bertiup dari arah pepohonan membawa aroma basah yang menusuk hidung. Kabut tipis menggantung rendah, menyelimuti seluruh halaman depan kerajaan rawa.
Dari kejauhan, pepohonan besar tampak samar, hanya terlihat sebagai bayangan gelap yang berlapis-lapis.
Aku berdiri di depan pintu besar kerajaan. Pintu itu tinggi menjulang, dan ketika digerakkan selalu menimbulkan bunyi berat yang bisa membuat kaget siapa pun yang tidak siap. Sudah beberapa kali aku terkejut oleh suara pintu ini, dan sejujurnya, sampai sekarang aku belum sepenuhnya terbiasa.
Di depanku sudah menunggu seekor bebek hitam. Zaza.
Tubuhnya ramping, bulunya licin seakan baru disisir embun, dan matanya berkilat penuh kewaspadaan. Dari caranya berdiri saja sudah terlihat bahwa ia telah berkembang jauh dari pertemuan pertama kami.
“Selamat pagi, Rajaku,” sapa Zaza sambil menundukkan sedikit kepalanya. Suaranya terdengar rendah, tapi jelas dan penuh hormat.
Aku tersenyum tipis. “Selamat pagi juga, Zaza. Bagaimana kabarmu? Kamu tidak marah-marah lagi ke Vlad, kan?” tanyaku sambil tertawa kecil.
Zaza ikut terkekeh. Tawanya singkat, lebih mirip helaan napas bercampur tawa. Ia kemudian menjawab, “Sedikit menyebalkan.”
Aku mengangguk, menepuk ringan bahunya. “Dia memang begitu, tapi dia orang baik. Kamu sudah mendengar dari Vlad, kan? Aku yang akan bersamamu kali ini.”
Zaza menegakkan tubuhnya, lalu menjawab dengan suara tegas, “Saya sudah mendengarnya, Rajaku. Saya akan melindungi Anda sebaik mungkin.”
Nada suaranya terdengar tulus, tapi juga terlalu formal untuk ukuran percakapan santai. Aku menghela napas kecil. “Jangan terlalu formal, Zaza. Kita bawa santai saja perjalanan ini. Tidak perlu kaku. Anggap saja kita rekan seperjalanan.”
Zaza mengangguk lagi, matanya berkedip cepat sekali seolah butuh waktu mencerna ucapanku. “Baik, Rajaku.”
Kami mulai berlari meninggalkan halaman kerajaan. Suara langkah kami menimbulkan suara yang dihasilkan ketika kami menginjak daun dan ranting kering.
Kabut membuat pandangan terbatas, jadi kami menjaga jarak dekat. Nafasku dan napas Zaza terdengar jelas di udara pagi yang dingin.
Beberapa saat kemudian, Zaza membuka suara. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke arahku, berbicara dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
“Rajaku, kemarin kami sudah membuat markas sesuai dengan rencana yang anda berikan. Letaknya di dalam gua buatan yang tersembunyi. Semua sudah ditempatkan dengan rapi.”
Aku melirik ke arahnya dengan rasa kagum. “Aku sudah mendengarnya dari Vlad. Kalian semua melakukannya dengan cepat, ya?” tanyaku sambil terkekeh kecil.
Nada suaraku tulus. Aku benar-benar kagum dengan kemampuan mereka, terutama Zaza yang sekarang terlihat lebih cekatan.
“Vlad terlalu tegas,” jawab Zaza, matanya melirik ke depan dengan ekspresi sebal. “Kami sampai diburu-buru olehnya. Begitu kami berhenti sebentar, langsung dimarahi. Tidak ada waktu untuk menarik napas.”
Aku tertawa lebar. “Hahaha! Vlad memang seperti itu. Dia selalu serius di mana pun tempatnya.”
Zaza mendengus pelan, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. Sejenak ekspresinya lebih santai. Ia kemudian menegakkan tubuhnya sambil tetap berlari.
“Untungnya para zirah baja itu membantu kami. Jadinya pekerjaan jadi lebih cepat. Mereka bisa memindahkan batu-batu besar dengan mudah. Kalau hanya kami saja, pasti butuh waktu lebih lama.”
Aku menahan ekspresi terkejutku, hanya menatap lurus ke depan sambil berpura-pura sudah tahu soal itu. Dalam hati aku mengulang kata-kata Zaza: “baju zirah juga bisa diatur oleh Vlad?”
Rasanya agak sulit dipercaya.
Setelah beberapa saat, aku bertanya lagi, “Berarti semua rencana sudah berjalan dengan baik? Bagaimana dengan ayam-ayam di wilayah barat? Masih ada yang berkeliaran?”
Zaza menggeleng cepat. “Sejauh pengamatan kami bersama Vlad kemarin, tidak ada ayam yang berlari ke sana-ke mari. Entah kenapa wilayah itu tiba-tiba sunyi. Saat saya menanyakan hal itu pada Vlad, dia hanya terdiam. Sama sekali tidak menjawab. Itu sangat membuatku kesal.”
Aku meliriknya. Matanya menyipit, paruhnya menegang, sayapnya sedikit terangkat seolah menahan perasaan kesal yang masih tersisa.
Dalam hati aku bergumam, “aku mengerti rasanya. Dicuekin memang menyebalkan, apalagi saat kita butuh jawaban penting.”
Aku menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Kalau memang tidak ada ayam, rencana kita tetap sama. Setelah memastikan markas yang dibuat sudah aman, kita akan langsung mencari informasi tentang kerajaan kelinci.”
Zaza menundukkan kepala sedikit, suaranya mantap. “Baik, Rajaku.”
Kami melanjutkan perjalanan. Hutan semakin rimbun, suara burung kecil sesekali terdengar dari atas dahan, dan bau tanah basah menusuk hidung. Beberapa kali kami dihadang hewan liar. Seekor musang cokelat tiba-tiba melompat dari semak, tapi hanya butuh satu serangan cakaran tajamku untuk membuatnya jatuh terguling. Zaza dengan cepat menuntaskan sisanya.
Begitu tubuh musang itu terdiam, sebuah tulisan biru muncul di udara.
[+55 EXP]
Aku menatapnya lekat. Sistem kini menunjukkan label berwarna yang lebih detail dari sebelumnya.
Label merah: musuh yang langsung siap menyerang.
Label kuning: musuh yang mulai memperhatikan gerak-gerikku.
Label hijau: musuh yang belum menyadari keberadaanku.
Fitur baru ini belum pernah muncul sebelumnya. Namun selain itu, sistem tetap sama: tidak ada peta, tidak ada penunjuk lokasi musuh.
“Kwek…” aku menggumam pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan sistem ini.
Perjalanan kami berlanjut hingga matahari mulai menembus kabut, menyalakan bayangan panjang di antara pepohonan yang menjulang. Zaza akhirnya berhenti, mengangkat sayapnya ke depan.
“Rajaku, sudah dekat.”
Aku mengangguk. Kami berlari menembus rerumputan tinggi yang lebat, melewati batang-batang pohon yang tumbuh rapat. Semakin jauh masuk, semakin terasa betapa tersembunyinya lokasi itu. Dari luar, tidak ada tanda-tanda bahwa di balik ilalang ini ada sesuatu.
Namun begitu kami sampai, napasku langsung tercekat.
Gua yang seharusnya berdiri kokoh, dengan susunan batu yang rapi dan pintu masuk tersembunyi, kini sudah roboh. Batu-batu besar berserakan, tanah di sekitarnya retak, dan debu masih menempel pada lumut-lumut hijau di dinding.
Mata Zaza melebar tak percaya. Sayapnya terangkat setengah, tubuhnya kaku.
“Rajaku… ini… ini tidak mungkin…”
Aku melangkah maju, menatap reruntuhan itu. Gua yang seharusnya jadi markas pertama kami, lenyap begitu saja.
“Siapa… yang menghancurkan ini?” suara Zaza terdengar bergetar, paruhnya terbuka lebar, matanya penuh dengan kebingungan dan kemarahan.