Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APA AKU HARUS MEMAAFKANYA
..."Di antara semua keputusan sulit, memaafkan adalah yang paling menyakitkan. Ia menuntutmu untuk menyerahkan hakmu untuk menyimpan kebencian, demi mendapatkan hakmu untuk kedamaian." (le seo Han)...
...----------------...
Mobil melaju sedang hingga akhirnya tiba di depan rumah Seo Ryeon.
"Ryeon, sudah sampai. Bangun," kata Jae Hyun pelan.
Seo Ryeon terbangun dan tersadar bahwa dia tidur di bahu Seo Han yang juga ikut terbangun karena gerakan itu.
"Ehh, maaf, Han," bisik Seo Ryeon, wajahnya sedikit merona karena malu.
Seo Han menguap kecil. "Tidak apa-apa, santai saja."
Ryeon segera turun, membuka pintu mobil. "Hyun, terima kasih atas traktiran dan soal baju juga," kata Ryeon pamit dan masuk gerbang rumahnya.
Mobil berjalan lagi, menyisakan keheningan baru antara Jae Hyun dan Seo Han.
"Han," panggil Jae Hyun.
"Apa, Hyun?" jawab Seo Han sambil mencoba tidur lagi. "Aku ngantuk banget, kayak efek obat deh."
"Kamu kalau ada apa-apa, kabari aku, ya. Jangan bohong lagi," desak Jae Hyun, suaranya mengandung nada peringatan.
"Iya, Hyun. Lagian cuma demam biasa. Tidak usah terlalu khawatir." Seo Han berusaha menutup mata, mengabaikan kecemasan Jae Hyun.
Tak lama, mobil berhenti di depan rumah Seo Han.
"Sudah sampai," kata Jae Hyun.
"Sudah, ya. Terima kasih, ya, Hyun, sudah mau jagain aku sakit, traktir aku, dan buat aku senang tadi di pantai," kata Seo Han tulus.
"Iya," kata Jae Hyun. Ia segera turun dari mobil dan mengambil tas ransel Seo Han.
Seo Han turun dari mobil. "Kamu benar-benar baik banget, Hyun. Aku jadi tidak enak."
"Sudahlah, tidak apa-apa," jawab Jae Hyun. "Sudah, masuk. Di luar dingin."
"Hati-hati, ya. Aku masuk dulu."
Seo Han membuka gerbang rumahnya dan berjalan masuk. Jae Hyun menunggu sampai lampu rumah Seo Han menyala, memastikan sahabatnya aman di dalam.
...----------------...
Jae Hyun masuk kembali ke mobilnya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan tubuhnya rileks setelah seharian penuh. Namun, ia tidak langsung menyalakan mesin. Ia mengambil ponselnya, mencari kontak Le Young Jun, dan segera menelepon. Setelah berdering dua kali, telepon itu diangkat.
"Ya, Jae Hyun?" Suara Le Young Jun terdengar tegang, penuh antisipasi.
"Tuan Le," sapa Jae Hyun, nadanya resmi. "Saya hanya ingin melapor. Seo Han sudah sampai di rumahnya dengan selamat. Saya sudah memastikan dia masuk dan lampu rumahnya menyala."
Terdengar suara helaan napas lega dari seberang. "Terima kasih banyak, Jae Hyun."
"Sama-sama, Tuan. Dan terima kasih juga untuk kartu ATM-nya," lanjut Jae Hyun. "Uangnya terpakai dengan baik. Kami sempat makan malam dan berjalan-jalan di pantai tadi. Seo Han tertawa hari ini."
Ada jeda sejenak. "Satu hal lagi, Tuan. Seo Han tahu tentang beberapa hal. Dia sudah tahu bahwa Anda yang mengantarnya ke rumah sakit dan dia juga sudah tahu bahwa Anda yang mengisi kulkasnya."
Le Young Jun terdiam. Ia menanti vonis dari putranya.
"Reaksinya... dia hanya berterima kasih, Tuan. Tapi ada sedikit rasa tidak enak. Aku harap dia tidak marah."
"Ya, itu yang aku takutkan," bisik Le Young Jun, terdengar putus asa. "Dia pasti berpikir berutang budi. Dia selalu seperti itu. Dia tidak mau direpotkan."
"Saya rasa dia hanya terharu, Tuan. Dia hanya perlu waktu."
"Terima kasih laporanmu, Jae Hyun," ucap Le Young Jun, suaranya kembali dikendalikan, namun rasa cemasnya tidak sepenuhnya hilang.
Jae Hyun menutup telepon. Ia menyandarkan kepalanya sebentar. Misi dari Ayah Seo Han selesai. Ia menyalakan mobil dan berjalan pulang menuju rumahnya.
...----------------...
Seo Han, begitu masuk ke dalam rumah, langsung buru-buru menuju kulkasnya.
Ia membukanya, dan benar saja, kulkasnya sudah penuh—dinding-dindingnya dijejali dengan bahan masakan segar, air mineral botolan, dan makanan siap saji yang tertata rapi.
Rasa terima kasih dan penyesalan menusuk jantungnya. Ia membenci Ayahnya, Le Young Jun, karena telah meninggalkannya sendirian di Jeju, dan karena konflik yang tak terselesaikan.
"Aku padahal membencimu. Aku sampai mengatakan lebih baik jadi anak yatim piatu daripada punya ayah sepertimu," batinnya, air mata mulai menggenang di matanya yang lelah. Rasa bersalah karena memiliki pikiran sekejam itu membanjiri dirinya. Ia menangis di depan kulkasnya yang dingin, yang ironisnya dipenuhi kehangatan dari kasih sayang diam-diam sang Ayah. "Apa aku harus memberinya kesempatan kedua?"
Ia akhirnya menutup kulkasnya, menyeka cepat air matanya, dan menuju meja. Ia ingin segera minum obat pereda sakit yang diresepkan dan tidur, berharap rasa sakit dan pusing yang ia rasakan tadi di warung tidak kembali.
Ia meraih botol obat di atas meja dan memutarnya.
Namun, tepat saat ia membuka botol itu, kepalanya mendadak pusing hebat. Bukan pusing biasa, melainkan rasa sakit yang terasa membelah tengkorak.
"Ahhhkkk!" Seo Han mengerang kesakitan. "Apa ini? Kenapa? Ini bukan hanya demam saja kata dokter!"
Sakit itu berubah menjadi serangan yang ganas. Telinganya mulai berdenging kencang, kali ini lebih keras dan memekakkan telinga daripada sebelumnya. Pandangannya berputar dan menjadi gelap. Botol berisi pil pereda rasa sakit terlepas dari tangannya, isinya berhamburan jatuh bersamanya di lantai kayu.
Seo Han menjatuhkan diri, tubuhnya kejang karena sakit yang luar biasa. Ia hanya mampu mengerang kesakitan sebelum pandangannya sepenuhnya gelap dan ia pingsan.