Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
Malam itu, suasana kediaman Pramudya terasa berbeda dan lebih sunyi, namun entah mengapa juga terasa hangat.
Meja makan panjang yang biasanya ramai kini hanya diisi tiga orang. Kursi di ujung meja tempat Nyonya Ratna biasa duduk kini nampak kosong. Ratna telah berpamitan sore tadi, kembali ke Bogor dengan alasan urusan pribadi. Namun sebelum pergi, wanita itu memanggil Kinara secara khusus.
Pesannya masih terngiang jelas di kepala Kinara.
'Selesaikan masalah kontrakmu dengan Arman. Mama ingin kamu bukan sekadar istri di atas kertas. Jadilah mommy seutuhnya untuk Aksa.'
Permintaan itu terlalu berat sekaligus terlalu tulus untuk diabaikan. Aksa duduk sambil mengayun-ayunkan kakinya, sibuk menceritakan hal-hal kecil tentang sekolah dan les sore tadi. Kinara menanggapi dengan senyum, sesekali menyuapi Aksa tanpa sadar sudah bertindak seperti ibu sungguhan.
Sementara itu, Arman lebih banyak diam.
Saat pelayan hendak mendekat untuk membantu Arman mengambil makanan, pria itu mengangkat tangan, menolak dengan singkat.
“Tidak perlu.”
Pelayan terhenti, ragu. Kinara yang melihat pemandangan itu langsung berdiri.
“Biar aku saja,” ucapnya ringan.
Beberapa pasang mata pelayan langsung saling berpandangan. Biasanya Arman tidak pernah mengizinkan siapa pun, melakukan hal untuknya, apalagi orang lain selain Rudi yang akan melakukan hal itu. Namun, semenjak ada Kinara, Rudi tak lagi makan malam bersama mereka.
Arman menoleh pada Kinara. Tatapannya sejenak tertahan, lalu ia mengangguk.
“Terima kasih.”
Satu kalimat pendek dan suaranya terdengar datar. Tapi cukup untuk membuat udara di ruangan itu berubah.
Kinara mengambil sendok, menyendokkan sup dengan hati-hati, lalu menyuapkannya pada Arman. Gerakannya tenang, tanpa ragu, tanpa rasa canggung. Seolah-olah itu sudah menjadi hal paling wajar di dunia.
Aksa tersenyum lebar, matanya berbinar.
“Daddy sama Mommy cocok,” katanya polos.
Kinara tersedak kecil, Arman berdehem pelan, menoleh ke arah lain namun telinganya memerah.
Di sudut ruangan, para pelayan masih berdiri terpaku. Mereka saling bertukar pandang dengan ekspresi tak percaya.
Malam semakin larut ketika rumah Pramudya tenggelam dalam keheningan. Lampu-lampu temaram menyala, meninggalkan bayangan panjang di lorong-lorong sunyi. Kinara baru saja hendak masuk ke kamar Aksa ketika suara Arman memanggilnya, pelan namun tegas.
“Kinara.”
Wanita itu menoleh, Arman berada di depan pintu kamarnya, kamar yang selama ini selalu menjadi batas tak kasatmata di antara mereka.
“Ada apa?” tanya Kinara.
Arman menghela napas singkat. “Mama sudah pulang. Tidak ada alasan lagi untuk berpura-pura. Tapi … aku ingin bertanya dulu.”
Tatapan pria itu mengeras, bukan dingin lebih kepada ragu.
“Kamu mau pindah ke kamar ini?” ucapnya pelan. “Bukan karena paksaan. Aku hanya ingin tahu … kamu pernah bilang akan menilai sendiri saat kamu akan memulai. Aku ingin mendengar jawabannya.”
Kinara terdiam, Arman melanjutkan, suaranya lebih rendah.
“Apa kamu menyesal menikah kontrak denganku?”
Sontak Kinara mendongakkan kepalanya menatap Arman.
“Atau selama ini kamu bertahan hanya karena Aksa?”
Pertanyaan itu menghantam tepat di dada Kinara. Ia kembali menunduk, jemarinya saling menggenggam. Banyak jawaban berputar di kepalanya, tapi tak satu pun terasa benar.
“Jujur … aku tidak tahu,” ucapnya akhirnya. “Aku belum pernah merasakan hidup seperti ini sebelumnya.”
Ia kembali mendongak, menatap Arman.
“Sejauh ini aku merasa aman. Saat aku kesusahan, Mas menolongku. Aku bersyukur.”
Suaranya melembut.
“Tapi soal hati … aku belum berani mengakuinya. Aku takut salah.”
Arman menatapnya lama. Tak ada amarah di sana hanya penerimaan yang sunyi.
“Jawaban itu sudah cukup,” katanya singkat.
Tepat saat keheningan kembali jatuh, pintu kamar Aksa terbuka. Bocah itu muncul dengan mata setengah mengantuk, memeluk boneka kecilnya.
“Daddy … Mommy…” suaranya lirih.
“Aksa mau tidur bareng. Kali ini Aksa janji nggak kabur lagi … nggak akan ninggalin mommy.”
Kinara langsung berlutut, memeluk Aksa. Hatinya mencelos.
"Mommy tidak akan percaya," goda Kinara, Arman memandang keduanya untuk pertama kalinya tanpa dinding dingin di matanya.
“Baik,” katanya pelan. “Kita tidur bersama.” Lanjut Kinara.
Malam itu, mereka berbaring di satu ruangan yang sama. Tidak ada sentuhan berlebihan, tidak ada janji. Hanya tiga orang dengan luka masing-masing, berbagi ruang dan keheningan.
Lampu kamar diredupkan. Hening menyelimuti ruang itu, hanya napas pelan yang saling bersahutan.
Aksa tidur di tengah, tubuh kecilnya miring ke kanan dan kiri. Tangannya menggenggam tangan Arman dan Kinara. Perlahan dengan gerakan polos dan penuh niat, Aksa menyatukan kedua tangan itu, menindihnya dengan telapak kecilnya sendiri.
“Dad … Mom…” gumamnya setengah mengantuk.
“Ayo mulai hidup bareng, kayak orang tua yang lain. Aksa rindu di sayang dan di manja.”
Matanya masih terpejam, tapi suaranya jujur.
“Aksa janji bakal jadi anak baik. Nggak nakal lagi. Nggak bikin Daddy sama Mommy sedih. Aksa janji,”
Arman terdiam, dadanya menghangat oleh sesuatu yang lama mati. Ia melirik Kinara tepat saat wanita itu juga menatapnya. Tak ada kata di antara mereka, hanya keheningan yang sarat makna.
Kinara mengangguk pelan.
“Ayo memulainya, Mas,” ucapnya lirih, hampir bergetar.
Arman menatapnya beberapa detik ragu, takut, namun berharap. Lalu ia mengangguk kecil.
“Iya … ayo kita mulai.”
Mata Aksa langsung terbuka. Wajahnya bersinar, senyumnya lebar tak tertahan.
“Yeay! Aksa punya Daddy dan Mommy yang utuh!” teriaknya bahagia.
Dia tertawa riang, menarik tangan Kinara, lalu mencoba menggelitik Arman. Kinara ikut tertawa, membalas geli Aksa. Arman pun tersenyum, meski geraknya terbatas kakinya tak mampu ikut bergerak bebas namun tawanya nyata, tulus, dan hidup.
'Memulai itu mudah menerima itu yang sulit,' Arman menatap senyum Aksa lalu Kinara, membuat binar bahagia di matanya.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat